Tak terasa kapan Felisia naik ke atas motornya, tau-tau ia sudah terduduk disana. Garin menyodorkan helm pada Felisia. Lalu ia kembali memakai helm. Dengan segera Garin menggas motor dengan kecepatan maksimal, agar tidak telat.
Felisia mencengkram erat bahu Garin karena kecepatan Garin mulai diatas normal. Namun saking eratnya cengkraman ini kini berubah menjadi cekikan di leher Garin. Salah satu tangan Garin menghentakan tangan Felisia dia lehernya, karena membuatnya kesulitan bernafas.
"Jangan cekek gue, bego!" Garin berteriak kesal, cukup kencang suaranya agar terdengar oleh Felisia.
"Abis elo ngebut banget." Felisia membalas dengan suara tak kalah keras, agar melawan suara gemuruh angin yang di timbulkan karena kecepatan motor Garin.
"Kalo gak gitu nanti telat. Pegangan yang laen, jangan di pundak!"
"Cih, dasar modus. Bilang aja minta di peluk-peluk, nyuruh pegangan pinggang." cibir Felisia, kini tangannya turun untuk berpegangan pada pinggang Garin.
Namun baru saja sebelah tangan Felisia menggapai pinggang Garin, tangan Garin sudah menyentil tangan Felisia. Membuat Felisia mengaduh kesakitan.
"Siapa yang nyuruh lo peluk-peluk gue, gak usah cari kesempatan. Pegangan pembates jok!"
Felisia misuh-misuh. Garin emang sok jual mahal. Mau tak mau Felisia pun berpegangan pada pembatas jok yang ada di belakangnya.
Beberapa lampu merah Garin trobos, yang untungnya tidak ada polisi yang menjaga. Garin sempat melirik jam tangannya, tiga menit lagi. Garin tau, seberapa kencang Garin mengemudikan motornya, pasti ujung-ujungnya akan terlambat juga. Bukannya Garin pengen jadi anak teladan yang takut terlambat, masalahnya ia membawa Felisia. Felisia masih kelas sepuluh. Oke, Garin juga. Tapi setidaknya para guru sudah terlanjur tau tabiat jelek Garin. Dan sungguh, Garin gak pernah mau nyeret Felisia kedalam hidupnya yang urakan. Tapi cewek ini bener-bener maksa buat nerobos kehidupan Garin. Bukan memperbaiki. Sama sekali enggak. Malah makin bikin hidup Garin tambah runyam.
Sesampainya di sekolah , gerbang sudah di tutup, tetapi Satpam yang menjaga seketika membukakan gerbang saat melihat motor Garin yang sudah sangat dikenalnya. Feilisia tersenyum ramah ketika menoleh pada satpam tersebut.
Setelah motor Garin terparkir, mereka segera berlari menuju koridor utama. Serius ini sudah telat lima belas menit. Dan jam pelajaran pertama adalah fisika. Pelajaran yang mampu membuat efek migrain berkepanjangan setelah melihat deretan rumus pada buku pelajaran. Tapi itu semua tidak sepatutnya dibahas saat ini. Yang penting Felisia tidak mau telat!
"Hosh, A ssalamualaikum." Felisia sampai pintu kelas terlebih dahulu, ia mengetuk pintu dua kali lalu membukanya. Kini terlihat Felisia yang sedikit membungkuk dengan nafas tak teratur di ambang pintu.
Tatapan seluruh siswa di kelas tentunya tertuju pada Felisia. Terlebih saat tak lama kemudian Garin muncul di belakangnya dengan wajah yang mulai tenang. Kalo dipikir-pikir, tadi ngapain juga Garin sempat lari. Come on , cuma terlambat. Bukan hal besar bagi Garin. Ini semua gara-gara mengikuti Felisia.
"Terlambat? Bareng Garin?" Wawan memicingkan matanya, menatap pada anak didiknya yang sudah di ajarnya hampir tiga tahun. Sayangnya selama tiga tahun harus diajar di kelas yang sama. "Kamu ajak dia kemana dulu Garin sampai terlambat seperti ini?" guru berkepala tiga itu membetulkan letak kacamatanya, lalu tatapan tajamnya kembali terarah pada Garin.
"Apasih, Pak? Tau-tau seudzon gitusama saya." Garin menyaut malas, cuma gara-gara ada dirinya di belakang Felisia, guru itu berpikiran Garin melakukan hal buruk. "Lo masuk ke kelas kek, ngapain coba diem di pintu mulu." Suruh Garin dengan nada sewot seperti biasa . Terlebih baru pagi hari sudah diawali dengan hal buruk.
Felisia terkesiap. Menyadari dirinya masih berdiri di ambang pintu. Menunggu intruski dari Wawan yang sejak tadi hanya memfokuskan perhatian pada Garin.
Garin melenggang masuk, meninggalkan Felisia yang masih berdiri di pintu. Bingung. Felisia tak tau harus mengikuti Garin yang tidak tau sopan santun itu atau tetap menunggu Wawan bersuara.
"Duduk."
Akhirnya, desah Felisia saat melihat dagu Wawan terangkat, menunjuk pada bangkunya. Tanpa ragu Felisia berjalan menuju bangkunya, dimana sudah ada Garin yang duduk di sebelahnya.
"Kumpulkan tugasmu, Felisia." Suara berat Wawan kembali menggema, menyentakan Felisia yang baru bernafas di bangkunya.
Felisia celingukan, bingung dengan tugas apa yang di suruh Wawan. Tangan Felisia menarik kerah belakang seragam Azura yang duduk di depannya. Azura berbalik, menatap Felisia.
"Tugas apaan?"
Felisia menepuk jidatnya saat melihat kebingungan di wajah Felisia.
" Sorry , Fel. Gue lupa ngasih tau elo pas kemaren lo cabut bareng Garin ada tugas Pak Wawan."
Mata Felisia melebar. Hari ini benar-benar bencana.
Garin yang duduk di sebelahnya memperhatikan gerak-gerik Felisia yang seperti orang linglung. Dan Garin baru menyadari bahwa tadi Wawan hanya menanyakan tugas pada Felisia. Garin berdecak, dirinya seakan tidak dianggap oleh guru ini.
"Pak, kenapa dia doang yang ditanyain tugas. Kok saya enggak?" Garin berteriak, kontan membuat mata anak sekelas menatapnya. Tidak ada yang seberani Garin pada guru, tentu saja, mereka masih kelas sepuluh. Pertanda cari mati jika mereka membangkang seperti Garin. Sudah tau juga apa konsekuensinya, lagi-lagi seperti Garin, bisa-bisa mereka tidak naik dua tahun.
"Tidak perlu ditanya. Kamu sudah pasti tidak mengerjakan, bukan?" Wawan kembali membenarkan kacamatanya, Garin bingung, umur masih sekitar tiga puluhan tapi kelakuan seperti tujuh puluh tahun.
Garin melirik Felisia yang sedang berusaha mengerjakan tugas, cukup nekat, sudah pasti menggunakan pemikiran ekspres. Garin yang melihat itu langsung mengerti.
"Kok bapak kayaknya seudzon mulu sih sama saya? Bapak punya dendam pribadi atau apasih? Sumpah, Pak! Saya gak pernah rebut calon istri Bapak sampe-sampe Bapak belom nikah sampe sekarang. Lag-"
"Garin!" Wawan melotot, mendengar omongan Garin mulai ngawur. Mata di balik kacamatanya itu melebar. "Tidak usah banyak bicara! Jika kamu memang sudah selesai, cepat kumpulkan." deru nafas Wawan mulai tidak teratur saking menahan emosi.
Garin memasang wajah begitu menyesal sambil berkata. "Yah, tadinya saya emang mau ngumpulin, Pak. Tapi saya sedih kalo Bapak aja udah ngira saya gak ngerjain. Jangan-jangan kalo nanti saya ngumpulin, nilai saya langsung telak nol karena tidak ada rasa kepercyaan Bapak pada saya. Lalu-"
Brak!
Habis sudah kesabaran Wawan menghadapi Garin, ia sampai menggebrak meja dengan kencang. Taruhan! Pasti tangannya kesakitan, kalo tidak jaim pasti guru itu sudah melompat-lompat sambil meniupi tangannya yang merah.
"Keluar kamu!" Wawan berteriak begitu kencang, wajahnya sudah merah padam menahan amarah.
Garin mendesah pelan, dikeluarkan dari kelas? Sudah biasa. Tapi kali ini Garin melirik Felisia yang masih menulis. Garin sangat tau bahwa guru ini tidak mungkin memberi tugas sedikit. Dan sepertinya Felisia tidak bisa menyelesaikan dalam waktu sesingkat tadi.
"Gue udah nyoba ngulur waktu, tapi kayaknya tetep gak keburu. Terima nasib ajalah." Garin berbisik pelan, sebelum akhirnya berdiri untuk menuruti perintah Wawan.
Garin berjalan santai menuju pintu kelas, sebelum benar-benar keluar Garin menoleh sebentar. "Dengan senang hati saya keluar, Pak." Garin tersenyum miring, lalu benar-benar keluar dari kelas. Tapi Garin tak langsung pergi, ia menunggu sebentar di samping pintu. Ingin melihat hukuman apa yang akan di beri Wawan pada Felisia.
"Felisia, mana tugasmu?" Wawan kembali memfokuskan diri pada muridnya yang lebih waras daripada Garin.
Felisia kelabakan, ia yang sedang menulis menenggak menatap Wawan ketakutan. " Belom.. selesai, Pak." Felisia menjawab pelan, takut.
Mata Wawan memicing, lalu ia tersenyum miring sesaat. "Kamu keluar juga!" Bentak Wawan.
Felisia hanya pasrah, sambil membawa bukunya. Tapi Felisia teringat tadi Garin tidak membawa buku. Felisa membuka tas Garin, mengambil buku tulis fisika darisana. Lalu dengan menunduk Felisia berjalan keluar kelas.
"Di keluarin juga kan?"
Felisia terkesiap saat baru keluar dari kelas mendapati Garin sedang berdiri sambil menyeringai.
"Gara-gara elo nih, kemaren ngajakin gue cabut!" Felisia menyalahkan Garin yang sudah berjalan. Felisia berlari kecil untuk mengejar.
Garin menoleh pada Felisia yang sudah ada di sebelahnya. Lalu menjitak kepala Felisia. "Elo yang maksa ikut, bocah!"
Felisia nyengir. "Terus kita mau kemana?"
"Lo mau ngikutin gue lagi?"
" Always ." Felisia tersenyum begitu lebar, dan terdengarlah Garin meringis.
Diikutin Felisia itu cuma bawa sial, dan untuk urusan yang satu ini, yang sudah Garin rencanakan saat disuruh keluar dari kelas. Dan kehadiran Felisia, biasanya cuma bikin rencana Garin sukses kacau.
"Satu syarat!" Garin bersuara, membuat Felisia menoleh karena tidak mengerti.
"Hah?"
"Lo boleh ngikut ama gue asal jangan gangguin gue!"
Felisia berpikir sebentar, lalu mengangguk yakin. Lagipula ia akan melanjutkan mengerjakan tugas fisika kok. Lagi males gangguin Garin juga, gitu-gitu tadi Garin berusaha membantunya. Meski tidak berhasil. Tapi Felisia cukup terharu.
Garin tersenyum senang, kemudian tangannya merogoh ponsel dari saku celananya. Garin mencari nomor ponsel Dicky lalu menghubunginya.
"Ada guru gak?" tanya Garin setelah telepon tersambung.
"Seperti biasa, gak."
Tanpa berbicara banyak , Garin memutuskan sambungan, lalu berjalan dengan mantap menuju tangga untuk ke lantai empat, lantainya kelas dua belas. Kelas teman-temannya.
Felisia mengikuti langkah lebar Garin dengan kewalahan.
"Bawa buku lo, nih!" Felisia menepuk buku fisika milik Garin pada bahu Garin.
Garin melongo. "Ngapain bawa-bawa buku?"
"Yaa tau diri aja! Kita di keluarin dari kelas gara-gara enggak ngerjain PR. Seenggaknya kita ngerjain lah."
"Males." Garin tak menghiraukan Felisia dan kembali menaiki anak tangga untuk ke lantai empat, tempat anak kelas dua belas.
Setelah sampai di lantai empat Garin segera menuju kelas XII IPS 4, tempat teman-teman Garin berkumpul. Sekolah ini memang cukup diskriminasi terhadap siswa-siswa yang sulit di atur, mereka yang berkumpul di XII IPS 4 bukan karena mereka bodohnya tidak tertolong, tapi karena para guru percaya, sifat membangkang itu bisa menular, jadi sebaiknya para murid yang berpotensi malas-malasan dan tidak taat aturan, di masukan pada kelas yang sama.
Felisia tidak menyadari saat mata Garin begitu berbinar. Dan tanpa sadar langkahnya semakin cepat, terlebih saat melihat cewek itu sedang berdiri di pembatas beranda depan kelas. Sendiri. Tentu saja, meski cewek itu easy going , tapi tak banyak cowok yang mau mendekatinya jika teringat Garin.
Garin merangkul cewek itu dengan santai, membuat cewek itu menoleh. "Hai, " sapanya riang. Dan saat cewek itu menghadap kearahnya, Garin mencium puncak kepalanya dengan lembut.
Tidak merona seperti cewek kebanyakan saat dicium puncak kepalanya, cewek itu hanya tersenyum ramah. Sudah biasa dengan kelakuan Garin yang seperti ini.
Felisia menggeleng saat melihat Garin yang sudah nyosor.
Selama tiga bulan mengenal Garin, Felisia mengetahui satu hal, bahwa ada satu cewek di sekolah ini yang dicintai Garin. Tapi anehnya, mereka tidak pacaran.
Felisia akhirnya melenggang masuk ke kelas XII IPS 4 sendirian, dan segera dihampirinya bangku di sebelah Dicky yang kosong.
“Kak numpang ngerjain tugas yaa, gue diusir sama Pak Wawan.”
Dicky kebingungan melihat Felisia datang ke kelasnya sendirian. “Loh, Garinnya mana? Kalo lo aja di usir, gak mungkin Garin gak diusir, kan?”
“Noh di depan, lagi syuting Titanic season 2. Cocok banget kan yaa jadi Jack sama Rose.”
Dicky tertawa. Benar juga, Garin dan Hera, teman sekelasnya sejak kelas sepuluh, memang seperti pasangan legendaris Jack dan Rose. Bedanya, Rose yang ini lebih memilih pacarnya daripada Garin.
“ Yaudah, Fel, gak usah jelous gitu, sini-sini, d**a gue siap kok jadi sandaran lo, kalo lo berniat mau nangis.”
“Ih najis, gue yang denger aja geli.” Aldo yang duduk di seberang meja Dicky menyaut sambal bergidik.
“Halah, bilang aja, lo sebenernya pengen kan bersandar di d**a gue . Gue tau lo maho, Do, tapi jangan di depan Felis juga kali, kan gue malu.”
“Gue kalo mau maho juga kira-kira kali, Ki. Gak mungkin sama lo yang pasti.”
“Oh, jadi lo beneran maho. Woy, Aldo maho woy, jangan di deketin, nanti lo pada di taksir.” Dicky berteriak kencang memberi pengumuman itu pada teman-teman kelasnya.
“ Monyet lo ya!” Aldo melempar tipe-x yang ditangkap Dicky dengan tepat.
“Wah, pantesan kalo gue ganti baju olah raga, Aldo ngeliatin gue sampe ngeces gitu.” Rangga yang tempat duduknya paling depan -sengaja dipindahkan oleh guru agar tidak berdeka tan dengan Dicky- menyahut sambi l tertawa.
“Ya ampun Mas Dodo, kok gak bilang-bilang si, bisa dong ntar malem kitamaen satu ronde.” Anak kelas ini yang lain, Fikar, yang juga biang berisik di kelas, bergaya ngondek sambil mengedipkan matanya, dan disambut tawa teman sekelasnya yang lain.
“Anjing lo pada ya.” Aldo kembali mengatai teman-temannya, lalu pandangannya beralih pada cewek yang duduk di sebelah Rangga. “Nes, sumpah, Nes, gue normal kok. Kalo gak percaya kita ke toilet aja yuk sekarang.”
Kontan Vanes bergidik kegelian mendengar ucapan Aldo, cowok yang belakangan mendekatinya terang-terangan itu.
“Biar apa itu, Do dibawa ke toilet?”
“Yaa untuk membuktikan ke Vanes lah, anu gue kan gak mungkin bohong.”
“Cara membuktikannya gimana, Do?”
“Palingan dipegang juga langsung tegang.” Dicky kembali ikut berkomentar.
“Apanya, Ki yang dipegang?”
“Anunya lah t***l!”
“Anu tuh apa, Kak?” dan pertanyaan Felisia sukses membuat ramai anak kelas ini. Yaa, jelas aja Felisia ngerti, tapi kan emang daritadi yang lain juga ngerti, Cuma sengaja aja di perpanjang.
“Anu loh, Fel, maksudnya tangan gue dipegang Vanes, tegang dong, secara grogi.”
“Ohh, tangaann.” Dan beberapa sis w a menjawab dengan kompak.
Vanes sendiri tidak marah, ia hanya tertawa santai, sudah biasa dengan candaan anak-anak kelas ini.
Tapi Felisia justru terbahak menyaksikannya. Boleh gak sih kalo Felisia minta dipindah ke kelas ini?
Tak lama Garin memasuki kelas ini dengan tangannya yang menggandeng Hera. Setiap kali melihat mereka, Felisia seperti menonton adegan drama – oh tidak, drama kebagusan, lebih tepat seperti ftv Indosiar.
Lalu Felisia kembali teringat akan cerita Rangga dan Dicky sewaktu ia menanyakan tentang hubungan Garin dan Hera.
Garin dan Hera, dekat sejak pertengahan kelas sepuluh. Tidak ada yang tau pasti apa yang membuat Garin dan Hera menjadi dekat, padahal saat itu Garin sangat jarang masuk sekolah, bahkan tidak terlalu hafal dengan teman-teman sekelasnya kecuali anak-anak barisan belakang. Tau-tau saja Hera menjadi sering pulang sekolah bareng Garin, lalu Garin yang memilih untuk tugas kelompok bersama Hera – padahal sebelumnya Garin tidak pernah peduli dengan tugas kelompok – meskipun satu kelompok bersama Hera juga tidak mengubah Garin menjadi rajin.
Garin tidak pernah memploklamirkan hubungan apa yang terjalin diantara dirinya dan Hera, tapi semua orang yang melihatnya tau, Garin menyukai Hera, atau lebih dari sekedar suka.
Hingga menjelang semester akhir kelas sepuluh, Hera memberitahukan satu hal yang membuat Garin tidak terima. Katanya, Hera punya pacar. Katanya, pacarnya baru bangun dari koma, dan Hera meminta Garin untuk menjauhinya. Garin marah besar, tapi kemarahannya tentu saja hal yang sia-sia, karena keputusan Hera sudah bulat untuk tidak berhubungan lagi dengan Garin.
Padahal, keputusan Garin untuk menggantungkan harapannya pada Hera bukanlah perkara mudah. Ketika harapannya tak lagi bersisa, dan Garin tidak tau lagi harus melampiaskannya dengan cara apa, Garin terlibat masalah spele dengan anak sekolah lain yang berakhir dengan Garin menghajar sekitar sepuluh orang anak sekolah lain. Semuanya bonyok, terlebih Garin, sampai dirawat selama dua minggu di rumah sakit.
Hera yang melihat Garin sehancur itu tidak tega, terlebih saat mendengar Garin sampai memohon padanya, ia tidak peduli Hera punya pacar atau tidak, ia tidak peduli dengan status apapun, Garin hanya ingin Hera terus bersamanya. Karena bagi Garin, Hera adalah satu-satunya harapan yang tersisa dan nyata.
Kisah cinta yang tragis bukan? Nyaris setara kisah Jack dan Rose dari Titanic, atau Zainudin dan Hayati yang lebih bertema lo k al.
Pasangan itu-tidak- entah apa pantasnya mereka di sebut, Garin dan Hera berjalan menuju tempat duduk Hera. Dan seperti apa yang di ceritakan Dicky dan Rangga. Garin sama sekali tidak lepas dari Hera. Tidak sedetikpun. Sampai mereka sampai di tempat duduk, tangan Garin malah memeluk pinggang Hera,
Garin sangat mencintai Hera, Felisia tau itu. Sampai Garin rela menjalani hubungan seperti itu. Ada sesuatu yang aneh dirasakan Felisia setiap kali melihat Garin Bersama Hera , ada juga perasaan takjub ketika mengetahui betapa cintanya Garin dengan cewek itu. Felisia tidak pernah menyangka begitulah cara cowok seperti Garin menunjukan perasaanya.
"Fel, buku fisika gue mana?"
Felisia tersentak saat Garin berteriak padanya, Felisia segera tersadar dari keterpukauannya menyaksikan dua insan tersebut.
"Oh, nih." Felisia melempar buku Garin asal. Dan tanpa sengaja mengenai kepala Hera, membuat Hera terbangun.
Garin menatap Felisia kesal. "Elo bisa pelan-pelan gaksih? Atau jalan kek kesini!" Garin berseru kencang, membuat Felisia terkejut.
Felisia diam. Tidak menjawab seperti biasanya saat Garin mengomel. Lagi- rasa aneh itu, saat Garin membentaknya karena Felisia tak sengaja, nafas Felisia seakan sesak untuk beberapa saat. Garin mengomel karena Felisia menyakiti -oh tidak, hanya tersenggol buku, tidak sampai berdarah-darah- cewek kesayangannya. Hera.
"Udah ah, Gar. Orang kesenggol doang." Hera menarik Garin agar tidak memperbesar masalah itu. Tentu saja Garin menurut, kini Garin sedang sibuk memperhatikan Hera yang akan mengerjakan tugasnya.
"Kerjain yaa?"
Oh, Demi Tuhan. Mata Felisia benar-benar panas saat itu. Saat Garin setelah mengomel padanya, kini ia tersenyum pada Hera. Dan dagu Garin kini bertopang pada bahu Hera, entah membisikan apa. Yang Felisia tau, tanpa perlu berbisik seperti itupun tak akan ada yang mau tau apa yang mereka bicarakan. Oke, kecuali Felisia.