Bab 9 - Jovanka Bertemu Cinta Pertamanya

1462 Words
Keesokan harinya setelah pulang kerja. Jovanka merasa frustasi pada sesuatu. Lebih tepatnya nomor Nuke yang dia ingat, tak kunjung bisa dihubungi. Jovanka telah terbebas dari Calvin. Inginnya mencari pria itu, tetapi gagal terus. “Aku tidak tahu sampai kapan aku di sini, tapi aku ingin mencari kebahagiaanku dengan melakukan semua yang belum pernah kulakukan. Ya, benar! Aku harus melakukan segala yang tak bisa kulakukan saat bersama Calvin.” Jovanka kembali ke rumahnya untuk berganti pakaian. Dia melihat Earl, tapi wanita itu mengabaikannya. Dia bukan sahabatku, aku tak perlu terlalu baik padanya. “Ayana!” panggil Earl. “Aku sibuk!” “Mmh?” Earl tersenyum heran. “Mau ke mana lagi?” sambungnya. “Bukan urusanmu!” Earl menghela nafas mendengar jawaban sahabatnya itu. “Apa kau ingin bertemu si dispenser itu?” tanyanya dengan nada sedikit tinggi karena Jovanka sedang berada dalam kamarnya. “Spencer, bukan dispenser!” Earl tertawa tanpa suara. “Oh, maaf! Jadi, kau memang mau bertemu dengannya?” “Tidak! Aku ingin pergi jalan-jalan tanpa siapa pun!” “Kau bisa tersesat!” “Ada polisi yang bisa mengantarku kembali ke sini.” “Aaah, semoga benar mereka mengembalikanmu utuh. Aku takut mereka memintamu melayaninya sebelum pulang,” sahut Earl. Jovanka keluar dengan pakaian casualnya dan tas selempang. Rambutnya dibiarkan tergerai. “Aku akan menendang mister pi-nya jika mereka berani melakukan itu!” jawabnya. “Haha, baiklah, andai aku bisa ikut, aku juga bisa ajak kau ke tempat bagus di sini.” “Tidak hari ini.” “Oke!” Earl tidak bisa menghalangi keinginan hatinya yang keras. Tak seperti Ayana yang selalu mendengarkan nasehat dan mempertimbangkan sesuatu dari sahabatnya. Jovanka memutuskan untuk pergi ke sebuah bar! Selama hidupnya, dia tidak pernah ke tempat itu. Rasanya malu jika harus mengakui pada Earl bahwa dirinya belum pernah ke tempat yang nyaris semua orang pernah merasakannya. Jovanka awalnya merasa terganggu pada suara dan kilatan cahaya yang membuatnya pusing. Jovanka terpaksa bersandar sementara waktu di depan meja bar, berusaha menjaga sikap agar tidak ketahuan kalau dirinya baru sekali ke tempat seperti ini. Bartender tetap bisa membaca gelagat itu dari gerakan tubuh Jovanka. Pria itu menyapanya sebagai bentuk keramahan pada konsumen. “Apa kabar?” tanyanya. “Baik,” jawabnya tersenyum tipis. “Kau mau minum?” Jovanka berpikir, dia bahkan tidak tahu jenis minuman apa yang kadar alkoholnya rendah. Jovanka terdiam dan bartender itu membiarkannya dulu selama beberapa menit. Wanita itu pun menggunakan ponselnya untuk mencari informasi. Begitu dia mendapatkannya, panggilan Jovanka kalah pada suara seorang pria yang tiba-tiba duduk di sampingnya dan memesan minuman. "Berikan aku satu minuman yang termahal,” katanya. Jovanka menoleh dan terkejut saat melihat pria itu. Bagaimana tidak? Selama hampir seminggu dia terdampar di Paris dan berusaha menghubungi Nuke, tapi tidak diangkat-angkat. Sekarang, di sampingnya, pria itu duduk menunggu pesanannya. Jovanka terpaku, bibirnya malah kelu ingin memanggil namanya. Perlahan tatapan Jovanka membuat Nuke menyadari kalau dirinya sedang diawasi. “Hai!” ucapnya pada Jovanka. “Hai!” sapanya balik dengan sangat kaku. Nuke tersenyum padanya. Senyum terbaik yang selama ini menjadi teman terbaik Jovanka untuk semangat diri ketika runtuh. Senyuman ini yang selalu dirindukan Jovanka dari Nuke saat bertemu. Pria itu mengerutkan kening, merasa heran pada wanita yang menatapnya tanpa kedip. “Kau terpesona padaku?” tanyanya. “Hah?” Jovanka menjadi terbodoh. Perlahan dia tertawa tipis, tidak bisa menjawabnya. Entah lah, hatinya terasa bingung kala bertemu langsung. “Ini minumannya, Pak!” ucap bartender itu. “Terima kasih!” sahut Nuke. “Nona, kau jadi pesan minuman?” tanya si bartender. “Mmh-“ Jovanka ragu, dia tidak tahu minuman yang baik untuknya. “Kau ingin minuman seperti yang kuminum?” tanya Nuke. Jovanka merasa bingung, Nuke sepertinya tidak mengenal dirinya. Dari caranya berbicara dan menatap, layaknya pada wanita asing. “Apa itu membuatmu sangat mabuk?” tanya Jovanka. “Haha, kau mau yang lebih ringan?” “Ya, sepertinya,” sahut Jovanka. Nuke tertawa riang. Meminta bartender itu memberikannya varian lain yang kadar alkoholnya rendah. “Namaku Nuke!” pria itu memberikan tangan kanannya untuk berjabatan. Dugaan Jovanka benar, dia tidak mengenal dirinya sama sekali. Jovanka menyambut salaman itu dan membalas perkenalannya. “Aku Ayana.” “Wah, nama yang bagus!” “Terima kasih.” “Kau asli sini?” “Ya, mama dan papaku orang Paris. Haha,” jawabnya dengan tawa renyah. Dirinya baru saja menggunakan identitas asli si pemilik tubuh hanya karena ingin mencari tahu alasan Nuke tidak mengenalnya. Padahal wajah Ayana dan dirinya sangatlah mirip. Bartender kembali lagi dan membawakan minuman untuk Jovanka. “Terima kasih!" ucap Jovanka. “Masukkan ke tagihanku saja!” kata Nuke. “Oke, Pak!” Nuke mengajaknya pergi dari meja bar, Jovanka mengikutinya. Dia tidak mau kehilangan pria yang sudah dicarinya selama beberapa hari ini. Nuke membawanya menemui teman-teman di meja yang telah mereka tempati lebih dulu. “Hai, semua!” sapa Nuke pada teman-temannya. “Eh, datang juga kau ya! aku kira kau tidak berani datang.” “Haha, mana mungkin! Aku cuman sedikit sibuk! Oya, kenalkan namanya Ayana,” ucap Nuke memperkenalkan Jovanka pada teman-temannya. Wanita itu hanya tersenyum saja, tidak berniat berjabatan dengan mereka meski beberapa tangan sudah mengarah padanya. Nuke tertawa melihat situasi itu dan meminta Jovanka duduk di sampingnya. “Kekasih baru?” tanya temannya Nuke. “Haha, bukan, kami bertemu sekitar 4 menit yang lalu,” jawabnya. Jovanka hanya melihat ke arah teman-temannya. Dia belum pernah melihat mereka sebelumnya. Jelas, karena sekarang dia sedang berada di Paris. Dulu saat berpacaran dengan Nuke, mereka di Italia. “Hai, Nona!” sapa seseorang pada Jovanka. “Ya?” sahutnya dengan ekspresi datar. “Kau salah pria jika mendekati Nuke!” sindirnya nakal. “Haha.” Jovanka tertawa bingung. “Kenapa? Apa salah kalau aku mendekatinya?” tanyanya. Mereka saling bertatapan dan akhirnya tahu kalau wanita itu memang punya ketertarikan pada Nuke. “Menurutku salah! Tapi, jika menurutmu benar, ya silakan!” Jovanka tersenyum lebar. “Aku rasa dia baik!” ujarnya. “Hahaha, oke, aku tidak akan ikut campur lagi dengan kedekatan kalian.” Nuka tersenyum kecut dan menatap Jovanka dengan pandangan penasaran. Akhirnya setelah meneguk segelas minuman tadi, Nuke mengajaknya berdansa. Jovanka juga menghabiskan minumannya baru mengikuti Nuke. Dia baru tahu kalau rasanya minuman keras itu sangat menyakitkan di leher, tapi akhirnya terasa sangat manis. Jovanka dibawa ke tengah-tengah lantai dansa dan menikmati alunan musik yang memiliki ritme cepat, membuat jantung bekerja lebih cepat dan telinga tak lagi bekerja normal. Tubuh harus mengikuti dan dipaksa beradaptasi pada tempat yang ekstrim ini. Nuka merapatkan tubuh Jovanka dan mereka saling bertatapan. “Kau cantik!” rayunya. Jovanka tersenyum membalas rayuannya. “Kau berasal dari sini?” tanyanya. “Tidak, aku dari Italia!” “Ah, jadi kemari dalam hal apa?” tanya Jovanka berusaha menggali informasi lebih. “Mengurus bisnis dan mengurus masalah pribadi.” “Oh, kekasih?” tanya Jovanka. “Haha, aku belum pernah menemui wanita secantik dirimu. Rasanya aku tidak ingin membicarakan wanita lain,” ujarnya dengan berani. Jovanka tidak tahu kalau Nuke bisa bersikap seperti ini pada seorang wanita. “Kau seorang penggoda!” bisiknya. Nuke tertawa cekikikan. “Kau salah! Aku hanya berusaha jadi seperti itu demi sesuatu,” sahutnya. “Oya? Demi apa?” Nuke tersenyum. “Bersabarlah, kita baru ketemu dan masih ada hari esok untuk bertukar cerita. Itu pun kalau kau tidak punya kekasih, jika ada, aku tidak berani mendekatimu lagi,” jawabnya. “Aku jomblo!” jawab Jovanka cepat agar tidak kehilangan pria ini. Nuke tersenyum dan mendekatkan wajahnya pada Jovanka, perlahan bibirnya mendarat tepat di atas bibir wanita itu dengan lembut. Jovanka yang sudah sangat merindukannya langsung menyambut ciuman hangat tersebut dan membuat Nuke harus melepasnya secara paksa. Nuke tidak menyangka kalau wanita yang ada di hadapannya sangatlah panas! “Bisa kita berteman?” tanyanya. Jovanka mengangguk. “Ya, berikan aku nomormu.” Nuke langsung mengeluarkan ponselnya dan meminta nomor Jovanka. Saat pria itu memanggilnya, Jovanka baru sadar ternyata nomornya telah berganti. Pantas saja dia tidak bisa lagi dihubungi. “Oke, sudah masuk.” “Aku akan menghubungimu saat waktu luang. Pastikan kau meluangkan waktu untukku,” ujar Nuke. “Pasti.” Jovanka tersenyum padanya. “Pulanglah, sudah malam. Aku ada urusan dengan teman-temanku dan aku tak ingin melihatmu di sini sendirian. Mereka belum tentu baik denganmu.” “Ya, Nuke!” sahutnya. Pria itu melambaikan tangan padanya dan Jovanka merasa sangat bahagia. Sampai bayangan Nuke tak lagi terlihat karena tertutupi tubuh pengunjung bar yang ramai. Jovanka pergi dari tempat itu dengan perasaan bahagia. Walau Nuke tak mengenalnya sebagai Jovanka, setidaknya dia bisa gunakan identitas Ayana untuk mendekati Nuke lagi dan mencari tahu mengenai perasaannya pada Jovanka. Wanita itu terus dibalut senyuman kegembiraan, bahkan tangisan bahagia juga ikut mengalir saat dirinya duduk di dalam taksi, jalan menuju pulang ke rumah Ayana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD