Chapter 1

980 Words
Vivian POV Seminggu setelah bekerja di kantor Ayah, aku sudah cukup terbiasa dengan pekerjaanku. Hubungan dengan tim kerjaku juga bisa dibilang cukup baik. Walaupun aku masih harus direpotkan dengan telepon curhat dari Daddy yang selalu mengeluh dijadikan objek ngidamnya Marvella dan masalah yang ditimbulkan oleh Vance. Bukan mengenai pekerjaan sih, malah sebaiknya. Cara kerja Vance sangat efektif, cepat dan memberi hasil yang memuaskan. Masalahnya adalah sudah ada empat orang karyawati yang hampir diperkosanya. Delapan orang dipaksa menemaninya kencan. Dan yang terburuk adalah mereka semua berstatus istri orang dan berumur di atas dua puluh lima tahun. Rasanya sedih setiap kali menerima laporan dari Melani, tentang kelakuan Vance. Aku tidak habis pikir, kenapa kedua adikku sama-sama liar? Egois dan seenaknya. Padahal mereka masih anak-anak. Apa yang salah dari cara para uncle mendidik mereka? Aku bahkan menghabiskan waktu makan siangku dengan memikirkan cara memperbaiki kepribadian melencengnya. Duduk sendirian di rooftop, di kursi taman yang memang sengaja disediakan sebagai tempat beristirahat. "Kenapa salad-nya nggak lo makan? Malah dimainkan gitu?" tanya sebuah suara asing. Orang itu Prima, ia duduk di kursi yang berhadapan denganku, membawa kantong plastik berisikan makan siap saji yang baru ia beli. "Mau tukar sama ayam gue?" Menawarkan padaku untuk bertukar makan siang. Aku menggeleng, tidak terlalu suka makan daging kecuali saat berburu. Selebihnya aku vegetarian. "Tidak usah, saya tidak terlalu suka dengan daging." "Oh ... diet?" balasnya, sambil memainkan smartphone miliknya. "Tidak, hanya tidak suka saja." Aku jujur kok, dengan menu latihan yang Ayah berikan, aku tidak pernah memiliki masalah dengan berat badan. Jadi ya, seumur hidup aku tidak pernah diet. "Kenapa makan sendirian di sini, Kak Prima?" Kali ini aku yang berbalik bertanya, sambil menyantap salad-ku. "Hmm ... lo juga makan sendiri. Emang bokap lo nggak temani lo makan? Lagian ngapain juga main ke kantor mulu? Gak sekolah?" Benar-benar deh! Aku tanya, Kak Prima malah berbalik bertanya panjang lebar pula, tapi herannya aku sama sekali tidak keberatan dengan hal itu. Malahan kujawab satu per satu pertanyaan dengan serius. Rasanya nyaman, menghabiskan waktu membicarakan hal-hal yang sebenarnya sepele. Mungkin karena selama ini aku tidak pernah mengenal seseorang dengan sifat sepertinya. "Hoo ... jadi lo kerja di sini juga?" Kak Prima terkaget, berekspresi dengan lucunya. "Iya, lantai empat," jawabku sambil mengelap ujung bibirnya yang penuh dengan saus, menggunakan sapu tanganku. "Hmm ... gitu, di sana emang lebih banyak ceweknya sih. Kalau gue di lantai tiga puluh." "Bagian IT?" Tidak heran penampilannya berantakan, soalnya bagian IT di perusahaan ini memang terkenal dengan penampilan yang berantakan dan hobi mereka yang aneh. Suka berbicara dengan komputer dan menginap di kantor. Makan makanan siap saji setiap saat, paling rajin lembur tanpa diminta juga. "Yap. Gue programer. Gak keliatan ya? Banyak yang bilang tampang gue kayak sales nggak capai target sih," canda Prima. Ia tertawa menampakkan lesung pipit yang amat manis. Untuk sesaat, aku seperti ingin memilikinya, mengikatnya di dekatku. Namun, segera aku tepis pemikiran bodoh itu. Kembali tersenyum sambil menyodorkan sebotol jus yang aku bawa. "Terlihat kok, dari penampilan Kakak yang berantakan." Balasku jujur, kemudian memperbaiki dasinya yang terikat berantakan. Prima meminum jusku, mengacak rambutku lembut. "Thanks Vi, lo manis deh! Gue cabut dulu ya! Chaooo!" Lalu pergi terburu-buru mengejar jam absen masuk. Sementara kakiku malah menjadi lemas. Pipiku memanas begitu saja. Untuk pertama kalinya, aku merasakan perasaan seperti ini .... Rasa sesak di d**a yang terasa amat menyenangkan. ∞ Begitu pulang ke rumah, aku langsung mencari Kak Lexie dan memeluknya erat. "Kak, kayaknya aku jatuh cinta. Gimana dong?" curhatku. Hanya di hadapan keluargaku saja, aku bisa berbicara lebih santai seperti ini. Tanpa menggunakan bahasa baku yang Ayah wajibkan. Kakak Lexie membalas pelukanku, mendengarkan ceritaku dengan sabar. Sesekali ia menimpali dengan nasihat yang terdengar bijak. "Mengertikan, Vivi. Boleh saja jika kamu ingin menyampaikan perasaan kamu ke dia, tapi ingat satu hal. Sebagai seorang wanita kamu harus menjaga sikap dan menjaga diri dengan baik. Menjaga batasan di antara kalian tetap berada pada tempat yang seharusnya." Aku mengangguk paham. "Aku mengerti, Kak Lexie, tapi ... Kak Prima itu manis sekali! Rasanya pengen aku karungin dan bawa pulang." Walaupun masih saja, aku sedikit merengek. Kak Lexie terkejut, mukanya kagetnya imut sekali. Tanpa sadar aku langsung memotretnya dan dikirim ke Abang yang masih tinggal di kantor. Lalu tertawa kecil saat membaca balasan dari Abang yang cemburu. 'Jangan monopoli Lexie!!' begitu isi pesan balasan dari Abang. Dan tepat setelah aku selesai membaca pesan itu, Kak Lexie sudah sadar dari shock-nya. "Vivi jangan kayak gitu. Jangan jadi gadis liar ya! Hiks ... Vivi tetap jadi princess kami ya?" Ugh! Wajah menangisnya pun manis. Aku berubah pikiran, ternyata aku lebih mau bawa pulang Kak Lexie daripada Kak Prima. "Iya, aku janji kok. Kak Lexie jangan nangis lagi ya," balasku sambil memeluknya kembali. Pas itu, Marvella muncul dengan wajah ngambek. Kelihatan sekali habis berantem lagi dengan Vance. "Marvella kenapa?" tanyaku, saat ia duduk di samping kami yang sedang berpelukan. "Vance sialan!! Seme denial mah gitu. Mentang-mentang humu dan tidak bakal bisa punya anak sendiri. Masa dia mau kasih nama anak aku Valensia!? Jelek banget tahu! Aneh lagi terdengarnya!!" Marvella mengeluh, menggebu-gebu. Benar dugaanku, Vance lagi alasannya. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala menghadapi si kembar liar itu. Mereka selalu saja menyampaikan rasa sayang dengan teriakan dan caci maki. Begitu jauh, malah saling merindukan. Benar-benar hubungan yang sulit dipahami. "Sabar ya, Vella." Kak Lexie elus-elus punggung Marvella, mendengarkannya mengeluh tentang sakit pinggang. "Memangnya Marvella mau kasih nama apa? Sudah hampir lahirkan?" Sedangkan aku masih tetap di posisi awalku, mengajaknya berbicara dengan baik-baik. "Feyrin Amorette. Biar kayak hubungan Jouis dan aku! Membawa kesetiaan, kepercayaan dan cinta dalam hidupnya. Manis kayak kisah cinta kami yang indah dan romantis!" Marvella menjawab dengan ngotot. Sangat memaksa dan tidak sesuai dengan fakta. Apanya yang indah dan romantis dari kisah cinta mereka yang liar, kejam dan maso!? Aku tersenyum saja, mendukung pendapatannya. Soalnya nama pilihan Marvella memang lebih indah dan bagus dari pada pilihan Vance yang aneh dan tidak jelas apa artinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD