Akrab Dengan Komunitas

1031 Words
Tari dapat berbaur baik dengan teman-teman Rigi. Meski usia tak lagi muda, namun jiwa muda mereka kentara sekali. Tari jadi tidak susah untuk memposisikan diri. "Tar, yang sabar ya? Rigi ini anaknya memang jahil di tongkrongan. Suka usil." Tari tersenyum kikuk. Ternyata asik juga mereka, berani menggibah orang di depan langsung, tidak membicarakan di belakang. Pantas saja bila Rigi menganggap mereka seperti keluarga sendiri. Bahkan tidak ada rahasia yang harus Rigi tutupi dari mereka. "Iya Tante, memang jahil orangnya. Resek pula, emang bikin kesel." Perempuan tomboy yang Tari panggil Tante tampak memberengut. Memangnya dia setua itu? Emang tua sih, tapi jiwanya masih muda. "Siapa yang kamu panggil Tante? Panggil saya Kakak, kita juga gak beda jauh umurnya. Cuman 20 tahun." Teman yang disebelahnya tertawa puas. "Udah lah Jeng, kalau dah tua terima nasib." Tari tampak salah tingkah, ia mulai berbisik sesuatu pada Rigi. "Gimana ini, Mas. Aku gak enak banget." Tari merasa bersalah. Wajahnya tampak panik. Rigi tersenyum seraya mengusap punggung tangan Tari yang gelisah. Ditatapnya Tari dengan pandangan lembut, seolah meyakinkan jika semua akan baik-baik saja. Tari mulai tenang, meski hatinya tetap was-was. Tiba-tiba, Rigi nyeletuk. "Kualat sih, pakai gibahin aku segala." Perempuan itu tampak memperotes, "Gibah dari mana? Orang nyatanya memang jahil? Aku cuma mau ngasih tahu Tari saja, biar pas jadi istrimu, dia tidak kaget. Sepasang kelereng bundar milik Rigi membola. Memang serese itukah dirinya di tongkrongan? "Jangan suka sebar gosip, gak baik." "Gosip apanya, itu fakta!" Sanggah Tari membuat yang lain ikut tertawa. Rigi menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, wajahnya bersemu menahan malu. "Sudah-sudah, jangan ribut! Kasihan Rigi dipojokin terus," lerai Om Jhon, yang tak lain dan tak bukan adalah pelatih Rigi bermain motor cross dan dosen di kampusnya kuliah. Tari tidak tahu jika Om Jhon adalah dosen fakultas ekonomi di kampusnya. Yang dia tahu hanyalah Om Jhon adalah seorang laki-laki berumur yang memiliki banyak candaan. Sementara berbanding terbalik dengan istrinya yang terlihat galak tapi asik. "Thanks Om, udah belain aku. Memang CS kita." "Halah! Kalian berdua itu sama saja!" sindir indah, istri Om Jhon. Tari terkekeh mendengarnya, "Sabar aja, Kak. Menghadapi orang gak waras ya cukup dengan kegilaan, jadi tidak akam emosi lagi." Indah menatap Tari sambil mengunyah makanannya. Ya, mereka sedang berada di restauran untuk makan bersama. Sifat kekeluargaan dari komunitas ini begitu terasa. Hanya butuh hitungan menit buat Tari untuk akrab dengan mereka semua, meski perbedaan usianya cukup jauh. "Bener itu, Tar. Kalau gak, kita yang bakal gak waras menghadapi kegilaan mereka. Rigi dan Om Jhon itu sebelas dua belas, satu perguruan kayaknya." Orang-orang yang dibicarakan hanya mampu diam mendengarkan. Kalau dilawan bisa-bisa perang dunia ke tiga musuh perempuan. "Terserah kalian saja lah. Gosipin aku sepuasnya," ucap Rigi sambil menatap Tari tajam. Lelaki itu kemudian melanjutkan lagi menyantap steak yang sudah dipesan. Usai menikmati makan malamnya, Rigi dan Tari harus pamit undur diri karena hari sudah semakin larut. Mereka tidak ingin pulang terlalu malam. "Maaf, Om, Tante dan semuanya, kita harus pamit undur diri. Soalnya gak enak kalau pulang kemalaman," pamit Rigi. Yang lain tampak memberi izin. Indah pun nyeletuk, "Hati- hati di jalan, kamu lagi bawa anak orang ya? Kapan-kapan ngumpul lagi, ajak Tari sekalian, biar gak jomblo. Tari pun terkekeh di tempatnya. "Ngapain ketawa? Ayo siap-siap!" Ketus Rigi membuat Tari melotot tak suka. Gadis itu memutar sepasang kelereng bundarnya jengah. Ia lalu melempar tatapan sengit pada calon suaminya. "Udah siap dari tadi kok!" ucapnya kesal. Tari dan Rigi lalu menyalami satu per satu teman- teman komunitas dan berlalu dari tempat. Rigi keluar dengan motornya yang terparkir di depan restauran. Sembari menunggu Rigi mengeluarkan motornya yang diapit motor lain, Tari pun teringat akan pesanan Mayang dan Rena. Setelah berhasil mengeluarkan motornya, Rigi menyuruh Tari untuk naik. Tidak lupa, laki-laki itu memberi helm bogo hello Kitty berwarna coklat tua untuk Tari kenakan. "Buruan naik!" perintahnya. Tari pun naik di jok belakang motor Rigi. Sebelum motor melaju, Rigi memastikan jika posisi duduk Tari sudah aman. "Langsung pulang kan?" tanyanya sambil melirik jam mahal yang ada di pergelangan tangannya. Tari menepuk pelan pundak Rigi. " Tunggu dulu, cari roti bakar pesanan Mama. Pesanan Rena juga belom dibeli." Rigi mendesah pasrah. Udah jam 10, mau cari roti bakar di mana? "Cari di mana? Udah jam segini. Kang jualan dah pada tutup, Tar?" Tari berpikir keras. Otaknya menyarankan untuk pergi ke alun-alun kota. Di sana banyak sekali kuliner, semoga saja ada yang jual. "Di sebelah alun-alun, gimana? Di sana kan banyak yang jual kuliner, semoga ada yang jual." Tanpa berlama-lama lagi, Rigi menancap gasnya menuju alun-alun. sudah hampir setengah jam, Rigi mengitari alun-alun, akhirnya ia melihat penjual roti bakar dan martabak telur yang saling berdekatan. Ini namanya menyelam sambil minum air. Tari dan Rigi pun turun dan segera memesan jajan itu. Mereka berdua bagi tugas agar cepat. Tari memesan martabak, sementara Rigi memesan roti bakar. Mereka akhirnya menunggu di tempat yang berdekatan. "Mas, mbaknya ngidam ya? Biasanya yang beli martabak telor saya rata-rata orang hamil." Tari dan Rigi saling pandang. Sotoy sekali abang penjual ini? "Hamil dari mana? Orang nikah saja belum," ucap Rigi ketus, membuat Abang martabak telor memandang tak enak. Tari yang berwajah menenangkan, menatapnya lembut, senyumnya sopan membuat siapa saja ingin membalas senyumnya yang manis. "Bukan, Bang. Kita hanya teman. Ini cuman titipan adik saya yang minta jajan martabak telor." Mendengar jawaban Tari, Rigi menggerutu. Seperti tak rela jika dirinya hanya dianggap sebagai teman. Apa ini tandanya ia sudah membuka hatinya untuk Tari? "Teman apanya? Aku calon suami kamu ya? Meski dijodohkan, tapi kamu gak bisa menampik hal itu." Tari pun mengerucutkan bibirnya. Ia sangat tidak suka jika harus diingatkan dengan perjodohan itu. "Iya, tahu. Bisa nggak sih, nggak usah ungkit-ungkit soal perjodohan itu? Aku malas dengernya." Tari membuang mukanya. Ia terlanjur bete pada Rigi. Rigi dengan rasa tak enak hati, sedikit menyesal mengatakan itu. "Iya, maaf. Aku gak ada maksud kok." Tari memandang Rigi. Tatapan Rigi yang lembut, membuatnya agak luluh. "Lain kali jangan diulangi, aku gak suka!" Tari pun bangkit dari duduknya saat pesanannya sudah siap. Tak lama, disusul oleh Rigi. Mereka sama-sama kembali ke motor. "Dah selesai pesanannya, ayo pulang," ucap Rigi sebelum menancap gas. "Belom, seblaknya belom," ujar Tari di belakang. Rigi mendesah pasrah. "Ampun! Cari seblak di mana jam segini?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD