Bab 1

1339 Words
Beberapa jam sebelum kedatangan Aydan di Korea. Pamannya, Kang Jae Sun, sedang menghadiri rapat untuk menilai proposal yang Diajukan masing-masing orang dalam tim yang diutus untuk menjadi penanggung jawab acara konser akbar yang akan Diadakan beberapa bulan lagi. Kang Jae Sun melihat jam tangannya, masih ada waktu sebelum dirinya meminta supir perusahaan untuk menjemput keponakannya dan mengajaknya ke perusahaan sebagai bentuk perkenalan. Aydan akan diminta menjadi penerus perusahaan papanya yang telah lama diurusnya semenjak peristiwa yang mengambil nyawa adiknya dan sempat mengira bahwa putra dari adiknya itu telah tewas. Ternyata Aydan masih hidup dan kini sudah kembali lagi. “Jadi, menurutmu Kita harus melakukan rencana yang sama seperti dua tahun lalu, begitu?” tegur Jae Sun dengan nada meninggi melanjutkan rapat. Wanita yang mengajukan rencana itu menelan salivanya beberapa kali. Tidak percaya kalau bosnya bisa ingat tentang acara dua tahun lalu. “Ma-maafkan Saya, Pak!” ucapnya dengan menyesal. “Dari tadi Saya mendengar usul sampah semua!” bentaknya sambil menjatuhkan tumpukan proposal yang mereka buat dan telah dibaca olehnya sambil mendengarkan penjelasan. Anggota tim sama-sama tersentak dan menunduk, beberapa dari mereka melirik ke arah Jae Sun. “Jika semua yang Kami katakan adalah sampah, kenapa Bapak meminta Kami yang menanganinya? bapak tidak menerima satu pun saran dari Kami,” ujarnya lancang. Jae Sun menyanggah dagunya dengan tangan kiri, memandang balik wajah pria itu. “Kau bekerja dalam divisi apa?” tanyanya. “Perencanaan acara, Pak,” jawabnya. “Apa perlu Saya minta proposal dari bagian keuangan? Menambah beban kerja mereka dan membuat Kalian berleha-leha, gitu?!” tanya Jae Sun lagi. Pria itu menunduk. “Atau, aku minta bagian bersih-bersih menggantikan posisi Kalian semua dan Kalian berada di posisi mereka?” tawar Jae Sun lagi sebagai bentuk pertimbangan diri atas kesalahan mereka. Tatapan berani yang terlempar ke wajah Jae Sun perlahan menurun. Tentu mereka tidak akan mau. “Tidak, Pak,” jawab salah dari mereka. “Kalau begitu kerjakan tanggung jawab Kalian di divisi ini jika masih ingin bertahan. Bila tidak sanggup ajukan surat pengunduran diri.” Kang Jae Sun menyusun barang-barangnya kemudian menutup rapat dan pergi dari ruangan itu. Sekretarisnya mengikuti. Semua orang dalam ruangan menjadi depresi karena terkena semburan Jae Sun. “Aaggghh! Kenapa harus begini sih, ceritanya? Aku udah mati-matian mikir untuk proposal ini, malah gak dihargai.” “Sabar, evaluasi diri lebih bagus,” sahut ketua tim. “Apa yang salah dengan boneka? Bukankah bingkisan yang paling diminati oleh penonton?” tanya pria yang memakai kemeja kuning. “Tidak semua penonton wanita, mungkin itu maksudnya pak Jae Sun.” “Ya udah, tinggal Kita ganti aja kalau penontonnya pria Kita kasih-“ pria itu berhenti bicara karena buntu mau melanjutkannya. Teman-temannya mengerucutkan mulut dan menepuk bahunya, memberi semangat secara tak langsung. “Kasih apa ya? pulpen mungkin atau gelang?” ucapnya merasa bahwa gelang adalah jalan tengahnya. Dia pun bersemangat kembali ke meja kerjanya dan memperbaiki proposal yang telah ditolak oleh Jae Sun tadi. Kang Jae Sun kembali ke ruangannya dan meminta sekretarisnya untuk menahan segala bentuk pertemuan sampai dirinya kembali. “Bapak mau ke mana?” tanya Hae Won, sekretarisnya. “Kau akan tahu setelah Saya membawanya ke sini.” Jae Sun tersenyum. “Haha, misterius sekali. mudah-mudahan Dia tampan.” “Ohoho, tidak boleh diganggu gugat. Sudah ada pemiliknya.” “Yah, kecewa.” Jae Sun tertawa dan meninggalkan ruangan kemudian menghubungi supirnya untuk menunggu di depan meja lantai dasar. Hae Won tersenyum kemudian menggaruk kepalanya, melanjutkan pekerjaannya. Sesampainya Jae Sun di mobil. “Selamat siang, Pak!” sapa satpam yang berjaga di pintu perusahaan. “Selamat sore,” sahutnya mengingatkan bahwa sekarang sudah pukul 3 sore. “Ahaha, maaf, Pak!” pria itu segera membukakan pintu mobil dan Jae Sun pun masuk. “Langsung ke bandara, Pak?” tanya supirnya. “Ya.” “Baik, Pak!” Jae Sun menghubungi Micha, istrinya, untuk membuat jamuan makan malam untuk mereka hari ini. Micha sangat kaget karena lupa kalau keponakannya akan datang. “Oh, Astaga! Kenapa aku bisa lupa? Umurku sudah sangat memprihatinkan atau karena vitamin yang kuminum tidak lagi manjur?” tanyanya sambil memperhatikan mode terbaru yang telah dirancangnya. Pesawat mendarat sempurna. Aydan dan Dara turun kemudian berjalan ke arah pintu keluar. Mengambil koper yang super besar dan berjumlah dua. Aydan harus menggunakan troli untuk mengangkatnya. Tidak sanggup bila Dia bawa sendiri. Belum lagi tas tenteng yang berisi perlengkapan istrinya. Bisa sengklek tubuh Aydan. Sambil mendorong troli, Aydan menerima pesan sebelum berangkat tadi dari Kang Jae Sun bahwa akan ada yang mencarinya di pintu keluar. Seorang pria paruh baya, supir perusahaan yang memakai baju biru, kepalanya botak dan berkumis tebal. Aydan mencari ke sana ke mari, tetapi tidak ada petunjuk apapun seperti di film-film, secarik kertas atau lampu bercahaya atau mungkin lambaian saja. Aydan terlalu banyak berkhayal. Akhirnya Dia mencoba menghubungi pamannya, tetapi begitu dirinya mengusap layar ponsel, seorang pria berdiri di hadapan mereka dan membuat tatapan Aydan teralihkan. “Paman!” sapa Dara pada Jae Sun yang tersenyum melihat kedatangan mereka. Aydan langsung menegakkan kepalanya dan melihat pria berjas olive itu menaikkan alis kanannya kala membalas tatapannya. "Paman? Bukannya-" ucapan Aydan terhenti karena Jae Sun memeluknya erat tanpa ingin menjawabnya terlebih dulu. Dara tersenyum melihat mereka berdua. Adem rasanya bisa menemukan keluarga dan menginjakkan kaki di kampung halaman suaminya. "Tadi aku memang sibuk, tapi semua bisa berlalu dan menyusulmu ke sini secara langsung." "Haha, aku tidak menyangka. Pantas saja saat aku mencari pria yang punya ciri-ciri botak, berkumis dan pakai kemeja biru, aku tidak melihatnya." Jae Sun cekikikan. "Ada, Dia ada di parkiran. Ayo, Kita segera pergi! Aku ingin membawamu keliling perusahaan." Dara senang sekali mendengarnya, tetapi Aydan ragu melihat perutnya yang bisa saja keram. "Sayang, Kamu mau ikut?" tanya Aydan. "Ya, tidak masalah. Dara juga ingin melihatnya." "Kalau Dia lelah, bisa istirahat di ruanganku," sahut Jae Sun. "Iya, Paman." Dara setuju. Mereka pun pergi bersama ke parkiran. Jae Sun mengambil alih troli dan mendorongnya. Meminta Aydan mengawasi istrinya saja. Sesampainya di mobil. Pria yang punya ciri seperti diucapkan Jae Sun pun terlihat oleh Aydan. Pria itu menyapanya ramah dan segera memasukkan barang ke bagasi. Aydan membantunya karena sangat berat bila sendirian. "Masuklah, Dara," kata Jae Sun. "Oh, ya, Paman. Terima kasih!" Kang Jae Sun memastikan semua masuk dan tidak tertinggal satu pun kemudian meminta keponakannya masuk. Aydan duduk di samping istrinya sementara Jae Sun di depan. Dara tidak bisa duduk terlalu belakang, suka mual dan pusing. Senyum Dara terus tertarik sangat tinggi mulai dari menginjakkan kaki di bandara sampai sekarang mereka dalam perjalanan menuju perusahaan. Dara sangat terpesona dengan yang dilihatnya. Seperti yang ada di film Korea itu. Haha! senang rasanya bisa ke sini. Aku pasti berusaha keras untuk belajar bahasa mereka. Sementara Dara akan menggunakan bahasa Inggris saja, sedangkan Aydan tidak perlu belajar lagi karena dia memang masih menguasai bahasa dari negara asalnya. Aydan melirik istrinya, ikut tersenyum kemudian menggenggam tangannya. Dara spontan menoleh. "Dara suka sekali dengan semua gaya arsitektur gedung yang ada di sini. Pengaturannya terarah dan membuat Dara tak henti bersyukur karena bisa menginjakkan kaki di sini." "Kamu baru ini ke Korea?" tanya Kang Jae Sun. "Mmh, ya dulu sepertinya pernah sewaktu kecil. Tapi, sudah lupa dan tidak mengingatnya lagi. Dara pernah lihat foto saat main salju dan di pulau Jeju." Jae Sun mendengar nama 'Jeju' meski mereka menggunakan bahasa Indonesia. "Kau pernah ke Jeju?" tanyanya dalam bahasa Inggris pada Dara. "Ya, Paman! Tapi saat aku masih kecil sekali, jadi tidak terlalu ingat." "Haha, Kau bisa ke sana bulan depan!" kata Jae Sun. "Oya, ada apa di sana?" tanya Dara penasaran. "Perusahaan punya acara di pulau Jeju. Pernikahan besar anak seorang pejabat." "Ooh." sahut Aydan dan Dara bersamaan. "Kita diundang, Paman?" tanya Aydan lalu memperbaiki, "Maksudnya Paman diundang?" "Kau juga diundang, kau kan pemilik perusahaan, pasti diundang, mereka akan pakai jasa EO Kita." Aydan tersenyum pada Dara. Rasanya tidak percaya kalau Dia akan diutus menjadi pemilik perusahaan almarhum papanya. Setelah mengalami penghinaan besar, kini Tuhan menggantinya dengan sesuatu yang lebih mengagumkan. Dia kira dulu, orang tuanya hanya rakyat biasa. Namun, nyatanya keluarga mereka begitu berpengaruh di Korea.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD