Wajah Mayang berubah panik ketika melihat Tari kesulitan bernapas. Sorot mata gadis itu mengisyaratkan jika ia membutuhkan bantuan. Dengan cepat, Mayang pun menyambar gelas minum yang berisi penuh air mineral, lalu menyodorkan pada Tari yang hampir kehilangan napasnya. Perempuan itu benar-benar kepayahan menarik napas.
"Minum dulu, hati-hati," perintah Mayang diselingi raut khawatir dari ekspresinya.
Tanpa menjawab sepatah kata pun, Tari langsung mengambil gelas di tangan Mayang, lalu meminumnya hingga tandas. Usai meletakkan gelas di atas meja, Tari menepuk pelan dadanya dan mengatur napas seperti sedia kala. Mengerjakannya secara ulang beberapa kali, hingga dirasa kondisinya membaik.
Ia berembus lega, saat napasnya mulai teratur. Barulah ia mengucap terima kasih kepada Mayang, karena sudah membantunya. "Terima kasih banyak, Ma, tapi Tari bisa ke kampus sendiri kok. Nanti, biar Tari naik angkot saja. Tidak perlu bareng sama Mas Rigi."
Rigi yang sependapat dengan Tari pun memberikan anggukan mantap. Turut membantu meyakinkan sang mama. "Nah, iya, betul itu, Ma. Mending Tari naik angkot saja. Rigi bawa motor soalnya, takut nanti penampilan Tari berantakan."
Mayang mengernyit bingung, "Memang apa hubungannya dengan penampilan Tari? Pokoknya kalian harus berangkat bareng."
Rigi hendak perotes "Tapi, Ma"
Mayang menggeleng pelan, perintahnya tak terbantahkan. Dan, apa tadi kata Rigi? Naik angkot? Mayang tentu tak setuju dengan keputusan seperti itu. Perempuan itu masih menggelengkan kepala dan memusatkan perhatian pada Rigi, juga Tari secara bergantian. "Apa salahnya kalian berangkat bareng? Toh, masih satu kampus."
Rigi mendesah pasrah. Mau tidak mau, ia terpaksa menerima permintaan mamanya. Perhatian Rigi beralih. Ditatapnya Tari yang masih asik melanjutkan kegiatan menghabiskan roti, mengingat beberapa saat lalu, perempuan itu tersedak makanan tersebut, membuat kegiatannya sedikit terhenti. "Jangan lama-lama! Saya ada praktek," ucap Rigi singkat, padat, dan jelas. Pria itu hanya tidak ingin terlambat hanya karena menunggu Tari sarapan.
Tari sedikit berdecak samar, mendengar Rigi terus saja merengek untuk segera berangkat menuju kampus. Tari tidak suka kondisi seperti ini—diminta untuk cepat-cepat layaknya dikejar seorang rentenir. Ia pun merotasikan bola matanya jengah. "Mas Rigi duluan saja, aku bisa berangkat sendiri," pungkas Tari cepat.
Bukan jawaban dari Rigi, melainkan pelototan tajam dari Mayang yang Tari dapatkan. Wanita paruh baya itu tidak suka jika perintahnya mendapat bantahan. "Tari!" ucapnya penuh tekanan.
Mendengar Mayang berucap dingin, Tari sontak menundukkan kepala, menghindari kontak mata dengan perempuan yang dianggapnya seperti ibu kandung sendiri. Ia tidak ingin menatap Mayang yang terlihat garang. "I- iya, Ma. Tari bareng Mas Rigi kok."
Tanpa banyak bicara lagi, Tari segera menghabiskan rotinya. Ia tidak ingin Rigi menunggu terlalu lama. Dan tentu saja hal tersebut bisa membuatnya jatuh ke dalam kandang macan untuk ke sekian kali.
"Ma, Pa, Rena, aku berangkat dulu, ya?" Pamit Tari usai melahap habis roti di piringnya. Serta membersihkan noda di sekitar bibirnya dengan tisu. Tari segera bangkit, tak membiarkan singanya berlama-lama menunggu dan akan kembali kelaparan. Bisa memangsa apa saja tentunya.
Mayang melempar senyum manis. "Iya, Sayang. Kuliah yang rajin, ya! Jangan bolos! Kalau kamu bosan atau kurang inspirasi, kamu bisa cari tempat belajar yang nyaman di sana!" tutur Mayang.
Sedangkan Tari menganggukkan kepala paham. Ia senang sekali, ada yang memperhatikan bagaimana kehidupannya. Seolah mendapat sebuah berlian, Tari menyunggingkan senyum lebar. Kemudian, menggamit tangan Mayang dan mencium punggung tangan milik wanita itu.
"Iya, Ma. Tari akan belajar yang rajin. Biar Mama bangga," jawab Tari meyakinkan. Setelah itu ia benar-benar bangkit. Melirik ke arah Rigi yang terlihat menahan kesal. Tari jadi tertawa kecil sendiri dalam hati.
Dengan malas, Rigi pun mengucap pamit. "Ma, Pa, Ren, aku berangkat dulu."
Mayang ikut berdiri, menerima uluran tangan sang anak untuk salim, lalu mengecup lembut kening sang putra. "Hati-hati, ya? Nyetirnya jangan ngebut! Kamu bawa anak orang, bukan benda mati. Awas aja kalau sampai ada kegores sedikit saja!"
Mengingat bagaimana kebiasaannya dalam berkendara, wajah Rigi tertekuk masam. Mamanya membongkar aibnya dengan mudah. "Iya, tapi gak janji."
"Iya, deh terserah kamu. Udah, sana berangkat! Katanya telat!" ucap Mayang.
Rigi mengangguk lagi, segera menenteng tasnya, kemudian berlalu dengan langkah gontai, diikuti dengan Tari yang mengekor di belakang tubuh tegap pria itu.
Langkah Tari terseok mengimbangi langkah Rigi yang lebar. "Aduh, pelan-pelan bisa gak?"
Rigi menghentikan langkahnya sekilas, "Jangan manja!"
Di halaman rumahnya, Rigi sudah bersiap dengan motor sport kesayangan. Pria itu terlihat kian memesona dengan tampilan seperti ini. Beruntung sekali, bila Tari adalah orang pertama yang akan duduk di boncengan belakang, pasalnya Rigi tidak pernah mau mengizinkan orang lain naik, di boncengan belakang, termasuk Rena–adiknya. Pasti banyak wanita yang tengah menahan rasa iri dengan Tari.
"Naik!" perintah Rigi tegas, mendapati Tari masih terbengong di tempatnya. Berdiri tanpa mengucap sepatah kata pun.
Gertakan dari Rigi, Tari terkesiap. Kesadarannya yang melalang buana entah ke mana, sontak kembali pada tempatnya. Ia pun buru-buru naik di jok belakang.
"Pegangan! Saya mau ngebut. Jamnya udah mepet ini, kalau tidak ngebut yang ada kita telat." Rigi sengaja membawa motor agar bisa lebih cepat membelah jalan raya yang padat merayap. Juga lebih praktis, daripada harus duduk di dalam mobil dan menunggu kendaraan berjalan, persis seperti siput bergerak.
Tari mampu menurut tanpa membantah, sadar jika ia tengah dikejar oleh pergerakan waktu yang teramat cepat. Dengan ekspresi polos, ia meraih jaket yang Rigi kenakan, lalu memegangnya kuat-kuat. Sampai bisa dibilang, tertarik ke belakang. Membuat empunya tentu saja sedikit kesusahan bergerak.
"Mau cekek saya?" sindir Rigi saat dirasa pegangan Tari membuatnya tak nyaman. Bukan bermaksud apa, hanya saja jika ia tidak fokus karena Tari terlalu mengeratkan pegangannya, dan akan membahayakan keduanya juga.
Dengkusan kesal menguar dari bibir Tari. "Tadi katanya suruh pegangan. Sekarang udah pegangan, tapi diomelin. Terus bagaimana?" Tari tampak bingung. Kenapa dirinya selalu salah di mata Rigi?
Rigi mengembuskan napas panjang dari balik helm yang ia kenakan. Kesabarannya benar-benar diuji di waktu sepagi ini. Ia terlihat mencoba tersenyum paksa dan menerima jika gadis yang ia bonceng sangat memprihatinkan.
"Lagian, siapa yang suruh kamu bareng saya? Ribet amat jadi cewek!" Rigi pun tampak malas menanggapi.
"Memang, aku punya pilihan lain selain manut? Tau gini, mending naik angkot!"
Rigi sadar, ia pasti akan kehilangan banyak waktu jika terus menanggapi perdebatan ini. "Bacot! Buruan pegangan."
"Ih! Kasar banget jadi cowo." Tari yang kesal, kembali menarik jaket Rigi."
"Maksud saya, enggak pakai narik-narik kerah jaket saya. Nanti kalau ada apa-apa, kamu mau menanggung akibatnya? Itu berbahaya," jawab Rigi panjang lebar. Berharap jika perempuan bernama Mentari itu memahami apa yang ia maksud.
"Terus gimana?" Masih dengan nada polos, Tari bertanya. Ia menegakkan tubuhnya dan melepas cengkeraman terhadap jaket yang Rigi kenakan.
Melihat Tari yang masih berusaha berpikir keras, membuat Rigi tak sabar, akhirnya tanpa aba-aba, menarik dua lengan milik perempuan itu. Menyatukan keduanya, kemudian melingkarkan di atas pinggangnya. "Begini!" ucapnya tegas.
Terkejut dengan tindakan yang Rigi lakukan, Tadi kikuk. Perlakuan seperti ini, bagi Tari seperti pelecehan. Tak mau jika sang lelaki di depannya mendapat kenikmatan dalam kesempitan, Tari pun kembali menarik tangannya. Mengabaikan penuturan milik Rigi dan mengalihkan tangannya di belakang tubuh, berpegangan pada besi di belakang boncengan motor tersebut. "Aku gak nyaman.
"Terserah kamu!" Putus Rigi cepat. Merasa tak berbuah manis jika berbicara dengan Tari. Tak pernah bertemu ujung dan selalu berakhir dengan keributan.
Tanpa memedulikan lagi persepsi mengenai Tari, Rigi dengan cepat menancap gas, membuat tubuh mungil Tari yang belum siap, sontak terdorong ke depan. Terlampau terkejut dengan pergerakan tiba-tiba yang Rigi lakukan. Gadis itu ketakutan lantaran kedua gunung kembarnya hampir menempel di punggung Rigi. Dengan cepat, Tari pun menutup dengan kedua tangan, hingga punggung Rigi dan tangan Tari saling berbenturan. "Argghh! teriak Tari. Gadis itu memegangi degup jantungnya yang mulai berdegup kencang. "bisa pelan gak sih?" rutuknya lagi
"Itu akibatnya kalau ngeyel terus! Disuruh pegangan, ngebantah mulu. Pegangan yang bener!" pungkas Rigi, diiringi dengan decakan kasar.
Dalam hati, Tari merasa dongkol bukan main. Mendengar penuturan Rigi yang terkesan buka hanya meremehkan, tetapi juga memberi sebuah jebakan. Tari tahu, pria itu sengaja menancap gas ketika dirinya belum siap sedia, niat untuk modus seperti di cerita-cerita yang sering ia baca. Namun, dirinya tak bisa apa-apa. "Iya, iya, aku pegangan."
Sedikit ragu, Tari pun akhirnya mengulurkan kedua tangannya, lantas melingkarkan di pinggang kokoh milik Rigi.