1. Meminta izin

1025 Words
Seorang laki-laki dengan tubuh tegap mulai masuk ke dalam rumah berlantai dua, terlihat sangat kokoh dan begitu modern. Dilihat dari gaya bangunannya, juga pemilihan warna cat yang menambah kesan mewah. Ia dengan santainya menggenggam tangan seorang wanita muda dan berjalan masuk ke dalamnya. Laki-laki itu adalah Bagas. Ia melihat Nara juga Seruni yang tengah bercengkerama di ruangan tamu. Ia memilih untuk tidak peduli dan langsung saja duduk dengan santai dan diikuti oleh wanita muda tersebut pada kursi sofa yang terletak di ruang tamu. "Mama? Lihat itu!" Menunjuk ke arah Bagas yang duduk sembari menatap ke arah mereka berdua. "Papa bawa siapa ke rumah ini? Apa Mama mengenal wanita itu?" Seruni yang sedang duduk bersama Nara, kini membelai lembut puncak kepala anaknya. "Itu tamu Mama, sayang! Sekarang pergi dan main di kamar dulu ya, jangan ke mana-mana." Nara mengangguk dengan cepat. "Iya Ma, Nara ke kamar dulu ya kalau begitu," ucap Nara. Ia mulai beranjak bangun dari tempat duduknya dan berjalan pergi meninggalkan Seruni, Bagas, dan wanita muda tersebut. Seperginya Nara dari ruangan tamu, kini Seruni menatap santai Bagas dan juga wanita muda itu. Ia tidak ingin terpancing begitu saja, sebelum mengetahui ada apa ini sebenarnya, dan kenapa terlihat sangat mesra sekali. "Hay, Mbak!" sapa Seruni dengan senyum lebar, dan tatapannya jatuh ke arah wanita tersebut. "Kenapa kamu terlihat begitu dekat dengan suami saya? Apa kamu jalang? Ups, sorry." Sejatinya tidak ada wanita yang rela melihat suaminya dekat dengan wanita lain, apalagi terlihat sangat intens seperti ini. Plak! Wanita itu langsung saja menampar keras pipi Seruni. Ia tidak terima dijuluki sebagai jalang, sedangkan faktanya sangat berbeda jauh. Bagas terkesiap dengan Marni--wanita muda yang menampar kuat pipi dari Seruni. "Marni! Kamu ini apa-apaan sih? Saya bawa kamu ke tempat ini untuk saling mengenal, dan berharap bisa akrab dengan Seruni. Bukan untuk menamparnya seperti itu!" bentak Bagas dengan suara yang mulai naik satu oktaf. Seruni berdecak remeh. "Oh, ternyata mau ada sesi mengenalkan jalang kamu ini, Mas Bagas?" tanya Seruni dengan santai dan juga kedua tangan terlipat di depan d**a. Tatapan matanya sangat tajam dan begitu mengintimidasi. Marni mengerucutkan bibirnya kala mendapati bentakan dari Bagas. Kembali duduk di atas sofa, dengan tangan terlipat dan mulai merajuk, berharap agar bisa dibujuk secepatnya. Namun, sayang sekali angan itu terlalu berlebihan. Seruni kini menunjuk dengan jarinya ke arah Marni yang tengah mengerucutkan bibir ke depan. "Heh jalang, bangun kamu! Saya tidak menyukai jika kamu duduk di kursi saya ini!" tekan Seruni dengan tatapan tajam. Bagas yang mendengar kalimat tidak sopan keluar terus menerus dari bibir Seruni, dengan cepat ia menegurnya. "Seruni! Jaga ucapan kamu!" "Dia itu bukan jalang, seperti yang kamu ucapkan dari tadi!" Seruni berdecak keras. "Oh iya? Jika saya harus menjaga ucapan, lalu kenapa kamu tidak bisa sama sekali menjaga perasaan, Mas Bagas?" tanya Seruni dengan pandangan remeh. Seruni bukanlah wanita bodoh. Ia bisa membuat orang takluk dengan ucapannya, Bagas contoh kecilnya yang langsung mati kutu dan terlihat mulai mencari pembelaan untuk membenarkan tindakannya tersebut. "Diam kamu, Seruni! Saya pulang untuk mengenalkan calon istri muda, dan lagi pula ... apa ada perbuatan yang salah untuk memiliki istri lagi?" tanya Bagas dengan percaya diri penuh. Seruni diam untuk bisa mendengarkan ucapan apa yang selanjutnya akan Bagas bicarakan kali ini, ia tidak berminat untuk menjawab pernyataan lelaki yang selalu memikirkan tentang hawa nafsunya saja. Bagas merasa bingung dengan Seruni yang diam tak berkutik sama sekali, bahkan pada wajahnya tidak ditemukan raut kesedihan. Jika kebanyakan wanita pada umumnya akan menangis, berteriak histeris, dan melakukan hal konyol lainnya, tapi ini lain. "Kamu kenapa tidak menjawab iya atau pun tidak sama sekali, apa itu bisa saya anggap artinya dengan ... setuju?" tanya Bagas dengan ragu-ragu. Seruni memilih bergeming dengan mata yang menatap lurus ke depan. Ia masih duduk di atas kursi, hanya saja terasa malas menanggapi ucapan dari Bagas yang menurutnya seperti orang yang tengah bercanda. Selang beberapa menit kemudian, Seruni tertawa keras dan tatapan matanya mengintimidasi Bagas. Marni yang melihatnya seperti itu, merasa heran. Marni mendekat pada Bagas untuk kemudian berucap, "Apa istrimu ... gila? Kenapa dia sama sekali tidak menampilkan raut wajah sedih atau apa gitu, ini malah ketawa gak jelas seperti orang gila saja." Bagas menengok ke samping dan menatap tajam Marni yang saat ini duduk tepat di sampingnya. "Jaga ucapan kamu!" tegas Bagas yang langsung membuat Marni terdiam. Seruni masih tertawa jelas. Beranjak dari tempat duduknya, dan melangkah untuk pergi menjauh dari hadapan Bagas juga Marni. "Mau ke mana kamu, Seruni? Saya sedang bertanya dan kamu tidak ada jawaban sama sekali," sentak Bagas yang menghentikan langkah kaki Seruni untuk diam di tempat. Tanpa membalikkan badan, Seruni kini berdecak remeh dan mulai melontarkan ucapan. "Tolong jelaskan pada saya, apa ada yang perlu dijawab atas pertanyaan yang diucapkan kamu tadi?" Seruni kini mulai meninggalkan Bagas dan Marni. Langkah kakinya sangat santai, seperti tidak pernah terjadi sesuatu sebelumnya. Ia pergi menuju ke dalam bilik dan enggan untuk bersikap baik pada Bagas juga Marni. Seruni melangkah untuk masuk ke dalam kamar. Ia mendorong meja rias di depan pintu, agar nanti tidak ada yang bisa membukanya dari luar. Ia mulai menumpahkan air mata, ternyata pura-pura kuat juga butuh keahlian dan itu hal yang sangat melelahkan. Nara tidak benar-benar masuk ke dalam kamar, melainkan ia bersembunyi di salah satu tempat dan bisa mendengar semua ucapan yang terlontar dari bibir Seruni, Bagas, dan juga Marni--wanita yang tak ia kenali sama sekali. Nara menghampiri Bagas yang tengah bermesraan dengan Marni. "Ayah! Ayah, kenapa bisa berbuat sejahat ini sama, Mama?" tanya Nara dengan mata yang mulai menangis. Bagas bangkit menghampiri Nara yang tengah menggelengkan kepalanya. "Sayang! Ayah gak jahat kok, bahkan baik loh ini. Liat deh, Ayah bawain Mama kedua buat kamu, jadi jangan bilang seperti itu lagi, ya?" bujuk Bagas dengan kedua tangan memegang pundak Nara. "Apa Ayah gila? Nara tidak butuh dia sama sekali, Nara hanya ingin keluarga kita utuh tanpa hadirnya orang lain!" teriak Nara dengan tangan yang mulai menepis cengkeraman Bagas dari pundaknya. Bagas menatap anaknya dengan ekspresi sedikit tercengang. "Bukankah Ayah sangat berbaik hati pada kamu, Nak? Kenapa kamu berkata hal seperti itu?" Meskipun masih kecil, tatapan Nara tidak bisa diremehkan. Karena terlihat sangat tajam dan mengerikan. "Apa Ayah merasa tindakan ini benar dilakukan?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD