Seminggu sudah berlalu. Tari tidak boleh larut dalam kesedihannya terus menerus. Masa depannya masih harus diperjuangkan. Ia harus kembali bangkit dan mengejar impiannya untuk gelar sarjanah yang diimpikan.
Di sebuah universitas ternama, Tari berjalan menyusuri halaman kampus yang megah. Hari ini, dirinya mulai beraktivitas kembali setelah seminggu meminta izin untuk tidak mengikuti kelas.
Tari yang masih merasa kehilangan atas meninggalnya sang nenek, membuatnya kurang semangat menggapai mimpi dalam menimba ilmu di kampus kebanggaan di kotanya ini.
Sepanjang langkah kakinya, Tari berjalan dengan pikiran yang berterbangan. Tatapan yang kosong seperti orang melamun, membuat dirinya tanpa sengaja menabrak seseorang.
“Aduh!” rintih Tari kesakitan, setelah tubuh mungilnya terjerembab ke tanah.
Seseorang yang ditabrakya, tengah berdiri tegap dengan tatapan yang dingin. Tari pun mendongak, Ia tersentak kaget, saat mendapati senior yang namanya begitu melambung di antero kampus menatapya dengan angkuh. Seketika, nyali Tari menciut. Ia pun menunduk dan berusaha untuk berdiri.
“Hati-hati kalau jalan. Punya mata itu dipakai, bukan dianggurin!” ujarya dingin tapi mampu membuat tubuh Tari gemetar.
“I – iya!” jawab Tari terbatah.
Tanpa melirik sedikit pun pada Tari, laki-laki itu berjalan melewatinya begitu saja.
Ya, lelaki itu bernama Rigi Alamsyah. Seorang mahasiswa kedokteran yang memasuki semester pertengahan. Pesona dan prestasiya di kampus ini, sudah tidak diragukan lagi. Siapa yang tidak kenal dengan Rigi? Seorang pembalap motor cross nasioal, sekaligus aset kampus.
Tanpa menghiraukan ucapan Rigi yang menohok di hatinya, Tari pun kembali melangkah menuju kelas. Meski langkahnya sedikit terseok, tapi kali ini, ia harus lebih berhati-hati dalam melangkah, agar tidak menabrak orang lagi.
Sesampainya di kelas, suara Cita yang menggelegar menyambut Tari dengan Riang. Untang saja, hanya ada mereka berdua yang ada di kelas.
“Tari! Akhirnya kamu masuk juga.”
Cita menyambut kedatangan Tari dengan rentangan tangan yang lebar.
Tari pun terkekeh dan membalas rentangan tangan dari Cita. Kedunya terlihat saling peluk.
Di kelas ini, Tari hanya puya satu teman akab. Ya, cuman Cita yang menjadi tempat berbagi Tari.
“Hai, apa kabar? Aku kangen baget sama kamu,” ujar Tari menyapa Cita. Akhirnya, kedua sahabat itu bisa kembali temu kangen setelah hampir dua minggu tidak bertemu.
Cita mengurai pelukanya. “Alhamdulillah, seperti yang kamu lihat. BTW, turut bela sungkawa ya, Cantik. Jangan sedih-sedih lagi. Masih ada aku yang bisa kamu anggap sebagai keluarga.”
Mendengar itu, hati Tari terenyuh. Cuman Cita yang mampu memahami perasaannya saat ini. “Terima kasih, Cantik.”
Tari pun berjalan dan duduk di bangkunya. Diikuti dengan Cita di sebelahnya, karena bangku mereka memang bersebelahan.
Tari menatap Cita sesaat. “Cit, tadi aku nabrak senior kita yang pembalap itu,” curhat Tari dengan mengingat kejadian tadi.
Cita mengernyit. “Pembalap siapa?”
Tari terlihat tengah berpikir. Masalahnya, ia juga lupa dengan nama seniorya itu. “Lupa namanya. Pembalap yang anak kedokteran itu loh.”
“Oh, Kak Rigi maksud kamu?” tebak Cita.
Tari menjentikkan jariya. “Nah, itu dia.”
Cita terlihat mulai kepo. Rasa penasaran gadis itu cukup tinggi membuatnya tertarik untuk bertanya lebih jauh lagi. “Nabrak gimana, maksud kamu?”
Tari terdiam sejenak. Ekspresinya terlihat sedikit kesal. Bayangan Rigi yang angkuh denga tatapan dinginnya kembali tergiang di wajah Tari.
“Hemmm ... sumpah, ya! Aku nggak mau lagi berurusan sama orang kayak gitu. Songong banget mukanya. Aku kan jalan, tapi sambil melamun. Terus nggak sengaja nabrak dia yang jalan di depanku. Aku sampai mental loh, dibuatnya. Mentang-mentang tubuhnya kekar, jadi seenaknya banget. Lihat aku jatuh, bukannya bantuin, malah ngatain aku jalan nggak pakai mata. Ngeselin banget, kan?” cerocos Tari.
Mendegar itu, Cita jadi terkekeh. “Hati-hati! Kalau benci jangan berlebihan. Ucapan kamu bisa saja menjadi boomerang. Mending tarik kata-kata kamu. Entar kamu malah berurusan tiap hari lagi sama dia.”
Tari memutar bola matanya. “Ogah! Kenapa kamu jadi nakut-nakutin sih? Sampai kapan pun, aku nggak akan urusan lagi sama senior angkuh itu.”
Cita mengelus punggung Tari. “Udah! Jam kuliah mau mulai. Fokus!”
Benar dugaan Cita. Tak lama setelahnya, dosen pun datang degan tumpukan berkas di tangannya.
“Anak-anak, hari ini kuis!” ujar dosen tak terbantahkan.
“Hah?” Seluruh mahasiswa terbengong serempak. Pasalnya, tidak ada pemberitahuan apa pun soal kuis. Tari juga ikutan gelisah, karena ia belum sempat membaca materi apa pun saat ia ambil libur kemarin.
“Bercanda. Gitu aja dianggap serius. Keluarkan buku materi sekarang!”
Terdengar helaan lega dari semua mahasiswa.
Setelah dua jam berkutat dengan materi, proses pembelajaran berjalan dengan lancar. Kali ini, sudah waktunya jam istrirahat berdenting. Setelah itu, akan ada pergantian mata kuliah yang baru.
Tari dan Cita, memanfaatkan waktu jam istirahat ini dengan sebaik mungkin.
“Cit, ke kantin yuk!” ajak Tari pada sahabatnya ini.
Cita mengangguk antusias. Ia menerima tawaran Tari, karena perutnya juga sudah keroncongan. “Yuk!”
Setelahnya, mereka berjalan menuju kantin.
Di kantin, tanpa sengaja mata Cita menangkap sosok Rigi yang tengah menongkrong asik bersama teman-temannya. “Tar, ada Kak Rigi sama gengnnya,” adu Cita.
Tari pun tampak acuh. “Terobos aja. Yang penting kita nggak cari masalah.”
“Permisi, Kak,” ucap Tari ramah. Meski ia cukup kesal dengan Rigi, tapi ia tidak melupakan sopan santunnya sebagai seorang junior.
Tanpa menunggu izin dari mereka, Tari menerobos, melewati sekumpulan cowok-cowok sangar itu diikuti Cita di belakangnya.
“Wih! Oke juga nih. Cukup berani,” gumam seseorang yang duduk tepat di sebelah Rigi. Rigi sendiri tampak acuh tak acuh. Ia tidak menyadari jika Tari adalah gadis yang menabraknya tadi.
Setelah melewati meja yang menjadi tongkrogan Rigi dan kawan-kawan, Cita menarik napas lega. Pasalnya, mereka adalah orang-orang yang cukup disegani di kampus ini. Jangan sampai bermasalah dengan mereka, bisa-bisa, jadi masalah besar. Apalagi, sampai mencuri perhatian salah satu anggotanya. Pasti geng Mak Lampir yang sok kecentilan di kampus akan keluar dari sarangnya. Mereka tidak akan segan untuk menindas mereka-mereka yang menyaingi popularitas geng Mak Lampir di kampus ini.
“Kamu mau pesan apa, Tar?” tanya Cita.
“Bakso aja, Cit. Sama bakwan dua,” jawa Tari.
“Minumnya?”
“Es teh manis sama air mineral.”
Tanpa menunggu lebih lama, Cita pun beranjak dari hadapan Tari untuk memesan makanan mereka.
Tak lama, Cita kembali dengan membawa dua plastik bakwan dan sebotol air mineral di tangannya. Ia pun menaruh bakwan di meja, menyeret kursi dan duduk di hadapan Tari.
“Baksonya masih dibuatin,” lapor cita.
Tari mengangguk, “Oke!”
Setelah menunggu beberapa menit, ibu kantin datang dengan membawa dua mangkok bakso dan juga es teh di atas nampan. “Silakan, Nak.”
Cita tersenyum, “Makasih, Bu Asir.”
Ibu Kantin yang akrab disapa dengan Bu Asir itu tersenyum. “Sama-sama. Ibu kembali dulu,”
“Iya, Bu,” balas Tari dan Cita bersamaan.
Tanpa menuggu lebih lama, keduanya langsug melahap bakso-bakso yang ada di mangkok masing-masing.
Sudah hampir setengah jam, kedua gadis itu menghabiskan waktu di kantin ini. Tapi Rigi dan teman-temannya tak jua pergi. Ada dua pilihan yang bisa ia lewati umtuk kembali ke kelas. Lewat depan Rigi, atau memutar jauh lewat lorong panjang sekolah ini.
“Tar, lewat mana?” tanya Cita. Perempuan setegah gendut itu juga paham dengan maksud Tari mengajaknya lebih lama di kantin ini. Tari tidak ingin kembali bertemu degan Rigi.
“Lewat lorong aja, ya? sekalian olah raga. Biar kurus kamu,” gurau Tari membuat Cita memanyunkan bibirya.
“Hemmm ... ya udah lah. Ayo!”
Saat keduanya bangkit dan mulai berjalan ke arah lorong, salah satu teman Rigi memanggil. “Hey! Cewek kuncir kuda.”
Sejenak, Tari menghentikan langkahya. Tapi, detik berikutnya ia kembali berjalan. Ia berpikir, jika itu bukan dirinya.
“Berhenti!” teriak cowok itu lagi dengan lantang. Seketika, gerombolan cowok itu menjadi pusat perhatian.
Tari mengedarkan pandangannya pada sekeliling. Tidak ada satu pun yang rambutnya dikuncir kuda selain dirinya. ia pun jadi semakin yakin saat lelaki itu menatapya dengan sorot mata tajam
“Kamu! Ke sini!” perintahnya dengan menunjuk Tari.
Tari memicingkan mata dengan menunjuk diriya sendiri. “Aku?!” tanyanya setengah berteriak.
“Ya, kamu!” jawabnya Lantang.
Tari dan Cita saling lirik. “Ikut aku, Cit!” pinta Tari.
Saat keduanya melangkah, Cita disuruh balik. “Yang gendut, nggak usah ikut!”
Cita menghentikan langkahnya dengan perasaan geram. “Body shamming banget sih!” makinya dongkol.
Tari mengelus pundak Cita. “Udah, Cit. Kamu ke kelas dulu. biar ini jadi urusanku.”
Cita tidak setuju. Cita merasa Tari dalam bahaya. “Tapi, Tar?”
Tari mengangguk, “Nggak papa. Kamu balik aja dulu.’
Pada akhirnya, Cita pun pergi meninggalkan Tari sendirian.
Tari mulai melangkah menghampiri komplotan cogan kampus. Bersamaan dengan itu, Rigi beranjak dari duduknya, lalu pergi begitu saja.
“Iya, Kak?” tanyanya dengan napas lega setelah kepergian Rigi.
“Nama lo siapa?” tanya lelaki itu angkuh. belagunya hampir sama dengan Rigi, tapi lebih belagu Rigi.
“Tari, Kak. Jingga Mentari,” jawab Tari sopan.
“Fakultas mana?” tanyanya lagi.
“Psikologi, Kak.”
“Gue Jeri temennya Rigi. Boleh minta nomor lo?” ucap teman Rigi yang bernama Jeri itu tanpa basa-basi.
“Maaf, kalau boleh tahu, buat apa ya, Kak?” tanya Tari sopan.
“Lo bisa main badminton?” tanyanya langsung ke inti.
Tari mengangguk, “Bisa,”
“Gue mau ajak lo bergabung dalam tim UKM kita. Lo mau?” Jeri memandang Tari lekat-lekat. Berharap gadis itu mau bergabung. Jeri dengar dari informasi yang simpang siur, kalau Tari cukup jago main badminton. Jadi, Jeri sangat bersikukuh untuk mengajak Tari gabung di timnya.
Tari tersenyum seraya mengangguk. “Boleh.”
Jeri ikut tersenyum meski samar. Ia pun meraih ponselnya dan memberikan pada Tari. “Tulis nomor lo!” perintahnya.
Tari mengambil ponsel itu dari tangan Jeri, lalu mengetikkan sesuatu di sana. “Aku namain Tari.”
Tari pun kembali menyerahkan ponsel pada si empunya.
“Oke, lo bisa kembali. Tunggu aja kabar dari gue.”
Tari mengacungkan kedua jempolnya. “Oke. Permisi, Kak, duluan,” pamit Tari setelahnya berjalan menerobos mereka semua."
"Boleh juga tuh anak. udah cangtik, ngga menye-menye lagi. boleh nih jadi gebetan," celoteh Jeri.
Teman yang lain menimpali."Kalau dia mau! kalau ditolak kan malu-maluin."
"Hahaha." Tawa menggema dari teman-teman yang lain.
Jeri merasa tersudut sekarang.