Cita heran melihat perubahan tingkah Tari yang drastis, Cita merasa bingung. Dalam benaknya timbul tanya, 'Mengapa Tari jadi marah-marah gak jelas?'
"Tar kamu kenapa sih? Kelihatannya kesel banget gitu."
Tari memandang Cita cukup lama. Wajah emosinya tak mampu disembunyikan lagi. "Gimana aku gak kesal, Cit, masa Kak Rigi bilang aku calon ibu dari anak-anaknya? Gila gak sih itu orang? Yang benar saja."
Cita tertawa keras mendengarnya. Untung saja belum ada yang datang.
Wajah Tari makin kesal, karena sahabatnya sendiri pun menertawakannya. "Kok kamu malah ketawa sih? Nggak lucu!"
Cita berusaha menghentikan tawanya. Seketika perempuan itu tampak diam. "Aduh, maaf, maaf, lagian lucu banget sih? Sweet deh, jadi iri.”
Tari menggeplak kepala Cita keras, agar perempuan itu bisa secepatnya sadar dengan apa yang diucapkan. "Iri, iri, nganan saja! Semprul banget kamu. Lagian siapa juga yang mau sama dia."
Cita menggerutu. Kepalanya terasa nyut-nyutan setelah ditoyor Tari. "Apa salahnya sih? Kamu beruntung loh. Itu artinya Kak Rigi udah mulai ada rasa sama kamu. Kalau dia udah ngakuin kamu sebagai calon ibu dari anak-anaknya kan berarti kamu memang calon ibunya anak-anak Kak Rigi. Banyakin bersyukur aja lah. Kak Rigi pinter, kuliah kedokteran, tajir, ganteng lagi, anak kalian nanti pasti sempurna."
Kali ini, cubitan yang Tari layangkan untuk Cita.
Cita mengadu kesakitan. "Aduh duh, kok malah dicubit sih?"
Tari menatap Cita tajam. Sorot matanya seolah berbicara, "Rasakan! Lagian kalau bicara asal ceplos. Di mana-mana, kecerdasan anak itu yang mewarisi orang tua perempuan. Sepintar apa lakinya, kalau bininya bodoh ya bodoh. Makanya jadi wanita cerdas, bukan wanita good looking. Yang perempuan wariskan itu otak Shay, bukan rupa!"
Cita tampak manyun. Perempuan itu merasa tersindir. "Iya, iya, aku emang gak sepintar kamu, tapi aku gak g****k-g****k banget kok."
Tari terkekeh mendengarnya. Bukan maksud nyindir, tapi ia tampak kesal dengan Cita. "Bukan aku yang bilang," bisiknya lirih.
Cita memutar jengah bola matanya. "Bukan kamu yang bilang, tapi ucapanmu menancap ginjal membuatku sadar diri. Dasar!"
Tak mempedulikan Cita lagi, Tari pun meraih ponselnya kembali. Dengan cepat, Tari mengirim balasan pesan untuk Rigi.
Jingga Mentari: Apa kamu bilang? Coba ulang lagi. Gak salah baca, aku? Calon ibu gundulmu! Kita udah sepakat kalau pernikahan ini cuman pura-pura. Jadi dimohon kesadarannya ya Pak Rigi yang terhormat. Jangan ngajak bercanda terus!"
Tak lama, balasan pesan dari Rigi masuk.
Calon suami: Emang, tampang aku kelihatan bercanda ya?"
Tari menahan napas, membaca pesan Rigi. 'Sabar Tari, dia ngetiknya pakai jari, bukan hati. Mohon kamu gak usah baper.' ucapnya dalam hati.
Jingga mentari: Ya mana aku tahu, kamu kan ngetik, gak ngomong. Kan jarimu bisa bohong. Lagian kenapa pake gombal coba? Gak mempan!"
Calon suami: Siapa sih yang gombal? Suudzon mulu jadi orang.
Jingga Mentari: Terserah kamu ah! Aku capek.
Calon suami: Gak diapa-apain udah capek aja.
Jingga Mentari: Allahuakbar. Bener-bener ya? Pulang kampus aku makan kamu.
Malas meladeni chat Rigi, Tari pun akhirnya keluar dari room chat bersama Rigi.
Tari menyerahkan ponselnya pada Cita. Ia memandang gadis itu malas.
"Tuh, lihat chatnya Kak Rigi. Bikin males aja tahu ga!"
Cita mengambil ponsel itu dari tangan Tari, lalu menekan ikon hijau bergambar gagang ponsel. Tari mengernyit kala membaca nama yang tertera pada chat teratas. "Calon suami?" gumamnya lirih.
Seperti tahu yang ada di pikiran Cita, Tari pun mencoba menjelaskan. Tapi ia kalah cepat dengan sindiran yang Cita lontarkan.
"Bilangnya gak suka, tapi kontak dinamain calon suami," sindir Cita nyinyir.
Tari yang tak sempat membela diri, akhirnya memutar bola matanya jengah. "Itu Kak Rigi sendiri yang namain. Dan aku gak sempat ganti namanya. Kamu kan tahu aku gimana orangnya, gak mungkin aku kasih nama orang seformal itu di kontak aku."
Cita mengangguk paham. "Iya sih, nama aku aja, bisa kamu ubah jadi Cita-citaku. Emang dasar!"
Tari meringis mendengar gerutuan Cita. "Dahlah, bodo amat aku. Suka-suka dia saja. Capek aku. Terkadang, ngadepin orang gila juga harus dengan kegilaan. Biar gak ikut gila."
"Gak ikut gila, tapi lebih parah!" seloroh Cita mendapat geplakan dari Tari.
"Cita!" Geram Tari.
Kelas Tari hanya ada satu mata kuliah. Rencananya, dia ingin pulang lebih awal untuk mengistirahatkan tubuhnya yang lelah.
Tari dan Cita sudah ada di parkiran. Tari meminta tolong pada Cita untuk mengantarnya pulang.
Saat dirinya sampai di parkiran, tiba-tiba ada gerombolan anak tongkrongan Rigi dan kawan-kawannya.
Tari berjalan mengendap-endap di belakang Cita agar dirinya tidak ketahuan lelaki itu.
"Tari." Tari menghentikan langkahnya saat namanya dipanggil. Ia berbisik pada Cita panik. "Aduh Cit, ada yang manggil. Semoga Kak Rigi gak sadar."
"Tari," panggil seseorang lagi membuat Rigi menoleh. Ia mengalihkan atensinya pada sebuah nama yang sangat tidak asing di telinganya.
Tari pun menoleh, tanpa sengaja pandangannya beradu dengan Rigi membuat lelaki itu memandangnya tajam. "Aduh, mampus! Pakai lihat lagi," gumam Tari pelan.
Rigi berjalan menghampiri Tari lalu menyeret paksa gadis itu menjauhi kerumunan. Mereka sekarang jadi pusat perhatian.
Rigi memandang Tari tajam. Ia memandang murka pada gadis pembangkang itu. "Saya sudah bilang sama kamu! Tunggu saya di halte! Jangan pulang dulu! Keras kepala banget jadi orang!"
Tari yang dimarahi hanya berdiam diri. Ia tidak mau mencari keributan.
Rigi memaksanya mendongak agar bisa menatapnya. "Saya di sini, bukan di bawah! Ngapain nunduk?"
Tari yang tidak tahan dengan kelakuan semena-mena Rigi, emosinya pun membeludak. Tanpa Ragu, Tari membalas sorot mata Rigi yang tajam. "Kamu kenapa sih? Kita kan udah sepakat buat hidup masing-masing! Mau aku pulang atau tidak, itu hak aku ya? Kamu gak punya hak apa pun untuk itu. Lagian, kamu tega biarin aku di halte kayak jemuran?"
"Jelas aku berhak! Aku calon suamimu," bisik Rigi tempat di telinga Tari membuat gadis itu meremang.
Tari melotot tajam. "Tapi aku punya kebebasan untuk diriku! Jangan membuatku murka! Berhenti mencampuri hidupku lagi!"
Saat Tari mau menghampiri Cita, dengan cepat Rigi mencengkeram pergelangan tangan gadis itu. Rigi mengeluarkan beberapa lembar kertas berwarna merah dari dalam dompetnya. "Tunggu aku di kantin. Ambil ini, kamu bisa jajan sepuasmu di sana. Satu mata kuliah lagi kita pulang."
Tari menepis tangan Rigi. "Kita? Kamu aja kali. Aku mau pulang."
"Jangan membantah bisa gak sih? Jadi orang keras kepala amat."
Tari memutar bola matanya jengah. Kalau bicara gak ngaca dulu. "Jangan maksa bisa gak sih? Jadi orang kok pemaksa banget!"
"Udah! Gak usah banyak omong. Tunggu di kantin sekarang!"
Tari menghentakkan kakinya. Ia mengambil uang di tangan Rigi lalu berjalan menghampiri Cita dan mengajaknya ke kantin. "Cit, ikut ke kantin. Aku traktir sepuasmu."