Keraguan Divya

1688 Words
Bismillahirrahmanirrahiim Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad === Sakha masih terkejut dengan kabar meninggalnya Agra. Kini, ia lebih dibuat terkejut dengan tawaran Abah Ammar untuk menikahi Divya. Sungguh, kali ini otak Sakha tidak bisa berpikir jernih. Bagaimana ia bisa mendapat dua kabar mengejutkan sekaligus hari ini. Ada perasaan sedih kala mengetahui teman baiknya selama di pesantren dulu sudah wafat. Agra Mahesa adalah lelaki yang sangat baik, ramah dan juga shalih pastinya. Sakha tak bisa membayangkan betapa sedih Divya ditinggalkan oleh suami tercinta. Pasti perempuan itu begitu terpuruk. Namun, ada sisi lain hatinya yang berkata bahwa ini adalah kesempatan yang Allah beri untuknya berjodoh dengan Divya, perempuan yang dicintainya dalam diam, sejak lama. Kini, Divya sudah sendiri. Sakha bisa mendekatinya dengan bebas. Tapi, sisi lain hatinya mengatakan untuk tidak gegabah dan kembali memikirkan permintaan Abah Ammar. “Kha? Sakha?” tegur Abah Ammar membuyarkan lamunan Sakha. “Eh, iya, Bah? Ada apa?” Abah Ammar tertawa tipis sambil menggelengkan kepala. “Kamu jangan melamun. Kenapa sih? Mikirin tawaran Abah tadi, ya?” “Hmm, iya, Bah,” ucap Sakha seraya menganggukkan kepalanya. “Ya, silakan kamu pikirkan dulu. Abah juga akan memberitahu Divya tentang hal ini. Abah rasa kalian itu cocok dan bisa jadi partner sehidup sesurga.” Abah Ammar lanjut menceritakan tentang sosok Divya kepada Sakha. Abah Ammar sengaja melakukan hal itu agar Sakha memiliki gambaran tentang Divya lalu kembali menimbang tentang keputusan yang akan diambil selanjutnya. “Hmm, Bah,” ucap Sakha sedikit ragu. “Ya?” “Apa ... apa ini gak terlalu cepat untuk Divya menikah lagi? Abah bilang Agra baru meninggal enam bulan yang lalu. Apa hati Divya sudah bisa menerima orang lain baru yang nanti jadi suaminya?” Abah Ammar menghela napasnya sambil membetulkan letak sorban yang tersampir di pundaknya. “Ya, mungkin terlihatnya seperti itu. Tapi, sebenarnya, sebagai uwaknya Divya, Abah ingin dia bisa mendapat pasangan baru dan bisa melupakan kesedihan karena ditinggalkan oleh suami dan calon anak mereka.” “Apa, Bah? Calon anak?” Abah Ammar menganggukkan kepalanya. “Ya. Saat itu Agra dan Divya yang sedang hamil melakukan perjalanan dengan mobil yang dikendarai sendiri oleh Agra. Usia kandungan Divya kalau tidak salah menginjak lima bulan. Qadarullah, mereka kecelakaan. Agra dan calon anak mereka tidak selamat, hanya Divya yang selamat.” Sakha kembali terkejut dengan kabar yang disampaikan oleh Abah Ammar. Ia tak bisa membayangkan betapa beratnya Divya menanggung ujian yang diberikan Allah SWT. Sakha saja merasa ngeri untuk membayangkannya. Pasti, saat itu keduanya tengah dilanda bahagia menanti kelahiran buah hati mereka. Namun, takdir Allah berkata lain. Divya harus kehilangan suami dan anaknya dalam satu waktu. Jika Allah sudah berkehendak apapun dengan mudah terjadi dan berganti. Kebahagian yang mereka rasakan hilang dalam sekejap dan berganti dengan kesedihan. Meski begitu, pasti ada banyak hikmah yang Allah berikan dengan adanya ujian kesedihan itu. “Pikirkan aja baik-baik, Sakha. Ya, memang risikonya besar. Kamu mungkin bisa ditolak oleh Divya. Tapi, tak ada salahnya juga mencoba, kan? Sebagai bentuk ikhtiar kamu menjemput jodoh. Divya perempuan yang baik, shalihah. Abah bantu doa semoga Allah membolak-balikan hati Divya agar mau menerima kamu.” Sakha hanya tersenyum tipis lalu mengaminkan ucapan Abah Ammar. === Hubungan Abah Ammar dan Divya memang dekat meski mereka hanya uwak dan keponakan. Tapi, bagi Divya, Abah Ammar sudah seperti sosok ayah baginya. Divya telah menjadi yatim saat usianya sepuluh tahun. Sejak itu, Abah Ammar –kakak dari ayah Divya- mulai merangkulnya agar gadis kecil itu tak kehilangan figur seorang ayah. Abah Ammar dan Ummi Fatimah bertolak ke Jakarta, tempat tinggal Divya dan ibunya, Bu Retno. Abah Ammar bermaksud menjenguk Divya sekaligus memberitahu niatnya untuk menikahkan Divya dengan Sakha. Kini, mereka berempat sudah duduk di kursi tamu rumah Divya yang sederhana. Kini, kesibukan Divya hanya mengajar di salah satu pesantren milik teman Abah Ammar. “Divya, kalau ada lelaki yang mau melamar kamu, gimana, Nak?” “Apa, Bah? Melamar Divya?” tanya Divya tak percaya. “Iya, Nak.” “Hmm, jujur Divya tidak ada niatan lagi untuk menikah, Bah. Divya ingin menghabiskan sisa umur Divya berdua sama ibu aja,” ucap Divya lirih. Abah Ammar, Ummi Fatimah dan Bu Retno saling bertukar pandang. Mereka paham jika sekarang Divya masih diselimuti kesedihan. Tapi, untuk tidak menikah lagi setelah ini, mereka rasa itu bukanlah keputusan yang bijak. Mengingat Divya masih sangat muda dan masih berkesempatan untuk bahagia di sisa umurnya. “Divya, ibu gak setuju kalau kamu berprinsip seperti itu. Tidak ada salahnya dengan menikah lagi, Nak. Misal ada lelaki shalih yang kamu sukai dan agamanya bagus datang melamar, terimalah.” “Ya, betul yang dikatakan oleh ibu kamu, Div. Abah kemarin baru saja bertemu dengan murid lama abah di pesantren. Dia teman Agra juga dulu. Mungkin kamu kenal. Dia dan ibunya datang bersilaturahmi sekaligus ibunya minta agar abah mencarikan jodoh buat dia. Entah kenapa abah langsung teringat sama kamu, Div.” Divya termenung mendengarkan kabar dari Abah Ammar. Teman Agra yang berjenis kelamin lelaki? Apakah ia juga mengenalnya? Batinnya bertanya. Jujur saja, setelah ujian berat kehilangan suami dan anak yang ia alami, kini Divya lebih menutup diri. Ia berniat tak ingin menikah lagi dengan lelaki mana pun. Ia masih sangat mencintai Agra Mahesa. Apakah bisa dalam waktu dekat ini ia membuka hatinya untuk lelaki lain? Divya merasa sangsi. === Divya termenung di depan televisi yang sedang menyala, menampilkan sebuah ceramah pagi ba’da subuh yang biasanya ia tonton. Karena sedang tidak mood, Divya mematikan televisi itu. Kini, suasana ruang tengah rumahnya menjadi hening. Dirinya masih memikirkan ucapan uwaknya, Abah Ramli. Flashback on “Namanya Muhammad Sakha Alvarendra, Div. Biasa dipanggil Sakha. Dia teman almarhum Agra sewaktu di pondok dulu. Mungkin kamu pernah sesekali melihatnya. Ah, tapi mungkin kamu juga sudah lupa. Penampilan dia sekarang sangat beda. Uwak aja pangling. Ya, wajar juga sih, dia sekarang jadi CEO di perusahaan keluarganya.” “Apa, Wak? Dia bos di kantornya?” tanya Divya terkejut. Ia tak habis pikir, mengapa seorang kaya raya yang menjabat bos di kantornya setuju untuk dikenalkan dengan perempuan seperti dirinya oleh Abah Ammar? Hal itu belum bisa dinalar dengan baik oleh otaknya. Menurutnya, jika lelaki itu seorang CEO, akan mudah baginya untuk memilih perempuan yang akan dijadikan istri. Abah Ammar menganggukkan kepalanya mantap. “Iya, dia bos di kantornya. Kenapa?” “Divya masih bingung, Wak. Hmm, kenapa harus Divya? Divya Cuma janda yang gak punya apa-apa. Kehidupan Divya ya begini ini, Wak. Padahal dia kan bisa cari perempuan lain yang masih gadis dan juga lebih baik dari Divya.” Abah Ammar tertawa tipis. “Karena dia hanya ingin memilih perempuan yang baik agama dan akhlaknya. Dan juga mungkin sudah jodoh kamu, Div. Saat Uwak cerita tentang kamu, dia tidak mempermasalahkan status kamu yang janda atau kehidupan kamu. Asal perempuan itu shalihah, baik agama dan akhlaknya, Sakha mau. ” “Uwak, tapi Divya belum bisa lupa sama Mas Agra. Ini terlalu cepat, Wak.” Divya terus saja mengemukakan alasan untuk menolak Sakha dengan halus. Sekali lagi, jujur saja, dalam kondisinya yang seperti ini ia sudah tak berniat menikah lagi dengan lelaki mana pun. “Div, tidak baik memendam duka terlalu lama. Justru Uwak rasa, kamu butuh seseirang agar kamu bisa bangkit dan memulai hidup yang baru. Tidak baik sedih terlalu lama. Mungkin, Sakha adalah lelaki yang Allah kirimkan supaya kamu kembali bahagia.” “Wak, kalau begitu, nantinya Divya takut Sakha hanya jadi pelarian buat Divya. Divya gak mau seperti itu, Wak.” Abah Ammar meringis mendengar alasan-alasan yang dilontarkan Divya. Sungguh, keponakannya yang satu ini amat keras kepala. “Abah percaya kamu tidak akan begitu dan juga Sakha tidak akan menganggap dirinya sebagai pelarian. Abah percaya kalian berdua. Lagipula, Uwak rasa gak ada salahnya juga kamu berusaha bangkit dengan menerima Sakha jadi suami kamu. Tidak ada yang salah Divya.” Divya menatap Abah Ammar dengan tatapan sendu. Apa benar Sakha adalah lelaki yang Allah kirimkan untuk membuatnya bahagia kembali? Flashback off “Divya,” panggil Bu Retno yang sudah duduk di sebelah Divya. “Eh, iya kenapa, Bu?” “Kamu, pagi-pagi gini malah melamun. Mikirin apa? Mikirin tentang lelaki yang diceritain sama Uwak Ammar kemarin, ya?” tebak Bu Retno. Divya hanya menganggukkan kepalanya lemah. “Divya gak bisa, Bu. Divya gak bisa nikah lagi sama lelaki lain.” Mata Divya mulai berkaca-kaca. Ia jadi teringat Agra Mahesa, suami yang masih sangat ia cintai hingga kini. Divya menyeka air mata yang mulai menitik di sudut matanya. Bu Retno memandang putrinya dengan tatapan sendu. Ia menghela napas panjang lalu merengkuh sang putri ke dalam pelukannya, pelukan hangat seorang ibu. Bu Retno menepuk-nepuk pundak Divya untuk meredakan kesedihan sang putri. Hatinya perih bagai teriris sembilu ketika melihat Divya kembali bersedih. Ibu mana yang tega melihat anaknya kehilangan suami dan calon anak mereka dalam waktu sekaligus. “Div, saran ibu, kamu coba saja dulu taaruf dengan Sakha. Tidak ada salahnya, Nak. Menurut yang diceritakan Uwak Ammar kemarin, sepertinya lelaki itu baik. Apalagi dia juga pernah mondok di tempat Uwak Ammar.” Divya melonggarkan pelukan ibunya. “Bu, Divya udah gak kepikiran nikah lagi sejak ditinggal Mas Agra.” Bu Retno menghela napas melihat kekukuhan Divya. “Divya, kamu boleh berencana seperti itu. Tapi, kalau Allah berkehendak lain dengan mendatangkan jodoh lagi buat kamu, kamu gak boleh nolak, Nak.” “Bu ... “ “Dengarkan ibu. Ibu udah tua, mungkin hidup ibu di dunia ini udah gak lama lagi, Nak. Ibu hanya ingin lihat kamu bahagia. Ibu ingin lihat kamu menikah lagi, punya suami yang bisa meelindungi dan membahagiakan kamu dunia akhirat. Ibu mau kamu punya keluarga sendiri, Nak.” “Bu, ibu gak boleh ngomong gitu. Divya gak suka.” “Kamu suka atau nggak, itu memang kenyataan. Ibu gak mau sepeninggal ibu nanti kamu hidup sendirian, Nak. Ibu mau kamu ada yang jaga, yaitu suami kamu. Jadi, ibu mohon banget sama kamu, tolong pikirkan lagi tawaran dari Uwak Ammar, ya.” Divya hanya bisa menatap sang ibu dengan perasaan berkecamuk. Sisi lain hatinya ingin mempertahankan cinta pada mendiang Agra, tapi di sisi lain hatinya juga ingin menuruti perintah dari sang ibu, orang tua satu-satunya yang sangat ia cintai. Manakah yang akan menjadi pilihan Divya?  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD