2. Menyakitkan

1025 Words
"Mama kemana yah sekarang?" tanya Nara dalam hati. Ia mulai melangkah dan berniat untuk menuju ke kamar Seruni, karena ingin bercerita tentang apa yang ia lihat barusan itu. Nara melangkah dengan sangat cepat. Kebetulan posisinya tadi tidak jauh dari tempat tujuan, dan ia mulai menggedor pintu tersebut cukup kuat dan berulang. Nara memanggil Seruni berulang. Ia terus menerus mengetuk pintu kayu dengan ukiran tumbuhan itu, tetapi tak kunjung mendapatkan respon apa pun dari dalam kamar. Nara tidak berhenti begitu saja, ia masih berdiri di depan pintu kamar, seraya tangan yang masih mengetuk pintu kayu tersebut. "Ma, Mama! Ini Nara, Ma!" "Ma tolong buka!" Nara terus menerus mengetuk pintu itu dengan keras. Ia tak henti untuk memanggil Seruni, dan dalam waktu yang cukup lama akhirnya terlihat knop yang mulai bergerak hingga perlahan pintu nampak terbuka. Nara langsung saja menubruk tubuh Seruni untuk memeluknya. Mengeratkan tangannya karena rasa takut tadi menyelimuti hatinya saat pintu yang tak kunjung membuka. "Ada apa sayang?" tanya Seruni dengan suara yang lembut dan juga senyum tipis terhias pada bibirnya. Membelai lembut punggung Nara yang tengah terisak dalam pelukannya tersebut. "Sayang, kamu kenapa? Kok malah nangis seperti ini?" Nara mendongakkan wajah untuk melihat ke arah Seruni yang tengah mengerutkan keningnya dan merasa sangat heran. "Mama kenapa lama sekali untuk membuka pintunya?" "Mama tadi habis dari kamar mandi. Ada apa sayang, dan kenapa ini menangis?" "Apa Mama tidak merasa sakit hati?" tanya Nara dengan air mata yang mulai berjatuhan. Seruni menggelengkan kepalanya, dan berusaha untuk tetap terlihat baik-baik saja. Ia menghapus air mata yang jatuh pada pipi Nara, untuk kemudian ia tersenyum tipis. "Sayang, kenapa Mama harus sakit hati? Emang hal apa yang bisa buat Mama seperti itu, hmm?" tanya Seruni dengan membelai puncak kepala Nara penuh kasih sayang. "Apa Mama tidak tau? Wanita itu Mama baru untuk Nara, dan itu keluar dari mulut Papa sendiri," terang Nara dengan air mata yang terus keluar. Nara menggelengkan kepalanya. Ia merasa Seruni hanya tengah berakting kuat dan sepertinya memang sudah tau juga hal yang terjadi saat ini. Namun, ia juga tidak habis pikir, kenapa masih bisa seceria ini? Apa memang sama sekali tidak merasa sedih? "Lalu kenapa jika itu adalah calon istri baru dari Papa kamu, Nak? Mama ikhlas kok," ucap Seruni datar. "Apa Mama berbicara yang sesungguhnya?" tanya Nara dengan mata yang menatap Seruni begitu intens, ia berniat untuk mencari jawaban di dalam sana. Karena banyak orang bilang, apa yang ada di hati bisa tergambar jelas oleh sorot matanya dan ia berusaha untuk membuktikan perkataan itu. Seruni yang ditatap begitu intens oleh Nara, hanya bisa menganggukkan kepalanya dengan salah satu tangan yang terkepal kuat di samping, karena telah berbohong saat ini. "Maafkan Mama, Nak! Mama hanya ingin kalian semua mengetahui baik-baik saja, meskipun pada faktanya tidak seperti itu." Seruni menatap Nara lalu tersenyum tipis, dan sedetik kemudian ia kembali menarik tubuh untuk bisa memeluk tubuh mungil yang ada di hadapannya. "Sekarang kamu pergi ke kamar yah, terus istirahat." "Okey, Mama." *** Waktu terus bergulir maju. Detik berganti jadi menit, hari menjadi minggu, dan bulan pun berganti tahun. Selama itu banyak sekali perubahan, dan yang pasti keadaan tidak lagi seharmonis dulu untuk Nara juga Seruni. Bagas bahkan sudah menikahi Marni, dan sangat dimanja hingga melupakan Seruni--istri pertamanya. Seruni selalu bersikap baik pada Bagas juga Marni. Ia selalu tersenyum ceria, dan seolah ikhlas dengan keadaan yang ada. "Ma ... jujur sama Nara, apa Mama beneran ikhlas melihat Ayah yang sangat tidak adil seperti itu?" tanya Nara di suatu hari saat ia tengah memasak makanan kesukaannya dan juga Bagas. Seruni menatap Nara yang tengah menantikan satu jawaban keluar dari mulutnya. "Mama insyallah ikhlas! Jika itu yang bisa membuat Ayah kamu bahagia, Mama juga ikut bahagia," ucap Seruni mantap. "Bukankah selama ini kamu tidak melihat Mama bersedih bukan?" Seruni melontarkan pertanyaan pada Nara yang menjawabnya dengan gelengan pada kepala. Seruni tetap berusaha baik-baik saja, dan itu bertujuan untuk membuat Bagas bahagia dengan pilihannya. Tapi semakin hari bertambah, tidak ada perlakuan yang adil, semuanya berubah total. Pernikahan yang selama ini harmonis, seolah menjadi neraka kedua untuknya. Seruni tersenyum di hadapan semua orang yang duduk di atas meja makan, ia ingin mereka semua melihatnya baik-baik saja, hingga tidak ada yang tau sama sekali seberapa terlukanya saat ini. Waktu makan siang pun tiba, Seruni tidak berminat untuk makan. Ia hanya menyiapkan semuanya, dan setelah beres ingin segera pergi menuju kamar. Nara yang melihat Seruni hendak pergi, segera mencegahnya. "Mama kenapa gak makan?" tanya Nara pada Seruni. Seruni menjawabnya dengan sebuah gelengan juga senyum yang terhias pada wajahnya. Bagas kini menengok ke arah Nara dan berlanjut ke arah Seruni. "Makan Seruni, nanti kamu akan sakit!" "Hmm, aku gak akan sakit kok, tenang saja! Makan yang nyaman, dan hiduplah dengan bahagia nanti," ucap Seruni lirih dengan kepala yang tertunduk. Bagas, Marni, juga Nara sangat menikmati makanan yang dimasak oleh Seruni. Mereka sangat lahap, dan menghabiskan semuanya hingga bersih tak tersisa sama sekali. Seruni kini mulai masuk ke dalam kamarnya, dengan langkah kaki malas. Menutup pintu dan ia duduk tepat di depan meja riasnya yang tersimpan banyak sekali kosmetik juga obat di sana, tersusun begitu rapi. Seruni menatap pantulan dirinya sendiri di depan cermin besar pada meja riasnya, dan senyum yang menghiasi wajahnya. Buliran bening jatuh begitu saja, dan ia mulai menangis dalam diam, tanpa isakan sama sekali. Seruni mengeluarkan botol kecil yang ia rogoh di dalam kantong bajunya, menatap pantulan diri di depan cermin tersebut dan mengedarkan pandangan ke seluruh kamar, bersih dan rapi. Ia sudah merapikan semuanya dengan baik, kini saatnya tertidur lama dengan penuh ketenangan. "Saya baik-baik saja, sungguh!" "Saya ... berusaha ikhlas akan semua hal yang telah terjadi, tapi semakin lama perasaan itu ditahan, saya seperti wanita bodoh di sini." "Nyatanya saya hancur, berantakan, kacau, dan bahkan tidak baik-baik saja. Semua yang tertampil hanya sandiwara yang saya lakukan mati-matian." Seruni terkekeh pelan dan menarik tangannya untuk menghapus jejak air mata, dan sedetik kemudian ia membuka tutup botol kecil itu yang ada di tangannya untuk kemudian menenggak hingga habis. Seruni berusaha untuk tersenyum. "Kalian semua ... sangat baik, akan tetapi ini semua terlalu menyakitkan rasanya dan saya tidak begitu kuat menanggung sendirian." Matanya mulai terpejam perlahan dengan cairan bening yang kembali tumpah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD