SEISTIMEWA YOGYAKARTA | 2

1022 Words
    Rindu menikmati malam di Yogyakarta dari balkon hotel tempat dia menginap. Rindu masih belum berhasil untuk merasa baik-baik saja. Rasanya masih sama sampai detik ini. Sakit dan menyesakkan. Bayangan Gentara bersanding di pelaminan dengan Hapsari membuat Rindu menggeleng sekuat tenaga. Itu seolah sebuah kemustahilan yang di paksa menjadi nyata namun sebentar lagi itu adalah kenyataan. Yang menjadi mustahil adalah Gentara bersanding dengannya di pelaminan.     Senyum tipis Rindu mengembang ketika melihat siapa yang menghubunginya malam ini. Tangan Rindu bergerak dengan cepat menggeser tombol hijau.     “Lo baik-baik aja?!” seruan di seberang sana membuat Rindu menjauhkan ponselnya dari telinga.     “Gue baik-baik aja, Nar,” jawab Rindu.     “Nggak usah bohong lo sama gue, bilang aja sekarang lo pasti lagi nangis, kan? Pasti lo masih mikirin Gentarangan yang bentar lagi mau naik pelaminan. Andai aja dia bukan orang yang lo sayangi udah gue jadiin dia prekedel, Ndu. Sialan bangat itu laki, gue sebagai laki-laki sejati merasa di permalukan atas sikap ketidak laki-lakian dia itu” ucap Bonar. Rindu memang tidak pernah bisa berbohong pada Bonar. Pria itu terlalu mengerti dirinya.     “Rasanya sakit bangat, Nar,” ucap Rindu, tangisnya kembali pecah.     “Gue emang nggak pernah ada di posisi lo, tapi gue bisa ngerti apa yang lo rasain sekarang. Tenangin diri lo di sana, gue nggak mau lihat lo hancur kayak gini. Ingat Ndu, hidup lo nggak cuma tentang Gentara sialan itu tapi lo harus ingat sama ibu, Ndu. Ibu lo butuh semangat dari lo. Jangan egois,” ucap Bonar, Rindu semakin terisak. Dia tahu, dia memang bodoh namun Rindu benar-benar tidak tahu harus melakukan apa sekarang, pikirannya benar-benar kalut, perasaanya hancur berantakan.     “Keadaan ibu, gimana?” tanya Rindu.     “Tadi waktu gue jenguk ke rumah sakit, masih sama,” ucap Bonar. Rindu menghela napasnya. Semenjak menjalani kemoterapi kondisi ibunya memang tidak menunjukkan perubahan berarti.     “Makasih, Nar. Udah mau jagain ibu untuk gue,” ucap Rindu. Dia merasa sangat beruntung memiliki sahabat seperti Bonar, jika tidak ada Bonar, mungkin Rindu akan semakin kesulitan.     “Sekali lagi lo bilang makasih, gue gantung lo di jemuran mpok Nori, tetangga gue,” ucap Bonar, Rindu terkekeh di sisa-sisa tangisnya.     “Lo memang sahabat terbaik gue,” ucap Rindu.     “Kalau itu baru benar, pokoknya lo harus manfaatkan waktu lo di sana dengan baik. Gue udah bilang lo cuti sama bu Marwa selama seminggu. Dia langsung setuju tanpa banyak ngomong. Kayaknya dia ngerti keadaan lo deh,” ucap Bonar.     “Dia emang manajer terbaik,” ucap Rindu.     “Kalau itu, gue setuju,” ucap Bonar     “Titip ibu ya, Nar. Kabarin gue kalau ada apa-apa.”     “Siap bu Rindu.”     ***     “Gimana, lancar?” tanya Rindu pada Bhanu. Sore ini mereka menelusuri jalan Yogyakarta. Kata Bhanu, mereka akan mencoba kuliner khas Yogyakarta yang nggak boleh di lewati begitu saja.     “Lancar mbak, besok saya kosong. Mbak mau kemana?”     “Candi borobudur sama prambanan. Seumur-umur gue baru sekali ke  sana,” ucap Rindu membuat Bhanu yang sedang mengendarai motor vespanya tertawa.     “Mbak kayaknya emang anak Jakarta abis, kalau nanti saya ke Jakarta jangan lupa ajak saya ke tempat-tempat keren yang ada di sana,” ucap Bhanu.     “Isinya gedung semua, Nu,” jawab Rindu.     “Iya sih, tapi mbak Rindu pasti tahu tempat bagus selain gedung di sana,” ucap Bhanu.     “Yasudah besok kalau lo ke Jakarta kabarin gue,” ucap Rindu.     Motor Bhanu menepi di angkringan yang baru saja buka, sebenarnya ini masih terlalu cepat untuk mampir di angkringan. Namun, karena angkringan ini berada di dekat alun-alun kidul membuat itu tidak menjadi masalah.     “Ada masalah?” tanya Rindu, dia melihat wajah Bhanu agak murung sore ini.     “Mbak, kalau dulu di masa lalu ada orang yang benar-benar mengecewakan mbak kemudian mbak udah melakukan apa aja supaya dia menganggap mbak ada namun usaha mbak nggak pernah di hargai, apa yang akan mbak lalukan?” tanya Bhanu.     “Lagi berantem sama pacar?” tanya Rindu.     “Jawab aja, mbak. Saya lagi butuh pencerahan,” ucap Bhanu.     “Kalau gue ngomong lo-gue sama lo? Lo nggak merasa terganggu, kan?” tanya Rindu hati-hati. Rindu hanya takut nanti Bhanu menganggapnya tidak sopan atau bagaimana, di Yogyakarta panggilan seperti itu masih belum cukup familiar walau sekarang orang-orang di sana sudah banyak yang menggunakan kata itu.      “Nggak masalah mbak, santai aja” jawab Bhanu.     “Kalau gue sendiri akan melihat kenapa dia melakukan itu ke gue, kadang ada kalanya kita nggak bisa menilai orang dengan baik. Kalau lo mau tahu jawabannya, lo harus berani nanya sama orangnya langsung. Gue tahu kadang kita merasa gengsi tapi gengsi nggak akan menyelesaikan apapun. Ajak dia ngobrol baik-baik,” ucap Rindu. Bhanu terdiam untuk beberapa saat.     “Kalau dia nggak mau di ajak bicara?”     “Di coba dulu, Nu.”     “Makasih, mbak. Saya pikirin lagi. Mbak sendiri gimana? Apa yang membuat mbak tiba-tiba ada disini dalam keadaan menangis?”     “Di tinggal nikah sama pacar, persis tebakan lo tapi ada yang nggak bisa gue terima dengan baik, ketika dia mutusin gue dengan cara ngirim undangan pernikahannya ke gue, gue merasa di campakkan apalagi dia akan nikah dengan teman gue semasa SMA,” ucap Rindu.     “Mbak,” panggil Bhanu ketika melihat mendung kembali menghiasi wajah Rindu.     “Ya?”     “Semangat!!” seru Bhanu dengan mengepalkan tangannya di hadapan Rindu. Rindu terkekeh.     “Cowok tatoan ngak gengsi kan naik odong-odong?” tanya Rindu. Bhanu mengeryit tapi menggeleng setelah tahu apa yang di maksud oleh Rindu. Odong-odong yang di maksud Rindu adalah kereta warna-warni dengan hiasan tulisan aksara jawa yang akan membawa pengunjung mengelilingi alun-alun kidul.     “Mbak mau naik odong-odong?” tanya Bhanu.     “Kalau lo mau nemenin,” jawab Rindu.     “Bolehlah, saya juga belum pernah naik,” jawab Bhanu membuat senyum Rindu kembali tersungging.     Malam itu Rindu merasa kota Yogyakarta semakin istimewa dengan adanya Bhanu yang menemaninya. Mereka menikmati berkeliling alun-alun dengan odong-odong dan berlanjut menikmati kuliner Yogyakarta yang selalu berhasil memanjakan lidah. Untuk beberapa saat mereka melupakan masalah yang menerpa hidup mereka, namun ketika dua orang itu sama-sama menerima pesan, mereka terpaku dan mereka kembali sadar, bahwa mereka tidak akan pernah bisa lari.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD