MEMILIH DIAM

1583 Words
Tiga bulan kemudian Helia sudah mampu berdiri tanpa berpegangan selama lima belas detik hari ini. Suster fisioterapi yang mendampingi tersenyum bangga, sementara Helia hanya terdiam, mencoba menenangkan napas yang terasa berat. Kakinya bergetar, betisnya panas, punggungnya menegang seperti tali busur yang ditarik terlalu jauh. “Tahan, Kak Helia… lima detik lagi.” Helia mengetatkan rahang. Empat. Tiga. Dua. Satu. Begitu hitungan selesai, lututnya langsung goyah. Ia jatuh ke kursi yang sudah disiapkan di belakang tubuhnya. Napasnya terengah, dihantam usaha keras yang tak pernah terbayang sebelumnya. “Good job,” puji fisioterapinya sambil menyerahkan botol air. “Tiga bulan sejak bangun dari koma dan Kakak sudah bisa begini? Alhamdulillah, cepat banget progresnya.” Helia mengangguk tipis. Tak ada bahagia yang menyapa. Bahkan ia tak tau apakah ia pantas bangga dengan pencapaiannya. Atau seharusnya ia sedih karena sesuatu yang dulu sangat sederhana kini menjadi begitu sulit untuk digapai. Saat ia selesai dengan terapinya hari itu, Fabian menjemputnya di lobi, meletakkan strawberry matcha latte dan iced americano di genggamannya, lalu mengambil alih handle kursi roda Helia. “Buat aku yang matcha?” “Iya. Cobain, Ya. Konon katanya enak.” “Kemarin pun Mas bilang gitu. Taunya ngga enak.” “Standar enak kamu yang susah dicapai, Ya.” Helia menyesap minumannya. “Mmm... not bad deh.” Fabian tergelak. “Mas jadi penasaran, kalau yang enak versi kamu tuh gimana.” “Iya ya, Mas? Aku juga penasaran sih.” “Bikin dong, Ya?” Helia menggeleng. “Kalau sudah masuk rumah, mau ngapa-ngapain tuh males banget, Mas.” “Fisio lancar?” tanya Fabian kemudian, berusaha mengalihkan pembicaraan yang membuat Helia tak nyaman. Helia mengangguk lagi. “Lumayan.” Mereka berjalan perlahan ke mobil. Rumah sakit cukup padat, membuat Fabian harus menurunkan laju langkah. Helia menunduk, memperhatikan orang-orang yang berusaha menghindari kursi rodanya. Di situ ia sadar, betapa betapa berat perjuangan yang ia jalani untuk sekadar kembali seperti dulu. Namun, setelah tiga bulan meneguk kesulitan, ada satu hal yang berubah. Helia tak menangis lagi. Ia mulai diam. Terlalu diam. Seolah kata-kata terasa boros, dan dunia sudah terlalu bising tanpa perlu ia tambah dengan suaranya. “Aku duduk di depan aja, Mas,” ujar Helia saat Fabian membuka pintu tengah. Tangannya terulur, membuka pintu copilot. Perlahan, ia pindah ke tempat duduk, sementara Fabian menahan pintu. “Mau drive trough something delicious?” tawar Fabian seraya menyalakan mesin dan mengatur suhu kabin. “Mau. Tapi makan di parkiran aja, ya Mas?” “Boleh. Kepingin apa?” “Fast food paling. Kan drive trough.” “Apa aja bisa. Tinggal pesan take away, habisin di mobil, baru deh kita pulang.” Helia mengangguk. Mobil pun melaju, meninggalkan rumah sakit. “Mas?” “Ya?” “Kalau Mas Fabi udah jenuh nemanin aku, terapisku bisa kok dipanggil ke rumah.” “Sama sekali ngga jenuh kok, Ya.” “Mas disuruh sama Gavin buat nempelin aku terus ya? Biar aku ngga macam-macam dan bikin masalah? Biar ngga nyusahin Kak Arani? Yang ujung-ujungnya bakalan bikin Gavin kesal dan berharap aku mati aja dalam kecelakaan lalu.” Helia mendengus keras. Fabian malah terkekeh. Helia menatapnya sinis. Fabian makin tergelak. “Kamu tuh! Biarpun Mas disuruh sama Gavin, Mas ngga punya niat ngusilin kamu, Ya.” “Memangnya, Gavin ngga butuh Mas di kantor apa?” “Mas mau nego gaji nih. Soalnya, Mas tetap harus kerja lho, Ya. Tapi harus nemanin kamu juga.” Helia menghentak napas. “Gavin cuma perlu Mas untuk urusan kerjaan kantor, bisnis. Dan so far bisa Mas kerjain tanpa harus stand by duduk di balik meja. So, ngga usah khawatir. Aman kok, Ya.” “Hmm.” Sesuai rencana, Helia menghabiskan kopi dan makan siangnya di mobil, di pelataran parkir sebuah restoran. Fabian menemani, sambil sibuk menangani perkerjaannya via telpon dan daring. Setelah perut kenyang, mobil melaju lagi, menuju kediaman keluarga Janitra. Fabian membantu Helia turun, mendorong kursi rodanya sampai di foyer. Lalu, ia bergegas pergi untuk kembali ke kantor. Di rumah itu, tak ada yang menunggunya. Tak ada yang bertanya bagaimana Helia menjalani terapinya. Tak ada yang peduli apakah ia makan siang atau tidak. Ia melewati lorong, mendengar suara Munik dari ruang kerja keluarga. Ibunya sedang bicara melalui zoom meeting—tentang supplier baru, tentang ekspor, tentang rencana marketing tahun depan. Ponsel di genggaman ia tatap, tak ada barang satu pesan pun yang menanyakan dirinya. Helia lanjut melajukan kursi, masuk ke kamar, menutup pintu sepelan mungkin. Ia terdiam di balik pintu, tatapannya kosong. Tiga bulan sejak bangun dari koma, ia belajar satu hal.... ‘Aku akan pulih. Sendirian.’ *** Enam bulan kemudian Hari itu keluarga Janitra makan malam bersama untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Ruang makan diterangi lampu gantung kristal dan meja penuh makanan. Namun... suasananya dingin. Yudi dan Munik baru pulang dari kantor, wajah mereka lelah. Arani pun sama, masih mengenakan blazer, dan walau ia menyunggingkan senyuman, sorot matanya tampak kosong. “Lini skincare kita masih yang terbaik,” ujar Munik sambil menyendok sup. “Kuartal awal jauh lebih bagus dari ekspektasi.” Yudi mengangguk, “Malah hampir 40% dari target.” Yang membuat mereka bersemangat bukan makanan, bukan keluarga, namun angka-angka dalam laporan keuangan. Helia makan dalam diam, mengunyah sekadarnya. Rasa lapar sudah menjadi konsep yang tak jelas baginya sejak kembali ke rumah ini. “Gimana Gavin, Kak?” tanya Yudi ke putri sulungnya. Arani menghela napas panjang, meneguk air, lalu mengeringkan bibirnya sebelum menjawab. “Masih kesal. Salesnya turun terus, barang numpuk di gudang.” “Memangnya Alpha Canis Majoris itu sebagus apa sih?” timpal Munik. Anehnya, Helia terdiam saat mendengar istilah astrologi barusan. Kedua tangannya yang menggenggam alat makan ikut berhenti bergerak. Ada yang rasa yang aneh menyapa, hangat dan nyeri bersamaan di dalam d**a. Seolah tubuhnya mengenali sesuatu yang pikirannya belum mampu akses. “Katanya, CEO-nya masih muda banget ya?” Yudi melempar pertanyaan lain. “Papi belum sempat ngulik brand itu.” Arani mengangguk. “Tadinya dipegang founder-nya langsung. Fokusnya di custom fragrance. Belum ada setahun digantiin sama putra keduanya. Nah dia bikin mass-market brand dengan harapan banyak yang lebih kenal sama brand utamanya si Alpha Canis Majoris ini.” Helia mulai menyuap dan mengunyah lagi. “Dan ternyata boom?” balas Munik. “Banget, Mi,” jawab Arani. “Mami beli aja, coba.” Munik mendecak. “Mana boleh kayak begitu. Gavin tersinggung nanti.” “Kan biar Mami tau bedanya.” Arani menggenggam alat makannya lagi. “Siapa tau Mami punya insight untuk Gavin. Alpha Canis Majoris sekarang lagi tahap akhir untuk launching series pertamanya. Aku sudah minta tim marketing siap-siap buat sampling begitu produk masuk pasar, buat tes panel.” Munik dan Yudi mengangguk. “Oh iya. Gavin tuh suntuk juga karena rival brand lokal yang tadinya kepoin ‘Bois & Brume’ melulu, sekarang penjualannya justru naik. Kayaknya mereka putar setir, nyoba niru Nuage Blanc,” lanjut Arani. “Nuage Blanc itu mass-market brand-nya Alpha Canis Majoris?” sahut Munik. “Betul, Mi.” “Mami lihat di YouTub3 iklannya. Ngga mau ngakuin sih, tapi keren.” Arani terkekeh. “Ya justru harus kita akui, Mi,” tanggapnya. “Gini, kalau menurut Arani, Nuage Blanc ini masuk pasar dengan persiapan dan konsep yang bener-bener matang. Katanya, mereka ngga pakai jasa influencer, tapi menggunakan koneksi untuk memperkenalkan produk mereka ke kalangan atas.” “Ngga pakai influence?” sahut Yudi, keningnya mengernyit. “Masa sih?” “Ini informasinya valid kok, Pi,” timpal Arani. “Yang bikin kagum adalah... Nuage Blanc itu brand yang ditujukan untuk produk dengan harga yang lebih terjangkau, aroma yang mudah ‘diterima semua orang’, produksi besar, dan distribusi luas. Bukan untuk pasar kalangan atas. Tapi, berdasarkan riset pasar, produknya dibeli juga sama mereka, Pi. Kalau kita trace di sosial media, yang justru memperkenalkan Nuage Blanc itu justru orang-orang tajir.” “Ya mungkin CEO-nya banyak kenalan kalangan atas,” sahut Munik. “Gavin juga kenal banyak orang kalangan atas, Mi. Tapi sales produknya ngga pernah semasiv Nuage Blanc. Dan yang perlu digaris bawahi adalah, kalangan atas itu sulit untuk disentuh produk mass-market. Mereka ngga bakalan mau pakai produk ‘murah’ dan ‘pasaran’ kalau bukan karena memang produknya sebagus standar mereka.” Munik dan Yudi mengangguk-angguk. “Kamu malah muji-muji kompetitor,” sinis Munik. Arani terkekeh. “Bukan gitu, Mi. Aku cuma ngomongin kenyataan kok.” “Perusahaan Gavin terdampak parah, ya Kak?” tanya Yudi kemudian. Arani mengangguk. “Fragrance line-nya turun drastis. Dan impact-nya juga merembet ke produk lain. Sales mereka anjlok. Dia stres berat. Beberapa investor mulai demo.” Helia menelan kunyahannya yang tiba-tiba terasa pahit. ‘Bisa ngga sih ngga usah ngomongin kerjaan, apalagi Gavin pas lagi makan?’ Ia meletakkan sendok, yang mungkin karena menahan emosi, justru terdengar seperti sengaja dibanting. Helia lalu bernapas dalam, diiringi tatapan lekat tiga pasang mata. Helia berdehem, menyesap air untuk membersihkan tenggorokannya. Bibirnya kemudian ia keringkan, lalu menatap wajah anggota keluarganya satu per satu. “Ngomong-ngomong, aku sudah jauh lebih baik sekarang…” ujar Helia. “Posisi yang dulu Papi janjikan untuk aku di Janitra, masih ada?” Ruangan semakin hening. Yudi menatap Helia lekat. Munik berhenti memotong daging. Arani melirik adiknya singkat, lalu kembali menunduk—mengaduk mash potato tanpa suara. “Helia, kesehatan kamu lebih penting, nak. Adek kan masih gampang capek juga. Kita tunggu sampai kamu benar-benar pulih dulu. Oke?” Akhirnya Yudi yang menanggapi, nada suaranya terdengar begitu hati-hati. Helia mengangguk dengan entengnya. Bukan karena ia setuju—namun karena ‘tak membantah’ adalah cara termurah untuk menjaga diri dari rasa sakit.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD