Chapter 2

1299 Words
Vivian POV Aku turun dari mobil Abang, berjalan mendekati Melani yang sedang menggoda sekretaris milik Vance di lobi. Menyapa dan mengajaknya mengikutiku menghadiri rapat dadakan yang Abang adakan. "Selamat pagi Melani, bisa tolong temani saya mengikuti rapat? Dan Gina, Anda juga tolong ikut. Mungkin saja Vance membutuhkan bantuanmu," ujarku. Melani langsung mengangguk paham, sedangkan Gina tampak canggung di hadapanku. Meski pada akhirnya mereka berdua mengikutiku dari belakang, sambil saling lirik menyampaikan ketertarikan masing-masing. Aku diam saja, pura-pura tidak menyadari hubungan cinta di antara mereka. Memasuki ruang rapat lantai satu dan mengambil kursi di samping Vance. Melani duduk di sampingku kiriku, sedangkan Gina duduk di samping kanan Vance. Abang di kursi tengah di temani oleh Kak Sam yang berdiri di belakangnya, bertugas menyiapkan layar proyektor. Tak lama, Direktur IT dan Direktur Produksi masuk membawa serta seorang stafnya. Mengisi empat buah kursi kosong yang berada di hadapanku. Abang pun segera memulai rapat tanpa basa-basi, terlihat jelas kalau ia sangat ingin menyelesaikan secepatnya masalah kerusakan sistem keamanan salah satu hotel yang menjadi anak perusahaan kami. Hanya satu alasannya, ingin segera menemui Kak Lexie di sekolah. Jujur saja aku juga tidak sefokus Vance saat melewati rapat ini seperti Abang. Soalnya Kak Prima duduk di hadapanku, di sebelah Direktur IT. Dia sendiri sangat serius mempresentasikan kendala-kendala yang mereka hadapi waktu pergi mengecek kerusakan itu. Sama sekali tidak menyadari kehadiranku, sedangkan aku malah terlalu memperhatikan tiap gerak-geriknya. Membayangkan bagaimana rasanya membawanya pulang dan menjadikannya sebagai bagian dari keluarga kami. Walau terdengar cukup gila, tapi jujur saja. Memang seperti itulah isi pikiranku. Aku bukanlah tuan putri polos seperti yang tampak di mata Daddy, aku seorang yang ambisius dan posesif. Harus kuakui, bahwa aku seorang wanita dominan yang menyukai permainan peran dalam kehidupan percintaanku. Aku bahkan mulai membayangkan bagaimana menariknya penampilan Kak Prima dalam posisi seorang submisif. Memakai kostum yang menggoda dan menyerahkan diri seutuhnya padaku. "Ehem! Vivian, bisa tolong jelaskan berapa budget yang kalian pasang dan alasannya?" tanya Abang memecah lamunanku. Aku langsung terdiam. Kebingungan saat seluruh perhatian kini tertuju padaku, termasuk Kak Prima yang kini, telah menyadari keberadaanku. Beruntung ada Melani yang mendukungku, dia menyenggol kakiku di bawah meja, memberi kode agar aku memintanya mewakiliku. "Tentu saja, tolong jelaskan Melani," perintahku setenang mungkin. Berusaha menyembunyikan fakta bahwa aku sama sekali tidak mendengarkan isi pembicaraan mereka sedikit pun. Setelah itu rapat berakhir dengan lancar, satu per satu dari mereka meninggalkan ruang rapat mengikuti Abang yang lebih dulu keluar. Meninggalkan aku berdua dengan Melani. Namun, Vance yang berjalan paling akhir berbisik di telingaku. "Dasar pecundang. Memalukan sekali, kehilangan fokus cuma karena seorang laki-laki." Rupanya ia menyadari sikap tidak profesionalku tadi. Hal yang membuatku merasa amat malu, dihina oleh Vance yang selama ini selalu kutegur. "Vivi, kamu baik-baik saja? Tumben tidak fokus gitu? Sakit?" tanya Melani cemas, saat kami benar-benar tinggal berdua saja. Aku segera menggeleng, tersenyum menenangkannya. "Saya baik-baik saja, Melani. Terima kasih atas bantuannya tadi." "Ya sudah kalau tidak sakit, tapi sebaiknya sih kamu istirahat saja di ruang kesehatan. Kebetulan jadwalmu kosong hingga jam satu siang." Namun, Melani masih cemas. Ia memintaku untuk istirahat, sambil membaca agenda kerjaku. Kemudian kami berpisah saat keluar dari ruang rapat. Karena aku berniat pergi ke pantry dan membuat secangkir teh sebelum kembali ke ruang kerjaku. Sebenarnya bisa saja, aku menghubungi OB dan meminta dibuatkan. Hanya saja aku merasa jika hal itu masih bisa kulakukan sendiri, kenapa harus memerintah. Dan untuk ke sekian kalinya, kami kembali dipertemukan di pantry. Kak Prima lagi-lagi berpenampilan berantakan sambil meminum secangkir kopi. "Eh, Vivi. Mau buat teh?" tanyanya dengan nada bicara santai seperti biasanya. Aku langsung bernapas lega, merasa tenang karena dia tidak mendadak berubah menjadi terlalu hormat dan menjaga jarak dari ku Seperti sikap karyawan lainnya, saat tahu bahwa aku memegang posisi penting. "Iya Kak, Kak Prima kenapa telanjang d**a lagi?" balasku, sambil menyiapkan cangkir yang biasa kupakai. "Oh ... ini? Biasa, kancing gue tadi lepas. Sejak di rapat tadi sih, tapi berhasil gue akali pakai stapler. Sekarang malah copot lagi. Hehe." Kak Prima tertawa dengan polosnya, menceritakan betapa cerobohnya dirinya itu. Aku geleng-geleng kepala tidak paham kenapa bisa kemejanya selalu bermasalah. Kulirik kemeja biru muda yang entah kenapa, bisa tidak memiliki kancing satu pun. Tidak paham, kenapa tadi aku sama sekali tidak menyadarinya. "Lalu kenapa bisa lepas semua kancingnya? Kak Prima berangkat kerja dengan kemeja tanpa kancing?" Aku terheran. Kemudian kuletakkan cangkir tehku, memeriksa kemeja yang ia letakkan sembarang di atas meja pantry. "Enggak kok, tadi kancingnya lengkap. Pas turun dari lift, nyangkut ke tas orang. Terus ya copot satu. Udah gitu, abis rapat tadi gue niatnya mau jahit sendiri. Eh, malah copot semua. Nih kancingnya, udah gue kumpulin!" Kak Prima cengar-cengir, sambil memamerkan beberapa buah kancing dan alat jahit seadanya. Cuma sebuah benang dan jarum. Refleks aku langsung mengambil ketiga jenis barang itu darinya. "Biar saya jahitkan." Memutuskan untuk membantunya menjahit. Karena sepertinya laki-laki ini sangat payah dalam melakukan pekerjaan rumah tangga. Sementara aku menjahit, Kak Prima duduk di hadapanku, memperhatikan bagaimana aku memperlakukan kemejanya. "Lo jago ya. Padahal jarang lho, ada direktur yang mau-maunya jahitin kancing cowok gitu. Hebat juga bisa bertahan di posisi penting di umur segini." "Karena saya belajar dan mempersiapkan diri dari kecil," jawabku. Akhirnya kami kembali mengobrol selama setengah jam dan berpisah, kembali ke pekerjaan masing-masing. Tentu saja aku tidak diam begitu saja. Karena setelahnya, aku memerintah Melani untuk mencari tahu semua hal tentangnya. Bagaimanapun juga, akan kudapatkan hatinya sedikit demi sedikit. ∞ "Kak Prima!" panggilku, saat jam pulang kantor. Aku lalu berjalan mendekatinya. Ia sedang sibuk memeriksa keadaan motornya yang mogok. "Vivi? Ini udah malam banget, ngapain masih di jalan?" Kak Prima langsung menoleh, tersenyum menyapaku. "Baru pulang kerja, Kak. Mau saya bantu memperbaiki motornya?" tawarku, saat melihat keadaan motor Kak Prima. Beberapa kabelnya terlihat kendur dan ada beberapa yang sobek. "Lo lembur sampe jam sebelas? Dan ini sih gak usahlah, nanti gaun lo kotor. Gue tinggal aja, besok biar diderek ke bengkel," balas Kak Prima. Aku langsung berjalan kembali ke mobilku. "Tidak masalah Kak, saya bisa memperbaikinya. Kebetulan peralatannya lengkap." Untuk mengambil kotak peralatan di bagasi. Hasil latihan dari Ayah. Soalnya menurut Ayah, kemampuan mekanik juga akan berguna. Lagi pula aku juga tidak keberatan kotor-kotoran kok, pakaian kotorkan tinggal dicuci. "Serius? Tar motor gue tambah rusak gimana? Lagian juga ini udah malam banget Vi, mending lo pulang deh. Kasihan orang rumah tungguin lo!" seru Kak Prima kembali, tidak yakin dengan perkataanku. "Percaya saja ke saya, Kak. Tidak sulit kok." Sedangkan aku memilih mengabaikan keraguannya. Kutuntun ia hingga terduduk di pinggir trotoar. Setelah itu, barulah aku membongkar motornya dan memperbaiki beberapa kabel rem yang nyaris lepas dan mengganti selang bensin yang robek. Kemudian mengisi kembali tangkinya yang sudah kosong dengan minyak dari tangki mobilku. Butuh waktu sekitar setengah jam hingga selesai, tapi hasilnya memuaskan. "Sudah selesai Kak. Lain kali kalau tercium bau bensin saat menyalakan mesin, sebaiknya Kak Prima langsung bawa ke bengkel saja," jelasku, agar kejadian kali ini tidak terulang kembali. Kak Prima malah melongo dengan wajah imut. Bikin hati aku berdebar-debar terpesona. Tangannya refleks mengusap keningku yang kotor karena memperbaiki motor tadi. "Thanks ya, Vi. Nggak nyangka lo benar-benar bisa," ucapnya tulus. Kali ini aku yang melongo kaget, berada dalam jarak yang amat dekat. Aroma tubuhnya seenaknya menyeruak masuk ke indra penciumanku, seolah menggoda untuk menjatuhkan, memperlakukannya sesuai dengan hasratku. "Iya, sama-sama, Kak." Tapi aku tidak bertindak nekat seperti itu. Soalnya Daddy selalu bilang kalau wanita terhormat itu harus bersikap anggun. Aku hanya tersenyum, membalasnya dengan sikap yang manis. "Gue traktir lo makan ya, itung-itung buat ucapan makasih udah ditolong." Aku langsung menolaknya, tidak sanggup menahan diri tidak berbuat bodoh dengan menyerangnya jika terlalu lama berdekatan tengah malam seperti ini. "Lain kali saja Kak, kasihan supir saya. Dia sudah menunggu dari tadi." Menggunakan alasan yang terdengar lebih wajar. Syukurlah ... setelah itu kami bisa berpisah dengan wajar, ditambah dengan janjian makan siang bersama besok.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD