First Meet: Ta'aruf

1322 Words
Bismillahirrahmanirrahiim Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad === Sakha termenung di kursi santai yang berada dekat kolam renang rumahnya. Ia melamun ditemani suasana malam. Banyak hal yang berkecamuk dalam kepalanya. Tentang Divya. Tentang Agra. Juga tentang tawaran Abah Ammar. Sakha menghela napasnya panjang. Ia memang sudah memutuskan untuk bertaaruf dengan Divya melalui Abah Ammar. Setelah memanfaatkan waktu yang diberikan oleh Abah Ammar untuk beristikharah, Sakha menjadi tambah yakin untuk bertaaruf dengan Divya. Namun, hingga kini ia belum mendapat jawaban dari Divya perihal ajakannya tersebut. Tak dipungkiri, Sakha merasakan kegelisahan yang luar biasa. Ini lebih menegangkan dari sidang tesisnya ataupun ketika berhadapan dengan klien yang sulit ditaklukan. Sakha kembali menghela napas sambil beristighfar. Astaghfirullahal’azdiim ... Ia memutuskan untuk meninggalkan kursi santainya dan menuju mushola kecil yang ada di rumahnya. Ia putuskan untuk mengadu dan meminta petujuk dari Allah agar hatinya tenang. “Ya Allah, Yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hamba di atas agama-Mu. Jangan biarkan hati hamba risau dan galau tentang rejeki dan juga jodoh yang telah Engkau tetapkan dan tuliskan di Lauh Mahfuz. Tugas hamba hanya bisa berikhtiar sesuai syariat dan dengan jalan yang Engkau ridhai. Selebihnya hamba memasrahkan semuanya pada-Mu. Hanya pada-Mu. Lapangkan dan kuatkan hati hamba jika kenyataan tidak berjalan sesuai keinginan hamba. Karena hamba yakin rencana-Mu pasti jauh lebih baik dari rencana hamba, makhluk lemah yang tidak tahu apa pun dibanding Engkau yang Mahakuasa dan Mahatahu yang terbaik bagi hamba-Mu. Laa haula wa laa quwwata illa billahil’aliyyil’adzhiim.” Setelah puas mengeluarkan isi hatinya, Sakha merasa lega. Sangat lega. Kini, ia lebih siap menghadapi semua kemungkinan yang akan terjadi. Kini, ia sudah berada di kamar bersiap untuk tiidur. Saat ia akan membuka lemari untuk mengambil piyama, ponselnya yang ada di atas kasur berbunyi. Sakha tak jadi membuka lemari dan melihat ponselnya. Abah Ammar. Jantung Sakha berdetak tak karuan. Secepat inikah Allah menjawab doanya? Sakha tak langsung menjawab panggilan dari Abah Ammar. Ia menarik napas, lalu menghembuskannya pelan, begitu berulang hingga beberapa kali untuk merilekskan dirinya akan kenyataan yang akan ia hadapi nanti. “Bismillah. Assalamu’alaikum, Bah,” jawab Sakha akhirnya. “Wa’alaikumussalam warrahmatullahi wabarakatuh. Abah kirain kamu udah tidur, Kha. Lama banget angkat teleponnya,” ucap Abah Ammar. Sakha tersenyum tipis. “Nggak, saya belum tidur kok, Bah.” “Alhamdulillah kalau begitu. Abah mau kasih jawaban Divya tentang ajakan taaruf kamu.” Sakha yang sudah merasa rileks kembali gugup. Namun sebisa mungkin ia terlihat biasa saja agar suaranya tak terdengar gugup. Itu akan memalukan sekali pikirnya. Seorang CEO yang gugup hanya karena ingin mendengar jawaban tentang ajakan taaruf. “Sakha, Sakha?” “Eh, iya, Bah? Bagaimana?” Terdengar suara kekehan tawa Abah Ammar dari seberang. “Kamu pasti deg-degan dan penasaran, ya?” Sakha hanya meresponnya dengan tawa tipis. “Alhamdulillah, Sakha. Divya mau untuk bertaaruf sama kamu.” Deg! Sejenak, Sakha merasa tidak yakin akan indera pendengarannya. Apa ini mimpi? “Apa, Bah? Divya mau?” “Iya, Sakha. Alhamdulillah dia mau. Nanti abah atur ya pertemuan kalian. Abah dan Ummi sudah berusaha membujuk dia agar mau membuka hati lagi. Kamu juga bantu doa. Agar Allah membuat semua proses ini menjadi lebih mudah. Abah berdoa supaya prosesnya bisa berjalan lancar sampai ke pelaminan, ya?” “Iya, Bah. Aamiin. Makasih banyak atas bantuannya, Bah.” “Sama-sama. Gantungkan semua hal pada Allah ya, Sakha. Niatkan semua ini untuk ibadah pada Allah dan selalu berhusnuzon pada-Nya. Sehingga, kita tak mudah kecewa jika kenyataan tak berjalan sesuai keinginan.” “Iya, Bah. Saya paham. Terima kasih, Bah.” Sakha dan Abah Ammar memutuskan sambungan telepon mereka. Sakha duduk di pinggir ranjangnya. Ia berulang kali mengucap syukur. Ini adalah langkah awal yang baik. “Alhamdullah, semoga Engkau mudahkan hingga akad nanti. Aamiin.” === Hari ini adalah jadwal pertemuan antara Divya dan juga Sakha. Abah dan Ummi rela datang jauh dari Bandung ke Jakarta untuk mendampingi proses taaruf mereka. Kini, Abah Ammar, Ummi Fatimah, Sakha dan Divya sedang berkumpul di ruang tamu rumah Divya yang sederhana. Sakha memandang sekilas wajah Divya. Perempuan itu masih tetap cantik seperti dulu dan terlihat semakin dewasa. Namun, aura kesedihan masih terpancar di mata dan wajah perempuan itu meski ia memaksakan senyum. Setelah itu, Sakha lebih banyak menundukkan pandangan. Ia paham Divya belumlah halal baginya. Jadi, tak baik baginya berlama-lama memandang perempuan itu. Abah sebagai inisiator membuka dan membimbing Sakha dan Divya untuk lebih mengenal satu sama lain. Kini saatnya Sakha atau Divya saling mengutarakan pertanyaan. “Hmm, Pak Sakha. Maaf sebelumnya. Apa Bapak tidak masalah dengan status saya yang janda dan hidup saya yang sederhana seperti ini? Padahal Bapak bisa dapat perempuan yang masih gadis dan mungkin lebih segalanya dari saya ini,” ucap Divya dengan berani. Sakha hanya tersenyum tipis. “Pertama tolong jangan panggil Pak, mungkin bisa kakak atau panggilan lainnya karena kamu bukan karyawan saya.” “Hmm, oke. Kak Sakha.” “Ketika saya memutuskan untuk bertaaruf dengan kamu, saya sudah menerima keadaan kamu sepenuhnya, Divya. Saya tidak masalah dengan status kamu. Bukankah Rasulullah SAW juga menikah dengan Ibunda Khadijah yang berstatus janda? Apa Rasulullah SAW mempermasalahkan status Ibunda Khadijah saat itu?” Abah Ammar menahan senyum mendengar jawaban Sakha. Ia lalu melihat raut wajah Divya, keponakan perempuannya. Abah menduga, jawaban Sakha telah memukul telak Divya sehingga perempuan itu terdiam, belum merespon jawaban Sakha tadi. “Seperti anjuran Rasul SAW ketika memilih istri maka pilih dari agamanya dan saya melrasa kriteria itu ada pada diri kamu setelah mendengar banyak cerita dari Abah Ammar. Saya ingin kamu menjadi pendamping saya dunia akhirat, maka saya menerima usulan Abah untuk bertaaruf dengan kamu.” “Meski saya tidak cinta?” sambung Divya. Abah Ammar dan Ummi Fatimah saling berpandangan kala mendengar ucapan Divya. Abah Ammar merasa Divya masih berusaha untuk menggagalkan taaruf ini karena keponakannya itu masih bersikeras tak mau menikah. Biarlah, nanti akan ia nasihati sesudah Sakha pulang. Sakha tersenyum mendengar pertanyaan Divya selanjutnya. Sepertinya perempuan ini selalu mengemukakan alasan-alasan agar ia menolak untuk berproses ke tahap lanjut. Namun, Sakha tak mau menyerah. Ia akan berjuang sekuat tenaganya. “Cinta antara dua orang yang akan menikah menurut saya bukan hal yang utama. Yang penting, lelaki dan perempuan itu berniat menikah karena Allah dan mereka sama-sama cinta kepada Allah. Urusan hati dan cinta biarlah jadi urusan Allah karena Allah yang menggenggam hati para hamba-Nya.” Abah dan Ummi senang mendengar jawaban yang cerdas terlontar dari bibir Sakha. Abah rasa keduanya bisa saling melengkapi satu sama lain. Abah Ammar berdoa dalam hati agar Allah memudahkan jalan keduanya. “Ya benar apa yang dikatakan Sakha. Tidak butuh cinta, yang penting ada sedikit rasa ketertarikan. Pernikahan karena berlandaskan cinta kepada Allah itu jauh lebih agung daripada pernikahan yang berlandaskan saling cinta antar kedua pasangan itu.” Ummi Fatimah yang sedari tadi diam akhirnya buka suara. “Betul yang dikatakan Abah. Kami berdua dulu menikah juga tidak saling cinta. Tapi, lihat kami hingga sekarang ini. alhamdulillah Allah mengaruniakan cinta di hati kami dan pernikahan yang barakah. Ummi pikir, pernikahan yang barakah atau mendapat berkah dari Allah adalah pernikahan yang menjadikan sepasang suami istri lebih dekat kepada Allah daripada dulu waktu masih sendiri atau belum menikah.” Divya bungkam karena kalah telah. Satu lawan tiga.      === Usai salat isya, Divya termenung di kamar sambil memandangi fotonya dengan Agra saat menikah dulu. Dirinya memang salah. Ia menyetujui untuk bertaaruf dengan rencana ia akan membuat Sakha ragu menerima dirinya. Maka dari tadi saat pertemuan, Divya selalu merendahkan dirinya di hadapan Sakha. Berharap lelaki itu terbuka mata dan pikirannya lalu tak jadi melanjutkan ke proses yang lebih serius. Namun ia salah. Sakha teguh dengan pendiriannya. Abah dan Ummi juga menasihati Divya usai kepulangan Sakha. Sungguh Divya semakin bingung. Ia menatap bingkai foto sambil mengusap wajah almarhum Agra. Divya masih belum bisa melupakan Agra, suami yang masih sangat ia cintai. “Mas Agra, aku harus gimana? Ya Allah.” Divya memeluk bingkai foto itu sambil menangis tersedu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD