Setelah makan malam di sore hari, Calvin membawanya berkeliling di sekitar rumah. Mereka berdiri di pinggir danau. Ayana sedikit menjauh dan merasa trauma pada air karena niat bunuh dirinya gagal. Ayana masih bisa merasakan aliran alir masuk ke tenggorokannya, menyusup ke percabangan bronkus dan bronkiolus dan hampir menutupi alveolus yang bisa saja merenggut jiwanya secara nyata.
Calvin melihat langkah mundurnya dari sudut kiri matanya. Jovanka seperti trauma pada air. Kasihan sekali, ujarnya dalam hati. Calvin membawanya pergi dari danau demi membuat wanita itu nyaman, pria tersebut menuju ke sebuah taman bunga milik ibunya.
Ayana merasa senang sekali! "Wah, bunga mawar!" jeritnya dengan riang.
"Apa semua ini asli?" sambungnya.
"Kau suka bunga?" tanya Calvin bingung. Sejak dulu Jovanka benci bunga, apalagi mawar. Salah satu alasan Thalia membenci menantunya karena Jovanka pernah dengan sengaja menginjak beberapa tanaman mawar mamanya.
"Suka! Aku suka mawar, tulip, lavender, terus apa lagi ya," jawabnya sambil tersenyum.
Calvin terus menaikkan pipi karena melihat tingkahnya yang bertolak belakang dengan Jovanka yang ia kenal. Namun, Calvin malah makin senang dengan keramahan dan keceriaannya saat ini. Calvin mempersilakannya masuk ke tengah-tengah kebun bunga itu.
Ayana tentu tidak akan menolaknya. Segera langkah tegap maju jalan ke arah berbagi variasi mawar yang ada di sana. Ayana menganga saat melihat mawar hitam yang konon katanya sangat langka. Kini dia bisa melihatnya secara langsung.
"Mama kamu bisa dapat bunga langka seperti ini pasti karena punya kenalan pejabat tinggi," ujar Ayana tersenyum.
"Haha, mama selalu punya cara demi memiliki sesuatu."
"Oh, begitu! Ya, benar juga, jika melihat kondisi keluarga kalian yang super mewah seperti ini, pasti relasinya juga panjang."
Calvin tersenyum mendengar sanjungan tersebut. Jarinya memetik satu dan memakaikannya di telinga Ayana.
"Eh, kamu ngapain?"
"Hanya ingin memakaikan bunga ini di telingamu."
Ayana mengangguk, membiarkan Calvin menaruhnya. Seketika senyumnya merekah. "Pasti bunganya lebih cantik dariku. Haha!"
Calvin menggeleng. "Salah! Kamu lebih cantik dari mawar ini."
Ayana tersenyum, bisa-bisanya suami orang merayunya. "Kurangi memujiku, aku tidak pantas menerimanya."
"Kenapa?"
"Karena sesungguhnya aku bukanlah istrimu."
"Haha, Jovanka, Kamu itu istriku!"
"Aku Ayana bukan Jovanka."
Calvin menganggap ucapannya hanya gurauan. Meski bagi Ayana itu adalah keseriusan. Calvin merasa bahwa dirinya harus membuat wanita di hadapannya ini jatuh cinta. Ayana melihat seseorang datang dari belakang tubuh Calvin. Tatapannya fokus pada Thalia yang berjalan sangat cepat.
"Hei!" jeritnya sambil menunjuk-nunjuk ke arah mereka. Calvin berbalik badan dan langsung menahan mamanya untuk tidak menyerang istrinya.
"Kau, jangan berani-beraninya menyentuh koleksiku! Awas kau ya," ujarnya emosi. Thalia memang sangat marah pada orang yang menyentuh bahkan merusak tanamannya.
"Ma," jerit Calvin agar menghentikan sikapnya. Thalia malah melihat sekuntum mawar terselip di atas telinganya.
"Kau memetiknya?" timpalnya lagi merasa geram.
"MAMA!" bentak Calvin sampai membuat Ayana kaget. Pria itu membentak ibunya karena ingin membela dirinya.
"Mas Calvin, sudah hentikan lah," pinta Ayana.
Calvin meredam amarahnya dan langsung berbalik ke arah istrinya. Sudah lama dia menginginkan agar Jovanka memanggilnya dengan sebutan itu, tapi selalu diabaikan. Hari ini Ayana memanggil dengan sebutan 'Mas', membuatnya sangat tersentuh.
"Mama, bunga itu aku yang memetiknya bukan Jovanka. Kumohon pergilah, berikan kami waktu sebentar."
Thalia menghentakkan kakinya ke tanah dan pergi karena diusir putranya sendiri. Calvin menatap istrinya yang merasa kebingungan. Ayana melihat pria itu mendekatinya secara perlahan. Agar dia bisa menjauh, langkah kakinya ikut mundur saat Calvin mendatanginya.
"Kamu panggil aku dengan sebutan apa?" tanya Calvin.
Ayana berusaha mengingatnya sejenak, lalu menganga sedikit. "Mmh, Mas?" tanyanya polos.
"Kenapa memanggil dengan sebutan itu?"
"Ka-karena aku melihat usiamu lebih tua dariku. Memanggil kamu dengan sebutan nama, tidak baik kata mamaku dulu."
Calvin tersenyum. "Coba ulangi, kau panggil aku dengan sebutan itu."
Ayana ragu untuk mengikutinya, tetapi melihat ekspresi Calvin yang sangat serius, dia pun menuruti perintahnya. "Mas Calvin."
Calvin tersenyum lebar, dan memacak tangannya di pinggang. Pria itu sangat bahagia. "Tetaplah panggil aku dengan sebutan itu. Aku ingin kau terus memanggilku dengan sebutan itu."
Ayana lega, ternyata dia tidak berniat macam-macam. Dalam bayangannya, Calvin akan mencium atau memeluknya.
Dasar Ayana, mesuum sekali otak kamu! Bisa-bisanya punya pikiran seperti itu, gerutu wanita itu, lalu memukul kepalanya sendiri dan tertawa malu pada pria itu.
*
Langit mulai mendung, Calvin mengajak istrinya masuk. Mereka jalan bersama ke lantai dua. Saat Ayana berbelok ke arahnya, Calvin juga ikut.
"Eh, Mas masuk ke sini juga?" tanya Ayana.
"Lho, kan ini kamar kita."
Ayana terkejut, lupa kalau mereka adalah suami istri. "Ahahah, apa kita bisa tidur terpisah?" tanyanya.
Calvin menggeleng. "Tidak, aku tidak mau membuat mama dan nenekku senang karena kita tidurnya berlainan tempat."
"Hmm, kalau gitu kita tidur di sini, tapi aku tidur di sofa aja. Mas di kasur!" ujarnya lagi menegaskan bahwa dia tidak ingin berdekatan.
Calvin memahami kondisi istrinya. Tidak masalah baginya asalkan masih satu kamar, keajaiban bisa terjadi kapan pun itu. Ayana minta izin ingin membersihkan tubuhnya serta berganti pakaian. Calvin diminta keluar terlebih dahulu agar tidak membuatnya merasa segan. Pria tersebut menyetujuinya. Rosita diminta menemani istrinya di dalam agar tidak lagi berbuat aneh seperti kemarin.
Sejak kasus bunuh dirinya, Calvin minta kamarnya dipindah ke atas agar dia tidak bisa menerobos keluar kamar dan berjalan ke danau lagi. Kamar di atas memang tidak seluas yang di bawah, tapi cukup hangat ditempati oleh pasangan ini. Ayana penasaran pada mama dan nenek Calvin yang tampaknya sangat galak. Dia bertanya pada Rosita sambil berendam di bak mandi.
"Aku ingin bertanya, tapi kau harus jawab jujur," kata Ayana.
"Ya, Nyonya, silakan!"
"Apa mama Thalia galak padaku?" Rosita mengangguk.
"Ya, Nyonya. Dia tidak suka padamu sampai sekarang."
"Wah, mertua yang kurang baik. Lalu neneknya juga?" sambung Ayana.
"Benar, mereka ingin kalian berpisah."
"Hmm, alasannya?"
"Karena Nyonya berasal dari kalangan bawah, sementara mereka keturunan bangsawan." Ayana mengernyit kesal. Masih saja ada kasta di sini. Ayana berjanji akan meruntuhkan kekejaman mereka dan mengubahnya dengan cinta. Setidaknya perbuatan baik pasti akan mengalahkan yang jahat. Ayana tidak punya niat mencintai Calvin karena dia adalah suami orang.
30 menit setelahnya.
Ayana memakai baju yang dipilihnya sendiri dalam lemari. Tidak ada celana panjang dan kaus oblong di sini, semuanya dress dengan berbagai ukuran.
"Apa cocok dress ini denganku?" tanya Ayana.
"Sangat cocok," jawab Rosita.
Dress di atas lutut berbahan waffle merah memang manis ditubuhnya. Ayana jarang sekali menggunakan pakaian seperti ini. Rasanya terlalu formal. Cocoknya pergi ke suatu tempat baru pakai dress, tapi mau bagaimana lagi? Semua isinya adalah dress maka Ayana harus memakainya.
Ayana keluar dari kamar, memberikan ruang untuk Calvin berganti pakaian. Dia juga tidak mau melihat pria itu tanpa busana. Mata dan hatinya harus dijaga, meski Ayana tahu kalau Calvin adalah pria tampan yang pesonanya susah ditolak. Bahkan tadi dia bisa berpikiran kotor seperti itu.
Ayana berjalan ke arah balkon, melewati Calvin yang sedang duduk di ruang baca. Pria itu memanggilnya.
“Jovanka!”
Ayana langsung menghentikan langkah kemudian menoleh ke kanan. “Mas Calvin?” sahutnya.
Calvin meletakkan buku yang ada di tangannya kemudian berdiri, berjalan mendekati istrinya yang sudah terlihat cantik. “Kamu sudah selesai?” tanyanya.
“Ya, Mas. Aku sudah selesai, jika ingin mandi, silakan! Aku akan menunggu sambil duduk di balkon saja.”
Calvin tersenyum, menyentuh pipi Ayana yang sedikit merespon dengan menjauhi tangannya sekitar 2 sentimeter. “Kamu sangat cantik hari ini.”
Ayana tersenyum tipis. “Terima kasih, Mas.”
“Sama-sama. Nanti aku akan menyusulmu ke balkon.”
“Iya, Mas.” Ayana mundur sedikit kemudian pergi dari hadapannya bersama Rosita. Calvin masih saja terpaku menatap ke arahnya. Pria itu sangat merindukan istrinya, ingin rasanya memeluk dia, tetapi tidak bisa dilakukannya bila sang istri masih menolaknya karena alasan kesehatan.
*
Disaat aku patah hati karena Damian tidak mengakuiku dan lebih memilih wanita yang dipilih orang tuanya, di saat itu pula aku bertemu Calvin, pria tampan penuh kharisma dengan pesona yang sangat menggairahkan. Bagaimana bisa aku menolaknya bila dia terus merayuku?
Ah, ini kan hanya hidup sementaraku. Mungkin Tuhan ingin aku segera melupakan Damian dengan menghadirkan Calvin sebagai gantinya. Lagian, kalau dipikir-pikir, istrinya itu seperti tidak mencintainya. Menurutku sih, Jovanka itu bodoh! Dia tidak menghargai suami sempurna seperti Calvin.
Ayana berdiri di balkon, dikelilingi banyak firasat dan pertanyaan yang nantinya akan dia jawab sendiri saat melalui mimpi buruk ini. Seperti mimpi, tapi terasa nyata. Ingin bangun, pasti sedih karena mengingat Damian.
Dari belakang tubuhnya, terdengar suara tapak kaki menggunakan sandal rumahan yang ringan, tetapi telinganya dapat mendengar dengan jelas gelombang audionya. Ayana harus segera berbalik sebelum pria itu berbuat aneh.
Ketika kaki kanannya berputar mengikuti arah jarum jam, tubuh dan rambut yang masih setengah basah itu mengikuti gerakannya menoleh ke belakang. Namun, Ayana mendapat sambutan tak terduga. Wajahnya terjerembab ke tubuh kekar Calvin yang mengurungnya dengan kedua lengan berotot keras. Ayana sampai mundur dan menabrak pembatas lantai yang terbuat dari besi itu.
Mungkin tadinya niat Calvin ingin memeluk Ayana dari belakang, tapi keburu berputar dan hingga akhirnya mereka bertabrakan.
Ayana terdiam, tingginya hanya sebahu Calvin. Dirinya saja sekitar 170cm, maka pria ini bisa saja 185cm. Degup jantung Ayana sangat keras, takut kalau suami Jovanka mendengarnya.
"Mmh, bisakah aku keluar dari jerat ini?" tanya Ayana.
Calvin tersenyum tipis. "Kenapa harus keluar bila sudah terjebak di dalam?"
"Ka-karena aku tidak ingin berdekatan dengan suami Jovanka," jawabnya.
Calvin sontak tertawa, tangannya masih menggenggam besi di belakang Ayana. Kini pandangannya menurun dan melihat wanita di hadapannya salah tingkah.
"Kau istriku, aku berhak atas dirimu."
"Hehe, tapi, aku Ayana, bukan Jovanka."
"Kalau begitu, Aku ingin Ayana mencintaiku."
"Haha, tidak bisa. Aku sedang patah hati dan lagi tidak ingin bermain cinta."
"Patah hati? Kenapa bisa patah hati?" tanya Calvin, ingin rasanya masuk ke dunia baru sang istri. Baginya Jovanka hanya sedang berhalusinasi.
"Karena pria yang kucintai pergi meninggalkanku dan memilih bertunangan dengan wanita pilihan mamanya," jawab Ayana mendadak sedih.
Calvin benci menatap kesedihan di wajah istrinya. "Lupakan dia, aku akan membahagiakanmu!" ucapnya sambil memegang kedua lengan Ayana.
"Mas, aku ingin pergi!" sahutnya merasa tidak enak. Calvin masih terlalu asing baginya. Ayana berusaha melepaskan diri dan segera pergi. Tanpa menoleh, Ayana ingin menyendiri. Berharap ketika nanti waktunya tidur, dia akan bangun ke kehidupan semula.
Ayana mencari tempat untuk mengasingkan diri. Tidak ingin disentuh atau pun tidur bersama pria itu. Akhirnya Ayana masuk ke dalam sebuah ruangan kecil mirip tempat untuk menyimpan kain. Ada sofa berukuran sedang yang akan digunakannya sebagai tempat beristirahat. Sebenarnya dia belum mengantuk, tapi ada baiknya dia memejamkan mata sekarang agar mimpi ini segera selesai.
*
Calvin sangat terpukul, rencananya untuk menekuk hati istrinya yang memiliki jiwa baru telah gagal. Pria itu memilih menenangkan diri di ruang kerjanya. Mencari pekerjaaan agar bisa melupakan masalah kekecewaannya. Sampai sekitar tengah malam, Calvin kembali ke kamarnya. Hal mengejutkan lainnya adalah, tidak ada Ayana di kamarnya.
Calvin segera menghubungi Rosita, wanita yang tengah menyisir rambut di kamar langsung menjawabnya.
"Ya, Tuan?"
"Kau bersama Nyonya?"
"Tidak, Tuan. Saya kira, Nyonya bersama Tuan, makanya saya tidak berani ganggu."
"Cari dia! Aku tidak bersama dengannya sejak tadi, tapi tolong jangan buat keributan. Aku tidak mau membuat mamaku ikut menanggapi kejadian ini."
"Iya, Tuan."
Calvin segera ikut mencari ke semua tempat. Rumah ini memang terlalu luas untuk dihuni 3 orang, tapi ini adalah rumah orang tuanyanya yang merupakan warisan turun temurun sejak abad ke-17.
Rosita mencari Ayana ke semua tempat di lantai satu. Sementara Calvin di lantai tiga. Pelan-pelan serta hati-hati, tidak mau membuat kekacauan. Beberapa orang membantu cari di halaman depan serta belakang. Hampir setengah jam berlalu, akhirnya Rosita menemukan wanita itu tertidur pulas di sofa dalam ruangan penyimpanan. Rosita menghubungi Calvin dan pria tersebut langsung menghampirinya.
"Nyonya ada di dalam, Tuan."
Calvin memejamkan mata dan mengangguk, meminta Rosita menunggu dan membukakan pintu kamar mereka kala pria itu menggendong istrinya sampai ke ruangan istirahat mereka.
Calvin mengangkat tubuh Ayana yang tertidur, tidak terasa sama sekali karena kebiasaan Ayana saat tidur memang susah dibangunkan meski terjadi gempa berkekuatan tinggi. Cuman satu yang bisa membangunkan dan menakutinya yaitu, suara halilintar yang sangat dahsyat.
Beberapa menit kemudian, Calvin merebahkan Ayana di tempat tidur. Meminta Rosita pergi karena tugasnya telah selesai. Calvin menutup pintu, menguncinya kemudian mendekati jendela. Menutup gorden dengan rapat lalu duduk di dekat tempat tidur Ayana.
Wanita itu masih menggunakan pakaian tadi, harusnya di menggantinya dengan baju tidur. Calvin beranjak ke lemari, mengambil sepasang pakaian tidur untuknya. Tanpa bantuan siapa pun, Calvin yang akan menggantinya sendiri. Ayana dimiringkan agar bisa membuka resleting belakangnya. Calvin berhasil membukanya kemudian melepaskan dres itu dari tubuhnya dengan perlahan.
Ayana memang tidak terbangun sama sekali, Calvin sampai tersenyum mengetahui bahwa istrinya berubah sangat drastis. Dulu, tersentuh sedikit saja, matanya langsung membuka lebar. Sekarang, wanita itu hanya menggeliat sendiri kemudian memiringkan tubuh ke ke kiri. Tubuh polosnya memancing hormon dalam sistem limbiknya keluar. Calvin sangat candu pada tubuh istrinya, terlebih hanya menggunakan dalaman saja.
Pria itu telah mendaratkan kecupan di bibirnya, tetapi tidak berani melakukan lebih karena mengingat dirinya baru saja sembuh, ditambah lagi kondisinya sangat memprihatinkan. Calvin mengelus kepalanya dengan lembut kemudian memakaikan pakaian tidurnya.
Mereka tidur dalam satu tempat, tetap tidak saling berpelukan. Calvin menjaga kesehatan istrinya.
*
Keesokan harinya.
Ayana terbangun lebih awal dari Calvin. Ayana meregangkan seluruh tubuhnya kemudian berbalik ke arah kanan dan melihat Calvin tidur di sampingnya.
Bagaimana bisa dia menemukanku? Calvin benar-benar pria yang bertanggung jawab sebagai seorang suami.
Ayana menatap wajah pria itu dengan detail. Setiap garis mukanya diperhatikan dengan hati-hati.
Dia sangat tampan, mungkinkah Tuhan menggantikan Damian dengan dirinya? hahaha, Ayana! Kau terlalu berharap, ujarnya dalam hati lagi.
Eh, aku masih di sini?
Ayana baru sadar, melihat ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 5 pagi.
Astaga! Sepertinya Tuhan sedang menghukumku karena mencoba bunuh diri. Oh, tidak! Bagaimana ini? setiap malam aku tidur bersamanya? Aaahhh, bisa terjadi sesuatu di antara kami nantinya, oceh Ayana terus menerus karena mengetahui bahwa dirinya masih saja berada di tempat yang sama meski sudah bangun tidur.