Sepanjang perjalanan, Tari hanya bisa ngedumel saat motor Rigi berhenti mendadak. Sontak gadis itu emosi ketika tubuhnya ikut terdorong ke depan. Berkali-kali ia membetulkan posisi duduknya yang melorot karena tidak biasa dibonceng mengenakan motor sport seperti ini. Kalau tahu begini, mending ia naik angkot saja. Meski harus menunggu lama untuk cari penumpang "Aduh! Pelan-pelan bisa nggak sih? Duduknya merosot terus nih. Capek betulinnya!"
Rigi yang mendengar sekilas gerutan Tari, hanya menanggapi sekenanya. Laki-laki itu enggan berdebat dengan Tari lagi. Dilihatnya jam yang melingkar di pergelangan tangannya, untung masih keburu. "Bisa diem gak? Udah jam segini, saya sudah telat. Kalau gak mau ngebut, naik angkot saja, atau mau saya setopin becak?"
Tari menimang ucapan Rigi matang-matang. Sudah sampai lampu merah, bentar lagi sampai di kampus, kalau naik becak, sayang uangnya. "Gak perlu, sayang uang."
Ya, Tari tahu seberapa susahnya mendapatkan uang dengan halal, jadi ia tidak mau buang-buang uang kalau tidak penting. Lebih baik, uangnya disisihkan, meski ia tahu, kalau uang jajan dari Mayang, per harinya lebih dari cukup kalau hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup.
"Uang disayang. Gak bakal beranak juga," celoteh Rigi membuat Tari geram. Lelaki itu tidak tahu saja bagaimana perjuangannya dulu mencari uang, itu sangat susah.
"Enak banget ngomong gitu. Cari uang tuh susah. Jadi pamali hambur-hamburin uang."
"Mudah, tinggal ikut balapan saja."
"Tau ah! Males ngobrol sama orang kaya! Sombong!" Tari mengakhiri Perdebatannya.
Sadar jika ini tak sepenuhnya salah Rigi, Tari pun berusaha menahan diri. Ia pun diam tanpa berniat lagi membalas ucapan Rigi.
Menyadari jika lampu merah kembali hijau, Tari pun kembali mengeratkan pelukannya sebelum tubuhnya kembali terdorong ke belakang.
"Pegangan, saya ngebut." Instruksi Rigi sebelum laki-laki itu menarik gas motornya.
Rigi menancap gas motornya cukup kencang, tak butuh waktu lama untuk Rigi sampai di supermarket dekat kampus.
"Stop, stop, aku turun di sini saja." Belum sampai depan kampus, Tari meminta turun. Tari menyuruh Rigi untuk berhenti di depan gereja tua dekat kampus mereka. Sepengetahuan Tari, Rigi menjalin asmara dengan seniornya bernama Viola. Viola sangat cantik dan anggun. Wajar saja, jika Rigi memilihnya yang bak model daripada ia yang tidak ada apa-apanya.
"Aku turun sini saja, nanti pacarmu marah. Aku gak mau dilabrak hanya karena ini. Toh hubungan kita juga cuman pura-pura. Tidak ada yang boleh mencampuri urusan masing-masing." Itu semua hanyalah alibi Tari. Tari memilih untuk membebaskan Rigi bahagia bersama perempuan yang dicintai. Toh, pada dasarnya hubungan mereka tidak dilandasi dengan cinta. Agak nyesek, tapi ia bisa apa?
"Oke, sesuai keinginanmu." Sesuai permintaan Tari, Rigi berhenti di depan gereja tua itu.
"Bukan sesuai keinginanku, tapi sesuai kesepakatan kita. Di kampus, kita pura-pura tidak kenal saja. Aku gak mau reputasimu hancur hanya karena gadis kampung kayak aku."
"Baiklah, jangan campuri urusanku. Setelah menikah nanti, hanya status kita di rumah yang berubah. Di kampus, kita harus seperti orang asing."
Dengan berat hati, Tari menyetujui kesepakatan ini. Bahkan, ia harus rela melihat suaminya menghabiskan waktu bersama perempuan lain. Sungguh, buka pernikahan seperti ini yang ia harapkan, tapi takdirnya sudah diatur Mayang dan Tuhan. "Oke."
Tanpa basa-basi, Tari langsung turun dari motor besar milik Rigi. Rigi pun langsung menancap gas dan berlalu meninggalkan Tari, usai memastikan gadis itu benar-benar sudah menginjak tanah.
Tari harus menerima dengan lapang d**a. Calon suaminya memang cukup berpengaruh di kampus. Jadi ia harus terima kalau berjalan kaki seperti ini.
Tari mulai berjalan. Jarak kampus dan gereja itu, memang tidaklah jauh. Saat kaki Tari menyusuri jalanan, tiba-tiba dari kejauhan terlihat seorang pria dengan motor sportnya berjalan menghampiri Tari. Tari mengernyitkan dahi saat motor itu berhenti tepat di depannya. Tari tidak bisa mengenali sosok yang berada di motor itu karena si pengendara menggunakan helm full face. "Maaf, siapa ya?"
Lelaki yang berada di atas jok motor itu terkekeh. Ternyata Tari tidak cukup mengenalinya dengan baik. "mau ke kampus kan? Bareng saja."
Tari mengernyit bingung. Mengapa tiba-tiba ada orang baik di dekatnya?
Melihat Tari yang bengong, laki-laki itu kembali berinstruksi.
"Naik! Bareng sama aku saja." Laki-laki itu menyuruh Tari untuk naik di jok belakang motornya. Ia melirik jong kosong di belakangnya sekilas. Dari suaranya, Tari bisa mengenali pemilik motor itu.
"Ini kak Wisnu ya? Ketua tim basket kan? Maaf, maaf, baru sadar aku." Lagi-lagi tawa kecil terdengar dari bibir Wisnu yang mungil.
"Iya, ini aku. Udah, buruan naik, entar telat. Tumben jalan kaki, biasanya angkotnya turun di depan." Wisnu selalu memperhatikan kehadiran Tari di kampus. Gadis itu memang cukup rajin.
"Iya, nih. Tadi nebeng temen, kerja, dia lagi buru-buru, jadi aku turun sini saja," bohong Tari. Tidak mungkin ia mengatakan yang sejujurnya bahwa dirinya berangkat bareng sama Rigi. Bisa-bisa Wisnu curiga.
"Oh gitu? Ya udah, kamu naik motor aku aja. Biar gak capek." Wisnu masih berusaha merayu Tari.
"Gak usah, Kak, aku bisa jalan. Lagian, jarak ke kampus sudah dekat. Aku gak mau ada gosip miring soal kita. Masak most wanted sekolah jalannya sama gadis kampung." Tolak Tari halus.
Wisnu mengernyit, "Memang, siapa yang berani gosipin kita?"
Tari terdiam. Tidak tahu lagi harus menjawab apa, ia hanya bisa menggigit bibirnya kuat-kuat sampai rasa asin yang amis tercecap dari bibirnya. Tentu saja itu darah, cairan kental berwarna merah yan keluar dari bibirnya.
Kelamaan menunggu jawaban Tari, Wisnu jadi sedikit geram. Diusapnya lembut kepala Tari dengan sayang.
" Gitu aja mikirnya lama."
Tari yang merasa tidak yakin, berusaha menolak. "Nggak usah deh, Kak, aku jalan kaki saja."
"Kenapa sih? Kamu ada pacar? Gak enak sama pacar kamu?"
Tentu saja bukan itu yang dikhawatirkan. Lagian, mana mungkin Rigi cemburu?
"Bukan gitu maksud aku, Tapi--"
"Naik, Tari!" Paksa Wisnu, senior Tari sekaligus most wantednya kampus yang tak kalah keren dari Rigi. Untuk ke sekian kali Wisnu memaksa Tari.
Tari yang sudah berusaha menolak, tapi tak ada hasil, dirinya merasa tak enak. Ia pun naik di jok belakang boncengan wisnu.
"Aku naik ya?" ucap Tari.
"Pegangan Tar, aku mau ngebut." Seperti yang ia lakukan pada Rigi, Tari pun melakukannya pada Wisnu. Ia melingkarkan tangannya di pinggang lelaki itu. Dalam hatinya ia menggerutu, "gak Rigi, gak Wisnu, sukanya kebut-kebutan."
"Maaf Kak, kalau kesannya jadi meluk Kakak. Aku gak tahu cara pegangan di motor sport ini."
Wisnu terkekeh, "Gak papa, Tar. Santai saja. Ternyata masih ada perempuan polos kayak kamu ya? Pegangan yang erat juga gak masalah." Tari tampak kikuk kemudian motor pun melaju dengan cepat.
Tak butuh waktu lama untuk mereka sampai di kampus. Keduanya menjadi pusat perhatian tak terkecuali Rigi yang berada di parkiran. Tari pun membuang muka saat berpapasan dengan Rigi di parkiran.
Tak sengaja, tatapan mereka saling beradu, Tari berusaha tidak peduli. Ia pun turun dari motor Wisnu sambil menunggu lelaki itu turun. Toh ini kan yang Rigi mau. Bebas di kampus tanpa ada yang menggangu. Lagipula, Rigi tidak akan cemburu hanya karena masalah ini kan? Sesuai kesepakatan, urus hidup masing-masing.
"Wih, ada pasangan baru nih." Suara hiruk pikuk membuat Tari mendadak canggung. Tiba-tiba saja, Wisnu merangkulnya membuat perempuan itu termangu.
"Udah, hiraukan saja omongan mereka."
Tari masih membeku di tempat. Dirinya bak patung hidup yang diberi nyawa. Hanya anggukan kecil yang bisa ia berikan.
Tari sempat melirik Rigi sesaat. Laki-laki itu terlihat biasa saja. Tidak ada rasa cemburu di balik wajahnya.
"Sadar Tari. Memang kamu siapa bisa membuat seorang Rigi cemburu?" ucap Tari dalam hatinya.
"Ayo Tar, masuk ke dalam." Sambil menyunggingkan senyum, Tari mengangguk, meski tatapan orang-orang tak lepas dari dirinya.
Tanpa rasa malu, Tari pun menerima ajakan Wisnu"Yuk, Kak!" Dengan semangat, Tari mulai berjalan menuju kelas.
Sepeninggal Tari, Rigi tampak nyinyir. "Dasar calon istri gak sopan! Ada calon suaminya, main nyelonong saja!" gerutu Rigi dalam hati. Tidak mungkin ia berbicara keras-keras di depan teman-temannya.
Sepertinya, Rigi mulai membuka hatinya pada Tari. Meski perempuan itu membuatnya kesal setiap hari.