SEISTIMEWA YOGYAKARTA | 1

2049 Words
    Bahagia yang sebenarnya itu seperti apa? Pertanyaan itu memenuhi kepala Rindu. Hari ini Rindu memutuskan untuk melarikan diri ke Yogyakarta. Kenyataan dia di campakkan oleh seorang Gentara, pria yang begitu Rindu percaya selama ini memang benar adanya. Rencana-rencana yang sudah mereka rancang sejak lama berakhir menjadi bualan belaka. Fakta bahwa Gentara sudah bersama dengan Hapsari dari tahun lalu membuat Rindu semakin merasa bodoh. Gentara hanya kasihan padanya. Gentara masih bertahan dengannya hanya karena kasihan melihat kondisi Rindu yang harus mati-matian bekerja untuk kesembuhan ibunya yang menderita kanker otak.     Rindu mengusap air matanya dengan kasar ketika kereta yang dia naiki hampir sampai di stasiun tujuan. Stasiun Yogyakarta. Rindu mati-matian terlihat baik-baik saja namun lagi-lagi dia menangis, dia mengabaikan tatapan penuh tanya penumpang kereta yang sama dengannya. Rindu tidak peduli, lagian di tempat ini tidak ada seorangpun yang akan mengenalnya. Rindu tidak perlu takut di bilang menangis karena di tinggal nikah, Rindu tidak perlu takut di bilang gadis yang di campakkan. Disini dia bebas. Rindu bebas menangis dan berteriak sesukanya.     Rindu menunduk, sesekali dia menyulut ingusnya. Satu tempat yang ada di kepala Rindu saat ini hanyalah Malioboro. Senyumnya sedikit mengembang ketika menatap jejeran kursi pajang, pedagang kaki lima dan becak yang hilir mudik membawa penumpang. Rindu tidak salah, kota yang menjadi tempat kelahiran ayahnya ini selalu berhasil membuat Rindu tenang. Rindu duduk di salah satu kursi yang ada disana dengan sebotol air mineral di tangannya.     Rindu masih ingat pertemuan terakhirnya dengan Gentara, sore hari di parkiran kantor.     “Genta,” panggil Rindu dengan ragu. Gentara tersenyum padanya seperti biasa     “Kenapa kamu baru bilang?” tanya Rindu. Gentara kembali tersenyum dan bersandar di pintu mobilnya.     “Memang selama ini kamu punya waktu saat aku ajak bicara?” tanya Gentara, masih dengan senyum seperti biasa.     “Genta, aku—“     “Kamu sibuk, kamu harus kerja dengan keras, kamu harus bayar biaya rumah sakit ibu dan kamu nggak pernah ada waktu untuk aku. Ndu, kamu tahu. Aku udah bosan dengan hubungan kita yang seperti itu. Disaat aku berusaha keras mengerti kamu tapi kamu tidak berbalik untuk mengerti aku. Jangan salahkan aku karena tiba-tiba kirim undangan pernikahan ke kamu. Itu cara satu-satunya supaya kamu sadar, kamu udah lama meninggalkan hati aku. Aku udah lama ingin mengakhiri hubungan kita, Rindu,” ucap Gentara dengan suara yang cukup keras. Beberapa karyawan yang juga ingin bergegas pulang menatap mereka penuh pertanyaan namun memilih pergi karena tidak ingin membuat semua tambah rumit.     “Genta, maaf,” ucap Rindu, dia menatap Gentara dengan linangan air mata, mencoba menggenggam tangan pria itu namun di hempaskan. Gentara benar-benar bukan lagi miliknya.     “Kita selesai Rindu. Aku nggak mau lagi kamu seperti ini. Mulai besok bersikap professional layaknya rekan kerja. Jangan bawa masalah ini ke kantor. Dan satu lagi, aku harap kamu datang ke pernikahan aku dan Hapsari,” ucap Genta, dia membuka pintu mobilnya.     “Kenapa harus Hapsari?” tanya Rindu dengan lirih. Gentara kembali menatap ke arah Rindu.     “Karena dia bukan orang egois seperti kamu,” jawab Gentara sebelum hilang di balik pintu mobil.     Rindu kembali menyulut ingusnya, ternyata sore di Yogyakarta tidak bisa membuat Rindu merasa baik-baik saja. Benarkah dia seegois itu? Rindu selama ini berpikir Gentara akan mengerti posisi Rindu namun kenyataannya pria itu diam karena dia bosan. Rindu menatap langit jingga di atas kepalanya. Langit itu bahkan seolah sedang bahagia dengan penderitaan Rindu. Rindu mendengus dan kembali menangis.     “Mbak orang kelima yang saya lihat menangis di tempat ini,” suara itu mengintrupsi Rindu. Dia menoleh ke samping, Rindu hampir berteriak ketika melihat seorang pria duduk di sebelahnya dengan santai. Bukan pria tampan dan maskulin seperti yang kalian bayangkan namun ini sebaliknya, pria dengan dandanan layaknya preman, tato memenuhi lengannya, tindikan di telinga dan rambut yang acak-acakkan. Benar-benar pria yang buruk, itu yang terlintas dalam benak Rindu.     “Orang pertama yang saya temui mengatakan, menangis karena kehilangan ibunya saat berbelanja di dalam sana,” ucap pria itu dan menunjuk ke arah Malioboro.     “Orang kedua yang saya temui mengatakan, menangis karena sahabat terbaiknya menghianatinya,” ucap pria itu, dia melipat tangannya di belakang kepala, mendongak menatap langit yang kini sudah kemerahan. Rindu masih diam.     “Orang ketiga yang saya temui mengatakan, menangis karena tidak kunjung lulus kuliah padahal dia sudah tidak sabar ingin menikah.”     “Orang keempat yang saya temui mengatakan, menangis karena bertengkar dengan kedua orangtuanya karena kedua orangtuanya tidak merestui hubungannya dengan sang pacar,” ucap pria dengan dandanan serampangan itu, dia menoleh pada Rindu. Menatap Rindu sebentar dan tatapannya kembali ke arah langit.     “Dan ketika melihat wajah mbak, saya kayaknya tahu, mbak nangis pasti karena di tinggal nikah sama pacarnya kan? Udahlah mbak, santai aja. Mungkin belum jodoh dan menangisi jodoh orang itu adalah tindakan yang sia-sia,” ucap pria itu, dia duduk tegak. Rindu terpaku di tempatnya.     “Lo siapa?” tanya Rindu. Pria itu terkekeh pelan.     “Mbak cewek kelima yang nanyain saya siapa,” ucapnya. Rindu semakin mengeryitkan dahinya bingung.     “Nama saya Bhanu, asli Yogyakarta kok, Mbak,” ucap Bhanu. Rindu mengangguk mengerti.     “Kerjaan lo hanya mengamati orang-orang yang datang kesini?” tanya Rindu, Bhanu menggeleng.     “Nggak juga, saya bahkan jarang datang kesini. Lebih senang ngamen di lampu merah. Tapi bosan mbak, penggemar saya tambah banyak,” ucap Bhanu, Rindu terkekeh, di lihat dari wajahnya, Bhanu mungkin dua atau tiga tahun lebih muda dari Rindu.     “Pekerjaan sehari-hari?” tanya Rindu. Bhanu menggeleng.     “Enggak juga mbak, kalau lagi suntuk aja. Mbak tahu, saya nggak suka terlalu terikat. Fokus pada satu hal akan membuat hidup kita membosankan. Kerja keras boleh mbak tapi jangan lupa, diri kita juga punya titik lelah dan jenuh,” ucap Bhanu. Rindu tanpa sadar mengangguk.     “Lo sering ngajak orang asing ngobrol kayak gini?” tanya Rindu.     “Enggak juga, saya melakukanya ketika bosan. Berbincang dengan orang asing bukan sebuah kesalahan. Mbak, termasuk orang yang lagi beruntung aja bisa ketemu saya hari ini,” ucap Bhanu.     Rindu hanya terkekeh pelan menanggapi ucapan Bhanu, Rindu termasuk orang yang mudah bergaul, dia memiliki cukup banyak teman, namun satu persatu dari mereka mulai meninggalkan Rindu saat Rindu sudah jarang ikut berkumpul. Sejak kematian ayahnya dan ibunya dinyatakan terkena kanker otak, Rindu harus bekerja keras untuk kesembuhan ibunya. Sekarang teman satu-satunya Rindu adalah Bonar, teman satu divisinya dan memiliki kisah hampir sama dengan Rindu, hanya saja Bonar harus kerja keras untuk membiayai sekolah kedua adiknya.     “Gue boleh minta tolong?” tanya Rindu, dia menoleh ke arah Bhanu yang kini sibuk dengan ponselnya, pria itu tampak sangat serius berbanding terbalik dengan beberapa waktu yang lalu.     “Bhanu,” panggil Rindu, dia melambai di depan wajah Bhanu membuat pria itu tersentak kaget.     “Eh iya mbak, kenapa?” tanya Bhanu, pria itu buru-buru menyimpan ponselnya ke dalam saku celana.     “Gue bisa minta tolong?” tanya Rindu.     “Minta tolong, apa?”     “Lo tahu penginapan yang murah? Gue belum ketemu soalnya.”     “Untuk berapa hari?” tanya Bhanu.     “Seminggu kurang lebih, gue belum siap kembali ke Jakarta. Mau nenangin diri dulu di sini,” jawab Rindu.     “Kirain saya mbak lagi nungguin teman disini.”     “Gue nggak punya teman di sini, semua teman gue ada di Jakarta.”     “Oh, mbak asli orang Jakarta?”     “Orangtua gue asli jawa sih tapi dari kecil gue tinggal di Jakarta.”     “Mbak mau nginep di hotel atau kos?”     “Yang lebih aman dimana?”     “Ya, hotel mbak.”     “Yaudah, temenin gue cari hotel. Lo keberatan nggak?”     “Saya bahkan siap nemenin mbak keliling Jogja selama disini,” ucap Bhanu. Mata Rindu berbinar. Dia menatap Bhanu tidak percaya.     “Seriusan lo?” tanya Rindu.     “Mbak kabarin saya aja kalau mau di temenin, tapi jangan pagi mbak takut saya belum bangun,” ucap Bhanu sambil terkekeh geli.     “Besok lo bisa jam berapa?” tanya Rindu, dia mengikuti langkah Bhanu, mereka naik becak untuk mencari hotel yang tidak jauh dari sini.     “Besok saya nggak bisa mbak, harus ke kampus,” jawab Bhanu. Rindu yang sedang menikmati hiruk pikuk kota Yogyakarta menoleh pada Bhanu.     “Kampus?” tanya Rindu. Bhanu mengangguk.     “Pasti mbak mikirnya saya cowok liar yang nggak punya tujuan hidup, mbak nggak lihat, tampang saya ini punya masa depan yang cerah. Saya anak teknik semester akhir mbak. Lagi sibuk skripsi biar cepet di sidang,” ucap Bhanu sambil terkekeh, Rindu mau tidak mau juga ikut terkekeh menanggapi ucapan Bhanu. Mungkin benar, ketika ke Jogja atau dimanapun kita tidak boleh menilai orang sembarangan. Bahkan tukang becak di Yogyakarta bisa jadi mahasiswa S2 yang sedang menyelesaikan pendidikannya atau pengamen dan lain-lainnya, mereka melakukan itu di kala merasa stress dengan urusan kuliah yang kadang membuat kepala ingin pecah.     “Maaf, gue memang sempat mikir kayak gitu tapi gue sama sekali nggak merasa takut sama lo,” ucap Rindu tidak enak. Bhanu tertawa menanggapi ucapan Rindu. Bagi Bhanu itu tidak masalah, orang bebas memberikan penilaian pada dirinya.     ***     Bhanu menatap ponselnya yang terus bergetar sejak tadi namun Bhanu tidak beniat untuk mengangkatnya. Bhanu tidak ingin bertengkar dengan seorang di seberang sana.     Setelah menemani Rindu mencari hotel untuk menginap dan bertukar nomor ponsel dengan gadis itu, Bhanu memilih pulang ke apartemennya. Mengistirahatkan diri. Skripsi membuat Bhanu sedikit stress akhir-akhir ini. Bhanu berbohong kepada Rindu ketika dia sudah menemukan lima orang menangis hari ini, Rindu adalah orang pertama yang Bhanu temui menangis. Bhanu hanya iseng mengganggu gadis itu, Bhanu ingin menghilangkan stresnya karena dia bosan jika bergabung dengan pengamen jalanan di lampu merah.     Bhanu berasal dari keluarga yang berkecukupan, dia bahkan memiliki semua hal yang dia inginkan tapi Bhanu tidak pernah suka tinggal bersama keluarganya. Bhanu hampir menghabiskan seluruh hidupnya di Yogyakarta bersama sang eyang. Namun, ketika eyang utinya meninggal dia memilih pindah ke apartemen. Bhanu bahkan nyaris tidak pernah pulang ke Jakarta, ke rumah kedua orangtuanya. Mereka biasanya akan menjenguk Bhanu beberapa kali dalam setahun namun sejak eyang uti meninggal, mereka tidak pernah datang lagi.     Mama: Angkat telpon mama, Bhanu. Mama ingin bicara sama kamu.     Bhanu hanya melihat sekilas pesan itu dan kembali mematikan layar ponselnya.     Mama: Bhanu, ayolah jangan bikin mama pusing dong, Sayang. Angkat telpon mama, ya.      Bhanu menyerah, dia memilih menelpon mamanya duluan, jika tidak seperti ini mama tidak akan berhenti mengiriminya pesan.     “Kenapa?” tanya Bhanu saat telponnya tersambung pada Hera, sang mama.     “Kenapa kamu nggak balas pesan mama dari tadi? Kamu bikin mama khawatir, Sayang,” ucap Hera. Bhanu menghela napas berat.     "Langsung keintinya aja, Bhanu lagi sibuk, Ma.” Bukannya tidak sopan, setiap mendengar suara sang mama, Bhanu merasa bersalah, selama ini Hera sudah berusaha keras membujuknya dan juga memperatikan Bhanu, namun Bhanu merasa tidak memiliki tempat untuk kembali ke rumah kedua orangtuanya. Bhanu merasa tidak layak untuk ada disana.     “Kamu pulang, kan? Kakak kamu mau nikah," ucap Hera, wanita itu terdengar menghela napas, “pulang ya, Sayang. Kita udah lama nggak kumpul keluarga,” lanjut Hera tanpa memberi Bhanu waktu untuk berbicara.     “Aku nggak bisa. Aku sibuk sama kuliahku, Ma,” ucap Bhanu berusaha bersikap tenang. Rasa sesak tiba-tiba mengelumun di dalam dadanya. Bhanu tidak ingin mengacaukan acara kakaknya. Lagian, ada atau tidak ada Bhanu di sana, tidak akan merubah apapun. Pesta pernikahan kakaknya akan tetap berjalan dan kedua orangtuanya akan sangat bahagia.     “Alasan kamu selalu itu dari dulu. kamu masih marah sama papa?” tanya Hera. Napas Bhanu tercekat. Bayangan masa lalu berputar dalam benaknya, bagaimana Winata tidak pernah menganggap Bhanu kecil sebagai anaknya, sekuat apapun Bhanu mencoba mencari perhatian Winata. Bhanu tidak berhasil. Winata selalu mengabaikannya dan sibuk dengan pekerjaan. Bahkan ketika Bhanu memilih ikut bersama eyang uti ke Yogyakarta tidak ada yang menahannya. Sejak hari itu, Bhanu percaya, dia bukan bagian dari keluarga Winata. Dia tidak pernah di harapkan ada di sana.     “Bhanu sibuk mama, maafin Bhanu,” Bhanu langsung menutup panggilannya. Rasanya masih sakit sampai sekarang, bahkan dia tidak pernah mendengar ucapan maaf dari Winata, ayahnya. Winata hanya bisa memerintah dan memerintah. Bahkan kuliah dengan jurusan arsitektur, Bhanu lakukan hanya untuk mendapat kata selamat dari ayahnya namun sampai Bhanu sudah berada di tingkat akhir, Winata tidak pernah mengucapkan kalimat itu pada Bhanu. Saat bertemupun, Winata tidak pernah menanyakan kabar Bhanu. Bhanu tidak salah bukan jika dia merasa tidak di anggap dalam keluarganya? Kadang Bhanu berpikir, kehadirannya dalam keluarga itu tidak pernah di harapkan.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD