Kepala Batu

1030 Words
Sesampainya di kantin, Tari menarik kursi asal. Mencari tempat nyaman, lalu dengan paksa mendudukkan diri di sana. Wajah kesalnya belum hilang, membuat gadis itu memberengut masam. "Sumpah ya, aku kesel banget, Cit. Sekarang kamu tahu sendiri kan, Kak Rigi orangnya bagaimana? Itu kah laki-laki yang kamu idamkan? Pemaksa dan semena-mena!" oceh Tari murka. Cita hanya bisa menenangkan. Kalau Tidak, Tari akan terus nyerocos sampai subuh. "Udah dong keselnya. Mending kita nikmati semangkok bakso, atau seporsi siomay dan es teh, daripada kamu ngomel gak jelas? Gak ada gunanya loh. Lagian, Kak Rigi masih baik kok, meski di suruh nunggu di kantin, buktinya kamu dikasih uang jajan loh. Coba lelaki yang gak pengertian, pasti kamu bakal ditelantarkan di kantin sendirian." Tari berusaha mencerna ucapan Cita. Yang Tari katakan memang ada benarnya. Rigi memang pengertian, tapi juga pemaksa. Tapi yang lebih penting sekarang adalah perutnya. Tari mengedarkan pandangan, memilih makanan apa yang mau dibeli. Dan pilihannya jatuh pada seporsi batagor dan mendoan anget yang baru diangkat dari penggorengan. "Aku mau batagor dan mendoan, kamu mau apa? Jajan aja sepuasmu, kita habiskan duitnya Kak Rigi." Cita menahan Tari untuk bangkit berdiri. Dirinya berinisiatif untuk memesan. "Aku pengen siomay dan sate puyuh dengan segelas es teh. Kamu tunggu sini saja, biar aku yang pesan." Tari mengernyit. Cita cukup tahu diri. Meski ditraktir, itu tidak akan membuatnya tamak. Kalau gak habis kan mubazir. "Yakin itu saja? Mumpung aku banyak duit loh, meski dapet malak. Tapi dijamin halal kok." Cita terkekeh, "Iya, iya, malakin calon suami jelas halal lah. Udah, itu aja cukup. Aku gak mau serakah ah! Nanti gak habis kan sayang." Tari mencubit lengan Cita. "Calon suami, calon suami! Lagian, makanan kok disayang? Makanan ya dimakan lah. Dasar jomblo!" Cita mendelik tajam, sambil setengah mengerucutkan bibir masam. "Sendirinya jomblo ngatain orang!" Tari terkekeh. "Setidaknya jombloku bermanfaat, gak ngenes kayak kamu. Wlee!" Tari menjulurkan lidah pada Cita. Wanita itu terlihat sangat happy. "Eh, ralat. Gak jomblo lagi dong, kan bentar lagi mau nikah. Udah ah, aku mau pesan dulu. Keburu laper." Cita beranjak meninggalkan Tari yang mulai kesal. "Ih dasar!" gerutu Tari dalam hatinya. *** Usai memakan pesanan masing-masing, Tari dan Cita memegang perut yang kekenyangan. Uang yang diberi Rigi pun masih tersisa banyak, bahkan, seperempatnya saja masih belum sampai. "Uang dari Kak Rigi masih sisa banyak nih. Makanan kita harganya gak sampai seperempat dari yang dia kasih, kamu mau pesan lagi gak?" Tawar Tari ketika memandang uang yang di tangannya masih tersisa beberapa lembar merah. Cita menggeleng, ia sudah tidak sanggup makan lagi. "Udah Tar, aku dah kenyang. Perutku gak muat lagi. Mending kamu tabung aja, hitung-hitung jadi tabungan masa depan." Tari mengernyit bingung. Ia tidak paham yang Cita maksud. "Tabungan masa depan bagaimana? Sumpah, kamu kalau ngomong jangan kode-kode lah, aku gak paham." Tari memutar bola matanya jengah. Cita meringis seperti orang tak berdosa. "Ya tabungan masa depan, kayak lahiran, popok anak." Tari melotot tajam. "Masih kecil, gak usah bahas gituan Cit! Lagipula mau lahiran anak siapa? Anak onta?" Cita terkekeh pelan. Sahabatnya itu terlihat makin menggemaskan kalau sedang merajuk seperti ini. Pantas saja Kak Rigi hobby sekali menjahili Tari. "Ya anaknya Kak Rigi lah. Anak siapa lagi? Kan dia suamimu." Cita tertantang menggoda Tari. Tari bergidik ngeri membayangkan hal itu benar-benar terjadi. Ia tampak geli sendiri. "Hahaha," tawanya mengudara. Detik berikutnya, ekspresinya berubah datar. "Gak mungkin!" Cita tertawa meremehkan. "Kita lihat saja nanti." Tari menghentakkan kakinya kesal. "Ngeselin banget kamu Cit, sumpah!" Tidak ada jawaban dari Cita membuat keduanya akhirnya sama-sama diam. Tari beranjak, "Sebentar ya, aku mau beli kerupuk seblak sama molreng dulu. Aku pengen ngemil yang pedas-pedas nih." Cita mencegah pergerakan Tari. "Aku juga deh. Kalau itu, aku juga mau." Cita meringis tanpa dosa. "Hemmm ya udah, aku beli dulu." Tari berjalan ke kantin yang paling ujung, lalu mengambil masing-masing 1 pack molreng dan kerupuk seblak. Usai membayar makanan dengan total 25.000 Tari kembali ke tempat duduknya semula. Tari menaruh jajanan jadul itu di atas meja. " Nih, aku borongin buat kamu." Cita meringis kegirangan. Sahabatnya memang paling peka. "Makasih Tari, Sayang. Kamu tahu banget yang aku suka." Tari kembali duduk sambil memutar bola matanya jengah. "Kalau ada makanan adek dipuja-puja. Kalau gak ada, adek diledekin terus, Neng!" sindir Tari. Cita meringis. Selama satu jam lebih, keduanya berbincang sembari menikmati jajanan pedas yang Tari beli. Tak terasa, sudah hampir setengah jajan yang mereka habiskan, tiba-tiba Rigi berjalan menghampiri keduanya. Cita yang sungkan menjadi obat nyamuk pun pamit undur diri. "Tar, aku pamit dulu." Lalu berganti menatap Rigi, "Kak Rigi. Assalamualaikum." Tanpa menunggu jawaban Tari, Cita berlalu begitu saja. Tari mendengus kesal, "Ih, Cita! Main tinggal saja!" Tar hanya bisa memandang punggung Cita yang makin jauh. Tari memandang Rigi malas. Ia pun memilih untuk memasukkan sisa jajannya ke dalam tas punggung yang dirinya kenakan. "Dih, jajanan gitu dibawa pulang," sindir Rigi. Bagi Rigi, apa yang Tari lakukan benar-benar memalukan. Tari pun sewot, ia pun melotot tajam. "Gaya bangat. Ini tuh enak tau! Maklum, orang kaya, gak pernah makan ginian." Tari meresleting tasnya setelah memasukkan semua jajan yang masih tersisa, lalu meraih bungkus yang kosong dan membuangnya ke dalam tong sampah. "Apa sih, ngelihatin mulu! Jadi pulang gak?" Kesal Tari saat Rigi hanya memandangnya. Laki-laki itu tidak berniat untuk beranjak. "Tunggu saja di halte, aku mau ambil motor dulu." Perintah Rigi membuat Tari mengerang kesal. "Tau gitu, aku bareng Cita saja tadi." Ya, Tari kesal karena jarak dari halte dengan kampusnya, masih butuh waktu. Ia pun terpaksa harus jalan kaki sejenak. Rigi mengangkat bahunya. "Terserah kamu sih, mau ikut aku ke parkiran juga silakan. Tapi jangan marah kalau nanti jadi bahan gosip satu kampus." Tari menggerutu. "Mending pulang sendiri!" ketusnya, lalu pergi dari hadapan Rigi. "Aku laporin Mama!" ancam Rigj sukses membuat Tari menghentikan langkahnya. Gadis itu berbalik, lalu menatap Rigi tajam. "Ngeselin banget sih, jadi cowok! Bisa gak sih jangan jadi pemaksa? Aku capek!" keluh Tari pasrah. "Bisa gak sih jadi cewek penurut? Saya lelah!" Tari mengelus d**a. Ia harus mengumpulkan lebih banyak kesabaran lagi. "Nggak tahu lah! Ngomong sama kamu itu kayak ngomong sama patung pancoran, nggak guna tau!" "Udah, nggak usah banyak omong. Cepetan ke halte sekarang!" Tanpa berlama-lama, Tari berlalu begitu saja dari hadapan lelaki itu. "Senior belagu!" Makinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD