20 menit berlalu, Seruni kemudian jatuh ke lantai dengan tubuh yang mengejang setelah minum satu botol kecil racun. Ia sempat membelinya di pasar waktu tengah belanja bulanan.
Mulut Seruni mengeluarkan busa yang sangat banyak, dan kondisi di kamar sangat sepi hanya ada dirinya seorang. Pintu sengaja ia tutup agar orang di luar hanya mengetahui jika dirinya tengah tertidur.
Seruni terjatuh di atas lantai keramik yang dingin, matanya terpejam, dan semakin lama tubuhnya tidak berdaya. Kursi yang ia duduki tadi terjatuh di belakangnya, dan kosmetik yang awalnya tersusun rapi pada meja kini berantakan.
Selepas makan siang, Nara menghampiri kamar Seruni karena mendadak perasaannya gelisah, dan yang ia ingin secepatnya bercerita pada Seruni.
Nara mengetuk pintu kamar dari Seruni dan memanggil namanya. "Ma, Mama!" teriak Nara dari luar kamar.
"Mama ada di dalam 'kan?"
Nara diam dan menunggu lama di depan kamar Seruni. Ia mulai membuka knop pintu tersebut, dan masuk untuk melihat tubuh mamanya yang jatuh di atas lantai.
"Mama!" teriak Nara. Ia berlari untuk mendekati Seruni yang terjatuh di atas lantai, melihat seisi kamar yang biasanya selalu rapi sekarang menjadi berantakan.
"Mama kenapa lakuin ini? Nara sayang sama Mama, apa gak cukup?"
"Sekarang Mama bertahan yah, di rumah ini tak ada orang siapa pun. Hanya ada Nara dan Mama, Ayah pergi bersama wanita sialan itu!" Nara menangisi keadaan Seruni yang semakin lemas dan tak berdaya itu. "Mama tunggu di sini, Nara mau minta bantuan dulu."
Nara kemudian memutuskan untuk menelpon ambulan agar cepat ke rumahnya, dan meminta bantuan para tetangga sekitar.
Tubuh Seruni kini sudah masuk ke dalam mobil ambulance, dan bersiap untuk dibawa ke rumah sakit. Nara ikut masuk ke dalam kendaraan tersebut, dan menangis sepanjang perjalanan.
Mobil ambulance berhenti tepat di depan rumah sakit, dan Seruni segera dibawa ke ruangan UGD. Nara menangis dengan langkah kaki yang cepat mengikuti kemana mamanya dibawa.
"Mama bertahan ya! Nara masih butuh Mama!"
Sesampainya di ruang UGD, Nara hendak menerobos masuk ke dalam, tetapi dilarang oleh para perawat agar menunggu di luar saja, dan fokus untuk berdoa.
Nara menangkupkan kedua tangannya. Matanya mulai terpejam, dan mulut tak henti untuk merapalkan doa agar Seruni bisa selamat, ia tidak cukup kuat untuk hidup sendiri dengan ibu tiri yang terlihat jahat.
Beberapa menit ia menunggu di luar dengan jantung yang berdebar kencang, akhirnya pintu ruangan itu terbuka dan menampilkan sosok dokter yang berjalan menuju padanya.
"Dok gimana keadaan Mama saya? Mama pasti baik-baik saja 'kan dokter? Tolong katakan pada saya dokter, Mama saya baik 'kan?" tanya Nara pada dokter itu dengan perasaan yang sangat cemas dan air mata tak henti untuk berjatuhan.
Dokter yang ada di hadapan Nara saat ini, mengulurkan tangan untuk memberikan satu tepukan ringan pada bahunya. "Maaf sekali, Nak! Mama kamu sudah meninggal dunia, karena efek dari racun itu terlalu kuat."
Nara jatuh ke bawah dan kembali terisak. Seseorang tolong katakan padanya jika ini adalah mimpi buruk. Semua ini tidak mungkin terjadi, karena selama ini ia tau Seruni baik-baik saja, dan seolah tak ada masalah sama sekali, bagaimana ini bisa terjadi?
[Ayah ... Mama meninggal!] Nara menelpon Bagas dengan suara lirih dan hati yang tengah menahan rasa sesak.
Bagas yang tengah berada di kantornya, mendadak diam membisu ketika mendapatkan kabar tak terduga seperti ini. Beberapa saat kemudian, ia tertawa dan menggelengkan kepala untuk meyakinkan diri jika ini adalah bahan candaan saja.
[Nara! Kamu itu gak boleh bercanda seperti itu, kelewatan sekali!] bentak Bagas yang terdengar tidak suka dengan kabar tersebut.
Nara menangis di telepon, dengan isakan kuat. [Buat apa Nara bohong, Ayah? Buat apa? Mama meminum racun dan sekarang meninggal dunia!]
Deg!
Bagas memutuskan untuk segera pulang ke rumah, untuk memastikan kebenaran dari kabar yang disampaikan oleh Nara.
Bagas masuk ke dalam rumah yang suasanannya kali ini lebih ramai dari biasanya, bendera kuning pun bahkan sudah berkibar di teras rumah. Ia berlari masuk ke dalam untuk memastikan jika semua ini adalah mimpi, tidak benar-benar nyata. Namun, ia menghentikan langkah saat di tengah orang yang tengah mengaji, ada tubuh yang terbujur kaku dan ditutupi oleh kain batik dan Nara yang memeluk sembari terisak.
"Nara ... kamu meluk siapa?" tanya Bagas dengan suara lirih. Matanya mulai berkaca-kaca dan mendadak tubuhnya kini jatuh ke bawah, rasanya tidak kuat untuk melangkah.
Nara menengok ke arah Bagas. "Ini Mama, yah! Mama sudah pergi meninggalkan kita dan itu semua ... pasti karena egoisnya Ayah!" sarkas Nara dan kini memalingkan muka.
"Mama kamu baik-baik saja, jangan ngarang kamu! Dia baik dan bagaimana bisa meninggal?"
"Mama ... minum racun, Ayah! Mama meminum racun itu!" Nara kembali memeluk tubuh Seruni yang sudah terbujur kaku. Ia hanya bisa menangis dan menangis karena cukup berat menerima kenyataan ini.
Bagas terdiam dan menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong. "Racun? Egoisnya aku?"
***
Tiga bulan berlalu setelah kematian dari Seruni, Bagas lebih banyak diam dan termenung. Ia merasa sepi dan sunyi tanpa sambutan senyum menenangkan yang biasa ia lihat di setiap pulang kerjanya, dan juga masakan lezat yang biasa terhidang di atas meja makan.
Bagas bahkan tidak fokus untuk mengurus semua bisnisnya hingga berakhir dengan kebangkrutan yang dialami pada perusahaannya.
"Kamu ini apa-apan sih, Mas Bagas? Kenapa bisa kita jadi bangkrut seperti ini?" Marni tengah membentak Bagas saat berada di ruang tamu.
Bagas yang baru saja menyelesaikan urusan di luar rumah, mendapatkan sambutan tidak menyenangkan dari Marni semakin merasa stres. Beberapa hari kemudian jatuh sakit, dan mengalami kelumpuhan total karena sarafnya yang tidak bisa berfungsi dengan baik.
Nara terguncang hebat saat mengetahui Bagas jatuh sakit dan saat mendengar mereka kini mulai bangkrut.
"Kekacauan ini karena ulah wanita sialan itu! Keluarga Nara hancur seperti ini, karena dia yang masuk ke dalam rumah ini." Nara mengepalkan tangannya kuat-kuat.
Nara berjalan menuju dapur, untuk mengambilkan air minum karena Bagas memintanya. Melihat Marni yang tengah memasak menarik perhatiannya, dan mendengar suara ocehan yang keluar dari bibir itu membuatnya mengepalkan tangan ke samping.
"Harusnya sih saya tuh hidup bahagia, kenapa sekarang malah menderita sih? Perusahaan itu bangkrut, ngurus suami yang kini berpenyakitan, menjijikkan sekali," oceh Marni saat ia berada di dapur dan tengah berusaha untuk memasak.
Nara yang kebetulan melintas dan mendengar ocehan itu, mendadak ikut berucap, "Semua ini bisa terjadi karena hadirnya lo ke dalam keluarga ini, dasar wanita pembawa sial!"
"Coba ulang sekali lagi?" perintah Marni, dengan tegasnya.
Nara berdecak remeh. "Lah, lo punya telinga gak tuli, kan?"