“Assalammu’alaikum,” ucap Bintang saat melangkah masuk ke unitnya.
“Wa’alaikumussalam,” sahut mereka yang sejak sore tadi tiba. Orangtua Bintang beserta Jihan—adik bungsunya yang masih berusia sepuluh tahun.
“Sudah makan belum, A?” tanya Hana.
“Sudah sih, Bun. Tapi tadi di jalan Bintang beli bubur. Bunda ngga bilang kalau datang.”
“Jihan mau,” sambar sang adik. “Disuapin Aa.”
“Sama Ayah aja,” sahut Edo.
“Nanti abis sama Jihan, Ayah. Aa ngga kebagian,” timpal Jihan.
“Kalau disuapin sama Aa emangnya buburnya ngga dihabisin Jihan?”
“Henteu, Ayah. Kan Aa mah nyicip-nyicip.”
“Tetep aja Aa ngga kenyang atuh Jihan,” ujar Bintang. “Jihan makan aja nih.”
“Buat Jihan semua?”
“Hmm.”
“Asiiik.”
Bintang menghela napas panjang. “Itu smelling strip sama parfum-parfum Aa kok dimainin semua?” tanyanya kemudian.
“Jihan minta, A. Biar buku Jihan teh wangi.”
“Diselipin di buku-buku sekolahnya, A,” sambung Hana.
“Oh. Nanti taruh lagi ke tempatnya, ya?” balas Bintang.
“Oke!” seru Jihan.
“Bintang mandi dulu, Bund, Yah?”
“Bunda bikinin tim daging, mau?” tawar Hana.
“Mau dong, Bund,” tanggap Bintang sebelum melangkah ke kamarnya.
Selepas membersihkan diri, Bintang bergabung di ruang makan. Bubur yang ia beli sudah tandas, Jihan sampai mengusap permukaan piring dengan telunjuknya lalu dijilati.
“Jihan besok bolos lagi?” tanya Bintang.
“Henteu. Belajar online, A.”
“Atuh mah sama A Sam di rumah, ini malah ngintilin Bunda sama Ayah mulu.”
“Biarin!”
Hana dan Edo terkekeh.
“Habis ini tidur. Sama Aa aja,” ujar Bintang lagi.
“Oke.”
Sang Ibu menyajikan seporsi nasi hangat dan tim daging. Bintang memeluk Hana sejenak saat ia duduk di samping putranya. “Gimana Izora, A?”
“Mmm... yang pasti belum ingat sama Bintang, Bund,” tanggapnya. Bintang lalu melahap suapan pertamanya. Aroma minyak wijen, bawang putih, jahe, dan kaldu sapi meledak di mulutnya, memberi sensasi hangat saat meluncur di tenggorokan. “Enak banget, Bund. Ayah dan Bunda ngga makan?”
“Sudah tadi,” jawab Edo.
“Terus? Sama Aa gimana? Canggung atau jadi akrab?” tanya Hana lagi. “Sampai minta kasih rating kafenya Izora di grup?”
“Dibilang akrab sih kayaknya belum, Bund. Masih agak canggung,” balas Bintang.
“Aa kali yang canggung,” timpal Edo. “Salah tingkah kalau dekat Izora. Panas dingin, jantung mencelos, perut ngilu, tau-tau semua suara di sekitar hilang—senyap, fokusnya cuma ke Izora.”
“Detail banget. Pengalaman berbicara, ya Yah?”
Edo tergelak.
“Pas sampai tadi, Bunda langsung order tehnya. Enak kok. Bunda beli matcha, terus Bunda bilangin ke Reina dan Anne, biar pada nyobain,” ujar Hana lagi.
“Sudah kasih rating, Bund?”
“Di aplikasi? Sudah.”
“Nanti di g0ogle review juga, ya Bund?”
“Oh iya... sip!”
“Soalnya, Izora agak sedih hari ini. Ada yang ngasih review bintang tiga, tapi ngga nulis alasannya apa. Berhubung kafenya belum lama buka, terus review juga belum banyak, ya rating-nya jadi turun.”
“Iya sih, review jelek begitu minimal efeknya jadi ngga enak dilihat,” timpal Edo. “Nanti Ayah kasih rating juga. Kalau di aplikasi mah udah banyak kayaknya. Tadi grup rame kok, pada nyobain. Aa yang ngga online lagi sejak nge-shareloc kafenya Izora.”
“Izora teh saha, Ayah?” sambar Jihan. “Temennya A Bintang?”
“Iya, temennya A Bintang. Jago bikin teh yang enak,” jawab Edo. “Yang tadi sore Jihan minum.”
“Enak!” seru Jihan. “Jihan mau kenalan.”
“Nanti Jihan dikira anak Aa lagi,” tanggap Bintang.
Hana dan Edo sontak tergelak.
“Ya biarin aja atuh. A Bumi juga sering dikira ayahnya Jihan. A Bumi jawab iya gitu.”
Bintang mendengus, begitulah nasib punya adik yang berbeda 18 tahun dengannya. Setiap kali ia sertakan, ada saja yang bertanya siapa Jihan. Jika dijawab ‘adik’, biasanya pertanyaan akan berlanjut dengan ‘beda berapa tahun’ dan lain sebagainya.
Malam pun kian larut, sajian hangat sudah tandas, Jihan pun sudah tampak mengantuk.
“Besok Jihan sama Bintang aja Bund, Yah,” ujar Bintang. “Besok Bintang mau nongkrong di tenant aja.”
“Ngga apa-apa?” timpal Hana.
“Aman, Bund. Paling pagi-pagi Bintang antar Izora dulu ke kafe.”
Hana menanggapi dengan anggukan.
“Jangan lupa review-nya, ya Bund, Yah?”
“Beres!” sahut Edo dan Hana kompak.
***
“Aa?”
“Naon, Neng?”
“Berarti, Jihan manggil temen Aa tuh Teteh ya?”
“Hmm.”
“Teteh Izora?”
“Teh Ia aja. A Daim manggilnya Teh Ia.”
“Teh Ia temennya A Daim juga?”
“Iya.”
“Teh Ia itu baik, A?”
“Baik dong.”
“Kalau Jihan minta krimnya yang banyak dikasih?”
Bintang tersenyum. “Iya, dikasih. Tidur weh, baca doa heula. Besok Aa ngojek sebentar, Jihan sekolah dulu, siangnya baru kita ke mall.”
“Aa ngga kerja?”
“Kerja. Ngawasin Jihan sekolah online.”
“Itu mah ngga kerja atuh Aa.”
“Baca doa, tidur, Neng. Kebiasaan ih, ngajakin gosip wae.”
Jihan tergelak.
Bintang memimpin doa, mengusap lembut kepala adiknya hingga akhirnya Jihan tertidur pulas.
Saat akan menyusul, ponsel Bintang bergetar. Ia meraihnya, mendapati sebuah pesan dari Helia.
HeliaIzora: -mengirim sebuah foto- Buburnya enak, ngga awet sampai besok pagi. Thanks, Bintang.
Bintang tersenyum. Jemarinya cepat mengetik balasan.
Bintang: Sama-sama. Selamat istirahat, Izora.
HeliaIzora: Kamu juga. Selamat istirahat.
Tak langsung mengembalikan ponsel ke atas nakas, Bintang malah membuka sosial medianya—yang baru ia buat untuk mengikuti official account Théologie. Ia mengetuk notifikasi yang masuk. Helia menandainya di sebuah story dengan foto bubur ayam. “Alhamdulillah, enak. Kalori mah lupain aja 😅” tulisnya di caption.
Bintang tersenyum, ibu jarinya mengetuk halaman profil Helia, menekan tombol ‘ikuti’. Hatinya berbunga-bunga, berhubung Helia yang lebih dulu ‘mengikuti’-nya. Yang lebih menyenangkan lagi, sang pemilik akun langsung mengizinkan permintaan untuk diikuti tersebut. Hingga saat ia menggeser feed akun yang juga masih baru itu, tatapannya terpaku ke sebuah foto. Paris. Tepat di sebuah kafe dengan pemandangan langsung ke Eiffel Tower.
Ingatannya terlempar ke momen sore tadi.
***
Petang sampai di pertengahan saat Bintang keluar dari gedung perkantoran tempat bertemu salah satu supplier bahan baku parfumnya. Bintang merapatkan kancing jaketnya. Meeting hari ini berjalan lebih cepat dari perkiraan, menyisakan beberapa jam sebelum malam menelan langit.
Seharusnya ia langsung pulang. Atau ke outlet di Pacific Place.
Tapi entah kenapa, langkahnya malah berhenti di depan peta kecil yang terpampang di dinding lobi.
Ia tau arah ke sana tanpa harus bertanya. Jalan menuju Théologie sudah ia hafal di luar kepala.
“Cek kesayangan sebentar mah, teu dosa,” gumamnya lirih, sudut bibirnya terangkat tipis. “Sekalian… makan malam yang kesorean plus nyobain caramel milk tea yang katanya terfavorit.”
Ia mencengir sendiri, lalu beranjak ke parkiran motor.
Perjalanan ke SCBD tak terlalu sesak. Jam pulang kantor baru akan benar-benar menumpuk dalam satu jam ke depan. Untuk sementara, lalu lintas masih cukup bersahabat.
Bintang memelankan laju saat sudah memasuki area cluster perkantoran yang sama dengan Théologie. Ia memarkir motor agak di pojok, terhalang dinding untuk memandang ke area dalam kafe.
‘Urang… datang sebagai pelanggan biasa,’ batinnya. ‘Bukan kang ojol pengganti. Bukan teman yang terlupakan. Bukan apa-apa. Cuma… orang yang penasaran rasa cheesy meatballs with spicy strawberry sauce dan teh kekinian racikan Izora.”
Ia baru akan turun dari motornya saat pintu kaca Théologie terbuka.
Seorang perempuan keluar, melangkah dengan heels yang berbunyi teratur di lantai. Rambut panjangnya tergerai mulus di atas blazer. Parfumnya cukup kuat hingga tercium oleh Bintang bahkan dari jarak beberapa meter.
Bintang spontan menahan langkah.
Sosok itu… tak asing.
Matanya menyipit, mencoba memastikan. Sekejap, ia seolah telempar ke sekitar setahun yang lalu, di sebuah kafe di Paris dengan pemandangan langsung ke ikon kota tersebut—Eiffel Tower.
Bintang mengenali seseorang. Gavin—pria yang disebut tunangan Izora, seorang staf kontrak di sebuah tea house milik keluarga Aimeé—teman kuliahnya di Versailles. Aimeé yang heboh memperkenalkan mereka, merasa bangga karena berhasil mempertemukan sesama WNI di tanah rantau.
Masalahnya... pria itu tak sendiri, melainkan bersama seorang perempuan.
Gavin duduk terlalu dekat dengan perempuan itu—yang tertawa menggoda, menyentuh lengan Gavin, seolah keberadaan mereka di sudut tersembunyi itu adalah hal wajar. Dan yang lebih gila, mereka berciuman tanpa risih, seolah bukan hal baru untuk dilakukan.
Bintang tak mengganggu interaksi itu. Namun ia ingat jelas wajah perempuan itu. Riasan sempurna. Senyum licik. Gesture menggoda.
Kini, perempuan dengan wajah yang sama keluar dari Théologie dengan langkah ringan, seolah baru saja menyelesaikan sesuatu yang memuaskan. Ia sempat melirik sekilas ke kanan-kiri, namun tak peduli dengan keberadaan Bintang.
***
Bintang tak butuh banyak waktu untuk mengaitkan potongan-potongan kecil itu. Review tiga bintang yang tiba-tiba muncul. Kemunculan perempuan yang ia tak tau namanya di Théologie. Lalu keresahan Izora.
Ia menarik napas panjang, mencoba menurunkan kekesalan.
“Pantes tadi… nada suaranya Izora waktu cerita soal pelanggan yang bikin ngga nyaman…” gumamnya. “Kayak habis didatangin setan.”
Bintang mengetuk pelan keningnya. Ada sesuatu dalam dirinya yang bergolak—rasa ingin melindungi yang selama ini ia tahan agar tak melampaui batas… mulai muncul ke permukaan.
‘Ngga apa-apa’, batinnya. ‘Ngga apa-apa kalau Izora belum ingat urang. Ngga apa-apa kalau dia anggap urang cuma pengganti Daim, cuma driver harian, cuma kenalan baru. Yang penting, dia ngga sendirian ngadepin setan kayak begitu.’
Bintang turun dari ranjang, berdiri di balik jendela yang tirainya sedikit ia sibak, menatap suasana Jakarta. Pikirannya memutar rekaman tentang Helia—yang sibuk di balik konter, yang bercanda dengan stafnya, yang tersenyum ramah meski matanya terlihat letih.
Jantung Bintang mencelos.
Ia mengembuskan napas panjang, dahi menempel sebentar di kaca yang dingin. Dari ketinggian, ia menyaksikan hiruk pikuk kendaraan, sirene samar di kejauhan, dan bayangan gedung-gedung tinggi seolah menjepit kota dari segala arah.
Di antara keramaian itu, ada satu kafe kecil yang baru belajar berdiri. Dan satu perempuan yang sedang berusaha memulai hidupnya dari nol lagi. Yang ia sayangi, yang begitu ingin ia lindungi.
Bintang menutup tirai perlahan.
Selama ini ia berusaha menjaga jarak aman... cukup dekat untuk membantu, tapi cukup jauh agar Helia tidak terbebani oleh masa lalu yang tak ia ingat. Cukup ramah untuk mengantar-jemput, tapi tidak terlalu dalam sampai gadis itu merasa dikejar sesuatu yang membuatnya tak nyaman.
Namun malam ini, Bintang menyadari jika ada orang yang sengaja mengusik ketenangan kecil yang baru Helia bangun, garis batas itu terpaksa ia geser sedikit.
“Urang ngga bisa diem wae,” batinnya. “Kalau cuma marah sendirian, ngegerundel di kepala, ngga akan ngeubah apa-apa.”
Ia kembali ke sisi ranjang, duduk di tepinya, ponsel kembali ke genggaman. Jemarinya bergerak membuka layar, menelusuri deretan ikon aplikasi yang sudah dihafal di luar kepala.
Helia masih ada di kolom chat paling atas. Foto bubur, kalimat singkat, dan emotikon kecil yang tadi membuat malamnya terasa hangat, kembali terpampang.
Sudut bibir Bintang terangkat tipis.
“Selama kamu bisa senyum kayak tadi,” ucapnya nyaris tanpa suara, “itu udah cukup jadi alasan aku buat ikut jagain kamu dari belakang layar.”
Layar bergeser. Jempolnya menyentuh room chat lain. Rangkaian kalimat di salah satu chat grup muncul di sana—selalu ramai, dan hangat.
404-NotFound.
Ratusan chat belum terbaca menunggu di bawahnya.
Bintang menarik napas pelan, seolah tengah bersiap sebelum masuk ke ruangan penuh orang-orang yang ia sayangi.
“Oke! gumamnya, lebih pada dirinya sendiri. “Urang butuh bala bantuan.”
Ia tak akan diam saja. Meski bukan melakukan hal dramatis, bukan pula aksi besar-besaran.
Hanya langkah kecil, senyap, dan tak terlihat—namun semoga cukup untuk memastikan, besok pagi, Helia bangun dengan satu beban lebih ringan di hatinya.
Bintang: Assalamu’alaikum sadayana.
Bintang membagi halaman review dari kafe Izora.
Bintang: Punten yang udah review di aplikasi delivery order, kasih bintang limanya lagi di sini, please. Jangan lupa pesan dan kesannya.
Bintang: Buat yang belum nyobain jajan di Théologie, jajanlah! Abdi doain semoga jajannya berkah, bisa buat bangun rumah di surga. Aamiin 🤲
Reina: @Bintang Tidur maneh! Kebiasaan banget lempar masalah habis itu kabur. Baca heula tuh 897 chat! Malem-malem malah minta kawin!
Bintang: @Reina siapa yang minta kawin, Teteh?
Reina: Bisa buat bangun rumah di surga = bantuin @Bintang biar bisa nikah sama Izora. Nikah lho, hadiah hanya berlaku jika yang dicomblangi menikah dengan cara yang baik dan berkah. Ngeles wae, maneh orang apa bajaj?
Bintang: @Reina 😂😂😂 tidur ah, udah ketauan.