Sebelum benar-benar memutuskan pulang, Tari sempat berburu seblak mengitari indahnya pemandangan kota. Gemerlap lampu jalanan juga menambah nuansa romantis pada jalan raya.
"Mas, coba cari seblaknya di warung dekat kampus. Di sana kayaknya buka 24 jam, deh," ujar Tari ketika gadis itu tak kunjung menemukan seblak yang ia cari.
Rigi mendesah pasrah. Ia tampak malas meladeni Tari. "Itu warung terakhir ya? Kalau tutup, langsung pulang. Perasaan dari tadi muter-muter gak ada yang nemu."
Rigi memberengut. Wajahnya tampak kesal karena tak kunjung menemukan apa yang dicari.
Tari menampakkan ekspresi menggemaskan membuat siapa saja ingin mencubit pipinya yang bulat. "Iya, janji, ini yang terakhir.
Rigi pun mulai menancap gasnya menuju tempat yang dituju. Matanya berbinar kala melihat warung yang masih ramai oleh pengunjung. Ia pun mengintip sejenak pada spion yang menampakkan ekspresi sumringah Tari.
"Tuh, kan, buka. Untung kita ke sini," Tari membuka kaca helmnya dan bersiap untuk turun.
Setelah motor berhenti sempurna, Tari pun turun dari motor lalu memesan seblak titipan Rena.
Sebelum dirinya benar-benar pergi meninggalkan motor, ia sempat bertanya pada Rigi. "Mas Rigi mau seblak juga? Kalau mau, aku pesenin."
"Nggak usah, saya sudah kenyang. Buruan pesan, entar pulangnya kemalaman."
Dengan antusias, Tari mengangguk. Ia pun lalu masuk ke dalam warung.
Tari memesan apa yang dipesan Rena, tapi ia harus rela mengantri karena di sini sangat ramai. Tidak tahu penyebabnya, mungkin sangat enak.
Setelah setengah jam menunggu, akhirnya makanan yang dipesan Tari jadi juga. Dengan buru-buru, Tari mengambil beberapa lembar uang pas lalu memberinya pada kasir.
Sementara Rigi di depan menunggu Tari dengan bosan. Wajahnya ditekuk masam dengan ekspresi menahan kesal.
Melihat Tari keluar dengan sebungkus keresek di tangannya membuat binar di wajah Rigi keluar. Senyum manis lelaki itu terbit kala Tari berjalan menghampirinya.
"Udah selesai kan? Langsung pulang sekarang?"
Tari mengangguk antusias. Badannya juga sudah mulai lelah ditambah semilir angin malam membuat matanya semakin mengantuk. "Oke, kita pulang."
Tari pun segera naik ke atas motor. Setelah dirasa semua aman, Rigi mulai menancap gas motornya.
Hanya hening yang tercipta, membuat keduanya sama-sama canggung dalam bisingnya malam ini.
Tari mengusap kedua lengannya yang terasa dingin, semilir angin yang menusuk tubuhnya, terasa menusuk ke dalam tulang. Rigi hanya melirik gerakan Tari dari kaca spionnya, lalu ia menepikan motor di pinggir jalan.
Laki-laki itu melepas hoodie milikinya dan hanya menyisakan kaos hitam bergambar gitar yang sangat pas di tubuh kekarnya.
Tari hanya menatap Rigi heran, dirinya tak menyangka jika Rigi akan peka. "Ngapain dilepas?"
Rigi menyerahkan hoodienya pada Tari, lalu mengisyaratkan agar perempuan itu menerimanya. "Nih, pakai. Lain kali, kalau keluar malam itu pakai jaket, bukan baju tipis kayak gitu."
Tari meringis lalu menerimanya Dengan senang hati. "Makasih, terus kamu sendiri pakai apa? Apa gak dingin?"
"Hangat, kan ada yang peluk," gombal Rigi membuat Tari salah tingkah. Perempuan itu lalu mencubit pinggang Rigi pelan.
"Gombalnya gak mempan! Dasar modus!"
Rigi terkekeh, "Siapa yang gombal? Kan nyatanya memang gitu. Pakai dulu Hoodienya, habis itu aku lanjut."
Setelah Tari memakai hoodie pemberian Rigi, Rigi pun melanjutkan perjalanannya menuju rumah. Untuk mengusir rasa bosan, ia mengajak Tari mengobrol.
"Tar, kamu punya mantan?"
Tari mengernyit bingung, mengapa Rigi tiba-tiba melontarkan pertanyaan seperti itu? Ini terlalu privasi baginya.
"Kenapa tanya gitu? Itu kan privasi aku?"
Rigi semakin mengencangkan suaranya. Takut-takut jika Tari tidak dengar. "Jawab saja! Saya juga berhak tahu masa lalu calon istri saya, saya gak mau membeli kucing dalam karung."
Agak sesak rasanya, tapi yang Rigi bilang memang benar. Ia berhak tahu masa lalu Tari. Keduanya harus saling terbuka meski pernikahan mereka hanya pura-pura, entah bisa bertahan berapa lama. Tari pun mencoba memaklumi ucapan Rigi. Gadis itu menarik napas sebentar, sebelum akhirnya angkat suara. "Aku cuman pernah pacaran sekali. Tapi apesnya, dia selingkuh dari aku. Dulu, aku pernah menjalin hubungan dengan kakak kelas. Kayaknya, dia juga sekampus sama aku sekarang, tapi aku udah nggak peduli lagi sama kabar dia. Toh, udah masa lalu juga. Tapi kalau diingat-ingat, ada nyeseknya juga, kayak perih aja dikhianati pas lagi sayang-sayangnya."
Rigi mengangguk paham. "Dia ambil jurusan apa? Kamu tahu gak?" Rasa penasaran Rigi semakin tinggi. Rasanya, ia harus lebih waspada, sepertinya Tari belum sepenuhnya move on dari masa lalunya.
Tari mempererat pelukannya. Membahas mantan, suasana malam ini jadi terasa makin dingin. Ada luka yang kembali membuka mengingat kelakuan mantannya yang tega menduakan Tari dengan teman sekelas lelaki itu.
Tari memejamkan mata sejenak, menikmati rasa sakit yang membuatnya kembali mengingat masa lalu. "Pastinya, aku gak tahu, tapi kabar yang aku dengar, dia ambil hukum. Sementara selingkuhannya hamil di luar nikah sama om-om. Kabar yang aku dengar lagi, dia menyesal udah selingkuh dari aku, tapi aku gak peduli. Siapa suruh dia main mata sama yang lain."
Rigi menyeringai senang kala Tari tampak acuh. "Terus perasaan kamu gimana sekarang? Apa masih berharap bisa balikan lagi?"
Tari menggeleng pelan, ia yakin jika memikirkan laki-laki hanya akan membuatnya sakit hati. "Untuk sekarang, tujuan aku hanya fokus belajar dan mengajar impian aku jadi sarjana. Urusan laki-laki, bagiku itu tidak penting, pacaran hanya buang-buang waktu menurutku. Bikin sakit hati yang ada."
Rigi terkekeh, "Bagus! Saya punya pepetah bagus buat kamu. Buanglah sampah pada tempatnya, buanglah mantan pada –"
"Tong sampah!" sergah Tari ngegas, seperti ada dendam yang belum terselesaikan.
"Salah!" Rigi mengulang lagi kata-katanya.
"Yang bener tuh, buanglah sampah pada tempatnya, buanglah mantan pada temannya."
Tari tertawa lepas, lelucon Rigi mampu membuat gadis itu menjadi ceria. Benar apa yang dibilang teman-teman komunitas Rigi, jika lelaki itu punya selera humor yang tinggi.
Tari memegangi perutnya yang terlalu lama ketawa. Rahangnya pun sampai kaku dibuat lelaki itu. "Aduh, aku sakit perut. Kamu tuh ada-ada saja."
Masih fokus menyetir, Rigi melirik ekspresi Tari dari balik spion. Senyumnya ikut terbit kala melihat Tari kembali ceria. Kecantikan gadis itu akan bertambah berkali-kali lipat jika tidak murung seperti tadi.
"Kamu memang pandai meluluhkan hati aku, tapi bukan berarti kita damai ya? Kesepakatan yang sudah kita buat, tidak boleh dilanggar. Kamu bebas dengan kehidupan kamu sebelum menikah, begitu juga dengan aku."
Rigi mencerna ucapan Tari heran, masih saja dipikirkan soal itu. "Iya, saya ingat kok."
Suasana kembali canggung, ia tidak tahu harus membahas apa.
Dengan takut-takut, Tari menggigit bibir bawahnya. "Emmm ... Sekarang giliran Mas Rigi yang cerita, Mas dulu gimana masa lalunya?"
Rigi tampak sungkan pada Tari. Dulu, kelakuan dia sangat minus.
"Saya dulu play boy sekolah. Tiap minggu ganti cewek. Ada kali 50 perempuan yang saya pacari dalam tiga tahun di SMA?"
Tari bergidik ngeri. Bola matanya pun membola. "Mantan 50? Tobat, Mas!" sinisnya.