Wedding Preparation

1365 Words
Bismillahirrahmanirrahiim Allahumma shali’ala Muhammad wa’ala ali Muhammad === “Hei, lepaskan perempuan itu!” Hardikan Sakha sontak membuat perempuan dan dua orang preman itu terkejut dan menoleh ke arahnya. Sakha dengan berani dan gagah meninggalkan mobilnya dan menghampiri ketiganya. Ia berjalan bertepatan dengan mobil patroli milik polisi yang melintas di jalanan tersebut. Tentu saja hal itu membuat dua preman ketakutan. Tanpa melakukan perlawanan, dua orang preman itu langsung kabur meninggalkan perempuan berjilbab ketika Sakha tiba di tempat mereka. Sakha mengucap syukur. Tanpa harus berkelahi, preman itu telah kabur. Mobil polisi sempat berhenti dan menghampiri Sakha dan perempuan berjilbab tadi. Polisi heran mengapa mereka berdua ada di jalanan yang sepi. Keduanya pun menceritakan hal yang terjadi, setelah itu polisi meninggalkan keduanya untuk lanjut berpatroli. “Hmm, terima kasih ya, Mas,” ucap perempuan bergamis cokelat dan berjilbab merah muda itu. “Iya, sama-sama, Mbak. Lain kali sebaiknya jangan ke luar malam begini sendiri. Kalau terpaksa, lebih baik ditemani oleh mahramnya biar aman. Zaman sekarang harus lebih hati-hati karena banyak rampok berkeliaran seperti tadi,” ucap Sakha. “Iya, terima kasih, Mas.” Perempuan tadi memang akan dirampok oleh kedua preman. Perempuan yang dalam perjalanan pulang tiba-tiba mobilnya mogok entah kenapa. Perempuan seorang diri berada di jalanan sepi, hal itu dimanfaatkan oleh preman tadi untuk merampok. Tapi untung saja pertolongan Allah segera datang. Tak ada barang yang diambil ataupun luka di tubuhnya. “Kalau begitu saya pamit pulang dulu.” “Loh, mobilnya Mbak kan mogok. Memang sudah bisa jalan?” tanya Sakha. Ah, iya. Perempuan itu baru ingat. “Coba biar saya lihat dulu kenapa bisa mogok. Mungkin karena sepele dan masih bisa saya perbaiki.” Sakha berjalan menuju mobil sedan hitam lalu membuka kap mobilnya untuk memeriksa mesin. Sekitar lima belas menit berkutat, akhirnya mobil bisa kembali dinyalakan. “Alhamdulillah,” ucap keduanya lega.      “Terima kasih banyak ya, Mas. Saya jadi gak enak, banyak merepotkan, Mas.” “Gak apa-apa. Sudah sepantasnya saling tolong-menolong.” Sakha terdiam seperti menimbang sesuatu. “Kalau begitu, saya antar biar aman sampai rumah.” Sakha memutuskan untuk mengantar perempuan itu agar tidak terulang hal serupa. “Ah, gak usah, Mas. Ini sudah malam, merepotkan. Insya Allah aman. Lagian, saya dan Mas kan sama-sama bawa mobil juga.” Sesungguhnya perempuan itu merasa waspada juga dengan lelaki yang baru dikenalnya ini. Sakha hanya tersenyum tipis mendengarnya. Ia bisa membaca jika perempuan ini juga sedikit takut dan was-was dengannya.  “Mbak gak usah khawatir, saya akan buntutin mobil Mbak dari belakang, jadi kita tetap di mobil masing-masing. Saya hanya mau memastikan Mbak selamat sampai rumah. Itu saja,” pungkas Sakha. Perempuan itu tertegun menatap Sakha. Kenapa lelaki ini begitu baik? Padahal baru pertama kali bertemu. Ya Allah, mimpi apa ia kemarin malam bisa bertemu dengan lelaki yang tampan dan juga baik sepertinya? Tak terasa, pipinya sudah bersemu merah karena terbawa perasaan. “Mbak, Mbak!” ucap Sakha membuyarkan lamunan. “Eh? Astaghfirullah iya kenapa, Mas?” “Ayo, sudah larut malam. sebaiknya kita segera bergegas.” “Oh iya, terima kasih, Mas. Maaf merepotkan. Hmm, kalau boleh tahu, nama Mas siapa? Saya Yasmin.” Perempuan yang bernama Yasmin itu menangkupkan kedua tangannya di depan d**a. “Sakha, panggil saja Sakha.” Sakha. Sepertinya Yasmin akan mematri nama itu dengan kuat pada memorinya. === Divya hari ini tidak masuk untuk mengajar. Bu Retno jatuh sakit. Jadi, Divya izin tidak masuk untuk merawat ibunya. Ia dengan telaten merawat dan menyuapi sang ibu yang terbaring lemah di tempat tidurnya karena darah tingginya kambuh. Sang ibu memang memiliki riwayat penyakit jantung dan darah tinggi. Tapi, perempuan itu tidak mau diajak Divya kontrol ke rumah sakit. Beliau lebih memilih istirahat di rumah sendiri. “Div,” panggil Bu Retno. Divya yang sedang menyuapi sang ibu dengan bubur ayam sebelum minum obat pun menghentikan tangannya. “Iya, Bu. Kenapa?” “Gimana keputusan kamu sama Sakha? Jangan terlalu lama.” Divya menghela napas panjang. Tak lama ia menatap sang ibu lalu berucap dengan mantap, “maaf, Bu. Divya gak bisa nerima Kak Sakha.” Bu Retno memijat pelipisnya karena pening. Ia kesal dengan sang putri yang keras kepala. “Div, kalau ibu minta kamu menikah dengan Sakha sebagai permintaan terakhir dari ibu, kamu mau?” “Ibu, apa-apaan? Jangan ngomong kayak gitu! Divya gak suka.” “Kamu juga yang apa-apaan, Div? Ibu juga gak suka kalau kamu keras kepala begini, Div! Ibu rasa gak ada alasan buat kamu nolak Sakha,” ucap ibunya lirih namun tajam. Divya kembali terdiam. Bu Retno menatap putri semata wayangnya lalu menggenggam tangan sang putri. “Divya, ibu mohon sekali sama kamu, Sayang. Menikah dengan Sakha, ya. Demi ibu, Nak. Bukannya ridha Allah terletak pada ridha orang tua? Tolong Div, ibu pengen sekali kamu ada yang jaga kalau ibu udah gak ada. Kamu gak usah khawatir akan mengkhianati Agra. Kalian sudah berbeda alam, Sayang. Agra lelaki yang baik, dia pasti ingin kamu melanjutkan hidupnya dengan lelaki yang juga baik seperti Sakha. Mereka dulu berteman baik, kan?” “Bu, Divya ingin seperti ibu yang hanya cinta sama ayah. Ibu gak menikah lagi kan selepas ayah meninggal?” tanya Divya lirih. Tangan Bu Retno terulur mengelus puncak kepala sang putri. “Iya, betul. Ibu memang tidak menikah lagi karena Allah memang tidak mengirimkan jodoh lagi untuk ibu, Sayang. Mungkin sudah takdir ibu seperti itu. Jujur, kalau dulu ada lelaki yang shalih dan baik kayak Sakha, nerima keadaan ibu yang udah punya satu anak datang melamar ibu, insya Allah ibu gak nolak, kok. Kalau kamu gak percaya, tanya aja sama Uwak Ammar.” Divya menatap sang ibu dengan tatapan nanar. Ya Allah, haruskah ia menerima Sakha dalam hidupnya? === Setelah beristikharah dan merenung, Divya akhirnya setuju untuk menikah dengan Sakha. Abah Ammar, Ummi Fatimah dan Ibu Retno luar biasa bahagia akhirnya Divya mau membuka hatinya dan mengalahkan ego dan keras kepalanya. Sakha? Jangan ditanya. Perasaan Sakha tak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Lelaki itu hanya bisa banyak mengucap syukur karena Allah telah melunakkah hati Divya. Ibu Melanie pun turut senang akhirnya putra semata wayang bisa mendapatkan jodohnya, seorang perempuan shalihah yang akan mendampingi putra tercinta. Beliau tak mempermasalahkan status Divya yang janda. Beliau percaya dengan pilihan Abah Ammar dan juga Ummi Fatimah. Mereka pasti tidak sembarangan memilih perempuan untuk putranya. Terlebih, Divya adalah keponakan Abah Ammar.  Beliau yakin Divya adalah perempuan yang baik yang bisa mendampingi anaknya. Perempuan yang sudah pantas menyandang status sebagai nenek itu dengan antusias menyiapkan pesta pernikahan yang rencananya akan digelar dengan sederhana di rumah milik Sakha yang besar dan luas. Rumah yang akan menjadi tempat Sakha dan Divya tinggal nantinya setelah menikah. Beliau sedang memberi komando pada beberapa orang pekerja yang bertugas mendekor untuk pesta walimah. Sakha yang juga membantu hanya bisa tersenyum melihat sang ibu menikmati kerepotannya. “Ma, udah mama istirahat aja, biar Sakha yang ngawasin di sini,” ucap Sakha. “Eh, kok kamu udah pulang?” tanya Bu Mel heran. Pasalnya ini belum menunjukkan jam pulang kerja Sakha. “Iya, sengaja, Ma. Kerjaan di-handle sama Alvin. Aku juga mau bantuin mama nyiapin buat lusa. Mama istirahat aja, gih. Biar gak capek dan aku yang gantian ngawasin.” “Mama tuh gak capek tahu! Udah kamu diam aja, Kha. Kapan lagi coba mama sibuk kayak gini? Ini kan hajatan mama yang pertama dan terakhir.” Sakha tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. “Nah habis ini kamu sama Divya tinggal bikin anak yang banyak ya, Kha. Biar rumah mama bisa diinapin sama banyak cucu. Lagian mama udah ngerasain gak enak punya anak cuma satu, sedih,” keluh Bu Mel. “Ah, mama gak sabar nih pengen cepetan nimang cucu.” Senyum yang tersungging di wajah tampan Sakha perlahan memudar. Ia mengalihkan pandangan pada pekerja yang sedang menata bunga di pelaminan. Anak. Tentu saja ia ingin sekali memiliki anak dengan Divya, tapi apakah perempuan itu mau mengandung anak darinya? Sedangkan, Sakha belum melihat pancaran cinta di mata Divya untuknya saat ini. Entahlah, Sakha hanya bisa berharap pada Rabb yang Maha Membolak-balikkan hati agar hati Divya bisa luluh. Tak apa, pernikahan mereka memang bukan didasari perasan saling jatuh cinta. Tapi, Sakha akan sekuat tenaga membangun cinta dalam pernikahan mereka, tentunya atas izin dan ridha Allah semata.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD