Bab 8 - Menyadarkan Calvin

1424 Words
Ketika Calvin rapat bersama sahabatnya, pandangannya melayang ke arah istrinya. Teringat dengan beberapa sikap Jovanka yang dirasa berbeda. Calvin mengarahkan ujung penanya ke mulut, menggigitnya sesekali. “Calvin,” panggil sahabatnya, tapi dia tidak mendengarnya. Akhirnya pria itu berdeham kuat sampai membangunkan Calvin dari khayalan. “Sampai di mana tadi?” tanya Calvin. “Tidak ke mana-mana, hanya di sini saja dengan hayalanmu,” jawab Jake dan membuat Calvin tersenyum. “Apa yang sedang kau pikirkan?” tanya Jake. “Istriku.” “Bukankah dia sudah kembali ke rumah?” tanya Jake lagi. “Ya, tapi dengan jiwa berbeda.” “Maksudmu?” “Dia seperti bukan istriku, tapi orang lain.” “Haha, bercanda. Mana mungkin tubuh istrimu ditempati oleh orang lain?” cetus Jake. “Entah lah, dia bilang kalau dirinya belum menikah, dia adalah Ayana bukan Jovanka dan sikapnya lebih hangat, ceria serta suka tersenyum,” jawab Calvin menyimpulkan bibirnya. Jake tertawa renyah. “Dia amnesia?” Calvin mengangguk. “Wajar lah kalau dia berlakon seperti bukan dirinya, tapi ada sisi baiknya juga kan? wanita dingin itu kini sudah lumer.” “Ya, benar! Andai kehangatannya bisa kurasakan langsung, mungkin itu jauh lebih baik.” “Hai, Mr. Calvin! Kau bisa menyusun rencana untuk membuatnya jatuh cinta padamu. Aku sudah mengatakan ini ribuan kali dan ribuan kali pula kau tidak pernah mau melakukannya.” Calvin melirik sinis pada sahabatnya. “Menurutmu sekarang waktunya?” “SE-JAK DU-LU, Calvin!” jawabnya dengan penekanan. Calvin tersenyum manis, “Baiklah, aku akan melakukannya. Kuharap kau bisa mengurus kantor dengan baik.” “Serahkan padaku! Aku bisa kau andalkan untuk pekerjaan ini.” “Oke!” “Jadi, kapan kau akan pergi?” “Pergi?” Jake terkejut. “Hei, jadi maksudmu apa? aku memintamu mengajaknya pergi dari rumah yang punya banyak pengaruh buruk itu! Jika kau melakukannya di sana, kau akan tetap kehilangan kesempatan.” Calvin mengangguk. “Baiklah, aku akan pindah dan memulai hidup baru dengan istriku.” Jake memberikan dua jempol untuk sahabatnya dan mendukung penuh semua yang akan dilakukannya. “Jangan sampai gagal lagi kali ini.” Calvin mengangguk dan melanjutkan rapat mereka hingga selesai. * Setelah makan siang, Ayana kembali ke kamar dan duduk di dekat jendela sambil membawa buku yang ditemukannya dalam laci. Rosita diperbolehkan untuk istirahat, tapi wanita itu menolaknya. “Tidak, Nyonya-tuan Calvin memintaku untuk menjaga Nyonya,” sahutnya. “Haha, apa yang kau takutkan? Aku nyebur ke danau lagi?” Rosita tersenyum. “Sudahlah, aku baik-baik saja.” “Apa bisa saya pegang janjinya, Nyonya?” “Aku Ayana, wanita yang bisa berjanji dengan sangat baik.” Rosita tersenyum lagi, mengangguk dan meminta Ayana mengunci pintu agar tidak didatangi oleh Thalia. Ayana setuju kemudian beranjak dari duduknya, mengikuti Rosita sampai ke pintu dan menutup kemudian menguncinya seperti permintaan wanita itu. “Posesif sekali si Calvin! Caranya menyayangi wanita sangat ketat. Mungkin kah Jovanka merasa tidak suka pada sikap suaminya?” terka Ayana lagi. Mumpung tidak ada siapa pun di kamarnya, Ayana membongkar laci-laci untuk mencari tahu jawaban dari banyak pertanyaannya. Ayana tidak menemukan apapun sampai matanya tak sengaja menemukan sebuah keanehan di laci terbawah. Ruangnya besar, tapi terlihat kecil dan dipasang cermin agar memantulkan bayangan seolah laci itu tidak ada lagi ruang di belakangnya. Padahal jika dilihat dari samping, cermin tersebut berada di tengah. Ada ruangan lain yang disembunyikan Jovanka. Ayana mencari celah untuk membukanya. Terlihat lubang kecil di sana, memiliki pegangan yang sangat tersembunyi. Ayana menariknya dan menemukan banyak benda di dalamnya. Ayana menemukan buku catatan, dompet berisi obat serta foto dalam kotak yang disembunyikan sangat baik. “Bukan Ayana namanya kalau tak mampu menemukan apa pun di sini,” cercaunya sendiri. Wanita itu membawa semuanya ke meja kemudian duduk dan melihat satu persatu barang yang ditemukannya. Pertama, dia penasaran pada obat yang disimpan dengan tempat sangat rahasia. Setelah membaca nama obat itu, Ayana langsung mencari informasinya dari internet. Ternyata itu adalah obat kontrasepsi untuk menunda kehamilan. Satu kotak terdapat 5 papan. Satu papan ada 28 butir, 15 diantaranya telah kosong. “Jovanka minum ini? bukannya mereka tidak punya anak?” tanyanya sendiri. “Haa, apa karena dia minum ini makanya belum punya anak?” lanjutnya. Ayana meletakkan obat itu dan mencari hal lain di sana. Buku catatan menjadi tujuan selanjutnya. Ayana membaca lembar perlembar tulisan yang digoreskan wanita itu hingga menghasilkan tulisan hampir satu buku penuh. “Aku benci Calvin!” “Aku tidak akan mencintainya walau sedetik pun!” “Aku ingin Nuke kembali padaku, aku benci Calvin!” Ujaran kebencian tertuju untuk suaminya di setiap lembarnya. Ayana merasa kasihan pada pria itu. Jovanka tidak mencintainya sama sekali. Buku harian ini berisi untaian kata yang tidak sinkron. Jovanka hanya menuliskan uneg-uneg dalam hatinya dengan sembarangan. Terlalu tebal, Ayana tidak bisa membaca semuanya karena batinnya ikut rusak seiring membaca hujatan wanita itu untuk suami dan mertuanya. “Apa tujuan Tuhan mengirimku ke sini?” tanyanya sendiri. “Sampai kapan aku di sini? Apa masih ada kesempatan untuk kembali lagi ke masa sebenarnya?” lanjutnya. Ayana menutup buku tersebut, dan melihat foto dalam kotak tersebut. “Mungkinkah dia adalah Nuke, pria yang dicintainya?” Dring! Ponselnya berdering dan membuat Ayana terkejut. Segera wanita itu menjawab panggilan video dari Calvin. Ayana mengarahkan kameranya ke jendela dan menampilkan suasana belakang rumahnya. Calvin tertawa gemas pada istrinya yang tidak mau menampilkan wajahnya. “Kamu sudah makan?” tanyanya. “Sudah, Mas.” “Bersiaplah, aku sudah dekat rumah.” “Ah, iya, Mas. Aku akan ganti pakaian.” “Ya, aku menantimu di bawah.” “Iya, Mas.” Calvin menutup teleponnya dan tersenyum sambil membayangkan wajah istrinya. Ayana langsung menuju kamar mandi setelah merapikan semua barang Jovanka, memasukkan kembali ke laci tersebut. * Setengah jam kemudian. Rosita mengetuk pintu kamar Ayana dan menanyakan apakah dia sudah siap atau belum? Ayana menjawabnya, “Masuklah, aku butuh bantuanmu!” jeritnya sambil mencoba mengancing dress yang tersangkut sesuatu. Calvin memutuskan masuk, menahan Rosita tetap di luar. Wanita itu membuka pintu dan melihat Ayana menghadap belakang, tangannya sibuk meraih sesuatu di punggung. Calvin masuk dengan langkah hati-hati, tidak ingin membuatnya tahu kalau yang masuk adalah dirinya. “Rosita, tolong tarikkan resleting ini!” pintanya tanpa menoleh ke belakang. Begitu mendengar pintu terbuka, dia percaya saja kalau itu adalah Rosita. Calvin berdiri tepat di belakangnya. Ayana bisa merasakan kehadiran seseorang di sana dan segera menarik tangannya ke posisi semula. Menunggu untuk dibantu. Calvin tersenyum, jemarinya menyentuh lembut kulit punggungnya yang bersih. Ayana terkejut, merasa tidak mungkin kalau itu dilakukan oleh Rosita. Calvin menarik dressnya dan menyelesaikan pekerjaannya yang terhambat. “Baju ini terlalu cantik kau kenakan ke tempat yang akan kita kunjungi,” ujarnya. “Hah?” Ayana berbalik badan dan terkejut melihat Calvin ada di sana. “Mas, kenapa tidak bersuara? Aku tidak tahu kalau Mas masuk ke kamar,” lanjutnya. Calvin tersenyum. “Tenanglah, aku hanya membantumu.” Ayana melihat dress putih yang sedang dipakainya. “Aku merasa tidak punya dress yang lebih sederhana lagi. Sejujurnya aku lebih suka pakai celana panjang dan kaus oblong, bukan dress seperti ini,” jelasnya. Calvin tersenyum kecut. “Seleramu berubah?” tanyanya. “Tidak, aku memang suka pakai itu sejak dulu.” “Aah, baiklah, kita akan ganti semua yang ada di lemari.” “Eh, jangan!” Ayana mengarahkan tangannya ke depan, bergerak ke kiri dan kanan. “Bukan begitu maksudku. Haha!” Ayana jadi bingung dan tertawa aneh. “Gak masalah, aku akan minta mereka mengganti semuanya.” “Tidak perlu, Mas! aku hanya ingin mengatakan tentang diriku. Aku tidak bisa merubah Jovanka.” Calvin tersenyum. “Jika saat ini yang ada di hadapanku adalah Ayana maka dia tidak perlu berubah menjadi Jovanka. Tetaplah menjadi Ayana,” tegasnya. Ayana sangat terkejut mendengarnya. “Mas, percaya padaku, kalau aku ini Ayana?” tanyanya polos. Calvin harus menerimanya, setidaknya agar membuat wanita di depannya ini bisa menaruh simpati terlebih dahulu. Calvin mengangguk lemah dengan senyuman. “Wah, makasih ya, Mas!” “Ya, apa kau tidak mau memberikan ucapan terima kasih dengan cara lain?” tanya Calvin. “Mmh, contohnya?” tanya Ayana bingung. Calvin membuka kedua tangannya, seperti seseorang yang minta dipeluk. Ayana sontak terdiam, tidak bergerak sama sekali. Calvin pun tersenyum, sebenarnya dia sudah tahu jawabannya, tetap terus berusaha dan berharap ada keajaiban. Calvin menurunkan lagi tangannya dan mengajaknya pergi sekarang. Ayana mengangguk dan segera mengambil tas serta ponselnya. Benda itu tidak bisa digunakan untuk menghubungi Earl atau siapa pun yang dikenalnya di tahun 2021. Baginya ponsel hanya sarana untuk mencari informasi melalui internet dan menjawab panggilan Calvin saja saat ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD