Nasihat Abah Ammar

1352 Words
Bismillahirrahmanirrahiim Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad === Flashback on Pertemuan dengan Sakha sudah berakhir. Kini, Abah Ammar hanya tinggal berdua di ruang tamu rumah Divya sedangkan Ummi Fatimah membantu Bu Retno menyiapkan makan malam di dapur. Abah Ammar memang sengaja ingin berdua dengan Divya. Lelaki paruh baya yang senang menggunakan sorban di pundaknya itu ingin menegur sekaligus menasihati prilakunya pada Sakha tadi. Watak Divya memang sedikit keras. Jadi diperlukan usaha dan kesabaran yang ekstra untuk meluluhkan perempuan ini. “Gimana kesan kamu sama Sakha tadi?” tanya Abah Ammar. “Biasa aja, Wak. Ya kayak bos pada umumnya. Dia memang ganteng, terlihat cerdas, berwibawa, berkharisma.” Abah Ammar tersenyum samar saat mendengar ucapan Divya. Ternyata keponakannya itu juga mengakui kelebihan Sakha. “Jangan lupa dia lelaki yang shalih juga. Apa Uwak udah bilang kalau dia juga hafidz?” Divya yang dari tadi menatap jemari di pangkuan langsung tersentak kaget dan menatap wajah Abah Ammar. “Apa, Wak? Hafidz?” Abah Ammar menganggukkan kepala. “Ya, betul. Berarti Abah lupa bilang sama kamu. Lalu apa gak ada rasa tertarik di hati kamu sama Sakha, Div?” lanjut beliau. Divya yang masih menatap uwaknya hanya terdiam tanpa bisa menjawab pertanyaannya. Sebenarnya, ia masih sulit menghapus nama Agra dari hatinya. Ia dan Agra tengah mereguk manisnya madu pernikahan ditambah tengah menanti kelahiran buah cinta mereka. Takdir Allah yang memisahkan mereka. Sungguh, Divya masih sulit menghapus Agra saat cinta mereka tengah berkobar begitu besar. Tidak. Tidak semudah itu. “Wak, Divya ... “ “Div, apa kamu mau semulia Ibunda Siti Khadijah?” sela Abah Ammar. Divya tertegun sejenak lalu menganggukkan kepalanya. Ya, tentu saja dia mau seperti Ibunda Khadijah, perempuan sahlihah yang diberi pasangan Rasulullah SAW oleh Allah. Beliau juga istri dari Rasulullah SAW yang mendapat salam langsung dari Allah SWT dan juga diberikan balasan oleh Allah berupa rumah di surga. Rumah yang tersusun dari mutiara dan hanya ada ketenangan dan kedamaian di dalamnya. Tidak ada kebisingan sama sekali. Abah Ammar kembali tersenyum. “Ya, pasti semua perempuan shalihah menginginkan bisa seperti beliau yang dimuliakan oleh Allah dengan diberi pendamping semulia Rasulullah SAW.” Abah Ammar menyesap kopi di cangkirnya sebelum melanjutkan kalimatnya. “Tapi, apa semua perempuan mampu menanggung cobaan seperti Ibunda Siti Khadijah?” “Cobaan yang mana, Wak?” “Ya, sebelum bertemu Rasul, berapak lai Siti Khadijah menjanda? Kamu pasti tahu, kan?” Divya tersentak dengan ucapan uwaknya. Divya memang tahu jawabannya. Ibunda Siti Khadijah menjanda dua kali sebelum bertemu dengan Rasulullah SAW. “Beliau diuji oleh Allah dengan dua kali kehilangan suami tercinta. Namun, hadiah yang Allah berikan atas kesabaran beliau juga tidak main-main, Div. Allah memberikan langsung kekasih-Nya, Nabi Muhammad sebagai suaminya. Dalam suatu riwayat, memang setelah dua kali ditinggal suaminya, beliau tidak berkeinginan lagi untuk menikah meski saat itu banyak lelaki mapan bahkan pembesar Quraisy yang hendak meminangnya. Tapi, saat beliau bertemu dengan Nabi Muhammad SAW, beliau kagum dengan akhlak dan agamanya yang baik, maka beliau pun kembali berkeinginan untuk menikah.” Uwaknya memang sangat pintar mengambil kisah yang bisa dijadikan alat untuk menyadarkan Divya saat ini karena kondisinya serupa. “Bahkan, beliau tak sungkan untuk mengajukan diri pada Nabi Muhammad melalui perantaranya. Meskipun belum mengenal Islam, saat itu beliau adalah perempuan terhormat dan juga berperangai baik. Seperti Allah sudah menjaga Khadijah sebagai perempuan pilihan-Nya, untuk menjadi istri dari kekasih-Nya, Muhammad.” “Nabi Muhammad juga menyambut baik maksud dari Siti Khadijah. Beliau tak mempermasalahkan statusnya yang janda, usianya yang lebih tua darinya atau apa pun itu.” “Selanjutnya, uwak rasa kamu tahu apa yang terjadi dengan mereka. Mungkin, uwak rasa mereka belum jatuh cinta saat awal menikah. Tapi karena pernikahan mereka berlandaskan cinta kepada Allah, seiringnya waktu Allah hadirkan rasa cinta di hati keduanya. Namun, cinta antara mereka dalam batas wajar dan tidak lebih besar dari cinta keduanya pada Allah.” Divya merenungi nasihat dari uwaknya itu. “Uwak ingin kamu seperti ibunda Khadijah, Div. Jangan sia—siakan kesempatan jika ada lelaki yang shalih, baik agama dan akhlaknya datang melamarmu.” Seusai itu keduanya terdiam hingga Bu Retno menghampiri dan duduk di sebelah Divya. “Kalau kamu masih bimbang, ibu ridho dan setuju kalau kamu sama Sakha, Div. Bukannya ridha orang tua juga ridhanya Allah?” “Uwak sama ibu kamu tidak ingin memaksa sebenarnya. Hanya saja, kami berdua sangat menyayangkan jika kamu menolak Sakha hanya karena belum bisa lupa dari Agra. Toh, dilihat dari Sakha, tidak ada alasan krusial kamu menolaknya, Div. Uwak yakin juga kamu sebenarnya tertarik, hanya aja masih tertutupi dengan rasa sedih dan bersalah kamu sama Agra.” “Istikharah lagi, Sayang. Mantapkan hati kamu, kami semua sudah setuju dengan Sakha,” ucap Bu Retno lembut. “Ibu ingin sekali jika ibu pergi kamu ada yang menjaga dan ibu rasa Sakha orang yang bisa ibu amanahkan untuk menjaga putri ibu ini.” Bu Retno mengulas senyum sambil mengusap kepala Divya sayang. Divya menatap uwak dan ibunya bergantian. Ya Allah, jika sudah begini apa yang harus hamba lakukan? Batinnya menjerit. === Sakha masih serius dengan pekerjaannya. Matanya berulang kali bolak-balik menatap berkas dan layar personal computer di hadapannya.  Ia harus memeriksa kesepakatan kerja sama dengan rekannya agar tidak ada satu poin pun yang terlewat. Setelah beberapa saat berkutat, ia meregangkan otot tubuhnya lalu memijat pelipisnya untuk meredakan rasa pening yang berdenyut. Tak lama ada pesan dari Alvin jika teman dekatnya yang bernama Reifan datang berkunjung. Sakha pun menyambut kedatangan Reifan dengan senyum dan pelukan khas lelaki. “Gimana kabar lo, Bro?” tanya Reifan usai menempati sofa di ruang Sakha. “Alhamdulillah, begini aja seperti yang lo lihat. Mau minum apa?” “Yang dingin boleh deh, panas banget di luar.” “Ck, kayak lo ngangkot aja ke sini. Emang di mobil lo AC-nya mati?” ujar Sakha sambil berjalan menuju kulkas kecil tempat menyimpan minuman dingin untuknya. Reifan tertawa sejenak. “Ya emang ada AC-nya sih. Tapi jalan dari parkiran ke sini juga gue terpapar sinar terik matahari, Kha.” “Alah, lebay!” ucap Sakha lalu menyodorkan sekaleng minuman isotonik dingin pada Reifan. “Eh by the way, gue gak ganggu lo, kan?” “Ganggu sih, sebenarnya. Cuma ya udah lah, gak mungkin juga lo balik, kan?” Keduanya terkekeh lalu diam karena tengah menikmati minuman dingin. “Kapan dong sebar undangan, Kha?” tanya Reifan. Sakha hanya tersenyum lalu menyimpan kaleng minumannya di meja. “Ya, doain aja biar segera, Rei. Kalau ditanya kapan, ya gue juga maunya cepet. Tapi, belum tentu Allah kasih ridha. Gue Cuma bisa ikutin maunya Allah aja.” “Emang lo gak pernah berubah dari jaman kita kuliah, ya. Semoga ya secepatnya lo bisa nikah.” “Aamiin. Makasih doanya, Bro.” “Oh ya, atau lo mau gue kenalin sama temennya Meira, istri gue? Siapa tahu ada yang cocok gitu?” “Gak usah, Rei.” “Lho, kenapa? Apa lo lagi proses sama seseorang, ya?” tebak Reifan. Ia paham jika Sakha akan lebih memilih bertaaruf dibanding dengan berpacaran yang hanya membuang waktu dan menimbun dosa. Sakha hanya terdiam sambil mengedikkan bahunya lalu lanjut meminum cairan isotonik di kalengnya. “Ah, begitu ternyata. Gue doain semoga lancar dan berakhir di pelaminan, ya.” “Aamiin. Makasih, Bro.” “Ya, sama-sama. Gue juga pengen lo cepet nikah, pasti nanti Meira dan anak-anak gue seneng punya teman main.” Tentu saja. Sakha juga ingin mempunyai belahan jiwa dan anak-anak keturunan yang menyambutnya saat lelah sehabis bekerja di kantor. Ia sudah merindukan momen itu. Tapi ia masih harus bersabar menunggu saat itu tiba. === Hari ini Sakha dan Alvin pulang larut karena pekerjaan mereka cukup banyak. Sakha dan Alvin berpisah di halaman parkir dan mengendarai mobilnya masing-masing. Jalanan pukul sebelas malam sudah cenderung sepi tapi tak menimbulkan rasa takut pada diri Sakha. Ia fokus mengendarai mobil dengan kecepatan sedang sambil bibirnya tak henti melantunkan dzikrullah. Saat melintasi jalan yang sudah sepi dekat komplek perumahannya, Sakha melihat seorang gadis berjilbab sedang dikepung oleh dua orang lelaki. Sakha melihat keadaan sekitar yang sudah sepi, lalu memutuskan untuk menepikan mobilnya dan menolong perempuan itu. “Hei, lepaskan perempuan itu!”  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD