Bab 6 - Jovanka Tetap Ingin Bekerja!

2452 Words
Jovanka tetap ingin kerja meski Earl melarangnya. Sudah 4 hari dirinya tidak punya kegiatan rutin. Nomor Nuke juga belum bisa dihubungi. Sangat membosankan bila dia terus berada di rumah. "Ayo lah, Ayana! Kau masih sakit," pujuk Earl pada Jovanka yang sedang menyisir rambutnya, lalu mengikatnya ke atas. "Sakit apanya? Aku sehat, kau lihat sendiri kan?" jawab Jovanka melotot pada pria itu. "Bagaimana kau bekerja kalau kau sedang mengalami amnesia?" tanya Earl. "Aman, aku bisa jelasin dan mereka pasti mengerti." Jovanka selesai merias dirinya dengan sentuhan natural. "Aduh, kau akan membuat masalah nanti!" "Tidak akan! Kau meragukan Jovanka?" tanya wanita itu. Earl berdecak kesal. "Aku akan ikut menemui atasanmu," paksanya. "Aaah, terserahmu saja, yang penting sekarang aku ingin bekerja." Earl mengangguk, dia memberikan Jovanka sarapan. "Makanlah dulu, kau harus punya energi sebelum beraktifitas." "Haha, makasih!" Jovanka tidak menolaknya kemudian menyantap sandwich ditangannya dengan cepat. "Pelan-pelan!" jerit Earl. "Oke." Jovanka dibawa duduk, disuguhkan segelas s**u. "Kau sering melakukan ini pada Ayana?" tanyanya. "Biasa kau yang menyajikan sarapan untukku." Jovanka tersenyum turun, "Pantas kau suka padanya," celetuknya. "Eeh, siapa bilang? Aku dan kau itu bersahabat!" sanggah pria itu. Jovanka tertawa. "Kau terlalu penakut, pasti kau belum punya pacar sampai sekarang," sindirnya. "Enak aja, ada lah! Aku itu-" ucapannya terhenti karena tidak ada jawaban palsu yang bisa dibeberkannya. "Hahaha, sudahlah! Aku akan bantu kau mendapatkan pasangan, tapi bukan aku ya! Aku tidak mau denganmu, entah lah kalau Ayana sendiri, apa mungkin dia menyukaimu?" Earl tersenyum, merasa lucu pada sikap sahabatnya yang terus menjadi orang lain. "Cepatlah selesaikan makanmu, kita akan pergi," sahutnya tanpa melanjutkan masalah kekasih. * Sesampainya mereka di perusahaan tempat Ayana bekerja, Earl memutuskan bicara dengan kepala divisi yang bertanggung jawab atas pekerjaannya. Jovanka dan Earl sudah menghadap pria berumur sekitar 45 tahun yang memiliki ciri bertubuh gemuk, bagian depan kepalanya mulai mengalami penipisan rambut. Dia tampak bingung dan mengakui perbedaan tersebut dari segi penampilan. Ayana yang mereka kenal lebih berpenampilan apa adanya. Rambut lurus, hitam dan penuh senyuman. Namun, Jovanka sejak tadi tidak ada niat untuk menarik sudut bibirnya yang seksi itu. "Jadi, kau sudah siap untuk bekerja, Ayana?" tanya pria tersebut. Jovanka mau tidak mau harus menggunakan identitas Ayana ketika bekerja. Ini adalah kesempatan untuk dia menapak karir yang selama ini dilarang oleh suaminya yang possesive itu. "Ya, Pak! Saya akan berusaha keras dan melakukan yang terbaik," jawabnya. "Oke, hari ini kau sudah bisa melanjutkan pekerjaan yang sempat terhenti kemarin," ujar pria itu. Jovanka mengerutkan keningnya. "Kalau saya boleh tahu, apa itu?" Earl mengerucutkan wajahnya, takut kalau sahabatnya mengacaukan karirnya sendiri. "Kau punya janji untuk menemui pemilik perusahaan Joe Ceria, membantunya mencarikan apartemen terbaik yang kita rekomendasikan." "Aah, begitu! Baiklah, aku akan melakukannya." Jovanka menjawabnya dengan semangat. Earl hanya berdoa agar dia tidak membuat masalah. Pria itu pun meninggalkan Jovanka di perusahaan. Menitip pesan pada pria tadi agar segera menghubunginya bila terjadi sesuatu yang aneh atau membahayakan keselamatannya. Beberapa menit kemudian. Dia sudah duduk di meja, membaca buku agenda milik Ayana dan melihat brosur apartemen serta hunian lain yang akan ditawarkannya. Paul, pria yang ditemui tadi, datang menghampiri Jovanka dan meminta wanita itu menawarkan koleksi termahal agar mereka mencapai target pendapatan dan juga poin agar dapat bonus besar bulan ini. Jovanka paham dan akan berusaha. Jovanka segera pergi menemui pemilik perusahaan Joe Ceria. Menggunakan kendaraan umum, Jovanka tiba di lokasi setelah melalui banyak rintangan. Mulai dari debu, macet, berdesakan di bus dan jalan kaki dalam jarak yang lumayan jauh. "Aku jadi kucel begini? Mana mungkin aku mendatangi seorang pebisnis dengan kondisi seperti ini?" gerutunya sendiri kemudian menuju kamar mandi yang ada di perusahaan. Setelah dirasa lebih fresh dam harum, Jovanka melanjutkan langkah ke ruangan direktur. Seorang wanita menghadangnya ketika Jovanka hendak masuk ke dalam ruangannya. "Maaf, anda siapa ya?" tanya wanita berambut mahogany itu. "Selamat pagi, saya Jo-" ralatnya, "Saya Ayana Parker, dari Salsavador. Ingin bertemu dengan tuan Spencer," jawabnya. "Sudah buat janji sebelumnya?" tanya wanita itu lagi. "Sudah, seminggu yang lalu kami telah melakukan janji temu." "Baik, tunggu sebentar, saya akan sampaikan dulu ke pak Spencer." "Oke." Jovanka menanti sambil melihat ke arah sekitar. Dia baru tahu kondisi dalam sebuah perusahaan yang bonafide, ternyata sangat mewah dan canggih. Pintu masuk saja harus dengan kartu karyawan. Jovanka dibantu sekuriti agar sampai ke lantai 25 ini. Wanita tadi keluar dari ruangan direktur sekitar 3 menit kemudian. Jovanka dipersilakan masuk. Jovanka mengucapkan terima kasih, lalu mendorong pintu kaca itu dan melihat seorang pria muda di balik meja kerjanya. Pria itu punya nama lengkap Spencer Rode. Mereka berjabatan, saling memperkenalkan diri kemudian Jovanka dipersilakan duduk. "Saya mendengar kalau anda sedang terkena musibah, saya turut prihatin!" ujar Spencer. "Oh, benar! sedikit merubah sesuatu, tapi saya yakin bisa melaluinya," sahutnya tersenyum tipis. "Wah, perubahan memang terlihat menakutkan." "Menurut saya, tidak juga." Jovanka tersenyum, menaikkan alisnya dan menatap kedua bingkainya yang mengarah ke kakinya. Jovanka merapatkan serta menutupinya dengan bantal yang ada di sofa. Jovanka merebut perhatiannya untuk melanjutkan bisnis, bukan untuk menikmati tubuhnya. Pria itu menjelaskan keinginan hatinya untuk memberikan hadiah terbaik pada mamanya. Sebuah villa atau apartemen paling nyaman. Jovanka mengarahkannya ke beberapa model hunian terbaik yang sedang digandrungi. Spencer tertarik pada salah satunya. Jovanka akan berjanji membawanya ke sana dalam waktu dekat. Spencer minta hari ini juga, sekarang! Jovanka pun menerima keinginan itu. Direktur Joe Ceria membawa Jovanka dengan mobil mewahnya. "Kau sudah punya kekasih?" tanya Spencer. "Belum, kenapa anda bertanya mengenai hal itu?" tanya balik Jovanka. "Ahaha, tidak! saya salut pada wanita secantik anda yang belum memiliki kekasih." Jovanka tersenyum miring. "Saya ingin mencari uang, kontrakan saya sudah menjerit karena masa pembayaran akan segera ditagih," jujurnya begitu saja. Spencer tampak senang mendengarnya. "Aku bisa membayarkan kontrakanmu," ujarnya. "Tidak perlu, saya sedang bekerja saat ini, mereka akan memberikan uang untuk saya setiap bulannya." Jovanka menolaknya. Spencer semakin penasaran dengan wanita ini. Mengingat kakaknya belum mendapat pasangan, Spencer berniat mendekatkan Jovanka dengan kakaknya. Setengah jam kemudian. Mereka tiba di sebuah apartemen mewah, Jovanka menjelaskan semua yang berhubungan dengan apartemen itu. Spencer suka, tanpa basa-basi, langsung mau dan akan melakukan penandatanganan surat jual beli. "Aku akan memberimu tip lebih," ujarnya. "Haha, tidak perlu begitu." "Tenang lah, tanpa tahu perusahaan. Kau bisa gunakan untuk keperluan sehari-hari." "Terima kasih banyak, Pak!" "Sama-sama, Nona Ayana Parker!" Mereka pun keluar dari apartemen itu dan kembali ke lift. Di dalam lift, Spencer mengundangnya untuk makan malam bersama dalam acara ulang tahun mamanya. Pria itu berharap Jovanka mau datang. Jovanka menerimanya sebagai bentuk ucapan terima kasih karena telah menyetujui sarannya membeli apartemen. Spencer memberikan kartu nama dan memintanya memindai barcode yang ada di sana. Jovanka langsung memindai, spontan mereka berteman di sebuah aplikasi pesan. Jovanka menganggap itu hanya sebagai bentuk tata krama, tidak lebih. * Di perusahaan setelah pertemuan dengan Spencer. Paul dan anggota satu timnya merayakan kemenangan atas keberhasilan Jovanka merebut kepercayaan pria paling sulit ditaklukkan. Kini sudah bertekuk lutut dengan penjelasan Jovanka. “Selamat, Ayana! Kau akan mendapat bonus lebih di gajimu bulan ini,” ujar Paul berjabat tangan dengan Jovanka. “Terima kasih, ini pencapaian pertamaku!” ujarnya. Paul dan teman lainnya terpaku heran. Ayana sudah sering memenangkan banyak tantangan sebenarnya, tetapi Paul menganggap ini hanyalah dampak dari dirinya yang sedang mengalami amnesia. “Hari ini sudah cukup, di hari pertama kau bekerja, kau sudah melakukan yang terbaik, Ayana.” “Terima kasih, Pak! Saya tidak sabar untuk menerima tantangan lainnya.” “Haha, oke! Sekarang kau boleh belajar banyak hal dari laporan yang pernah kau lakukan dulu. Lumayan untuk menambah ingatan dan wawasan saat ini.” “Siap, Pak!” Jovanka segera ke meja kerjanya kemudian duduk. Melihat ke sekeliling tempat itu dan terpaku pada satu wajah pria yang fotonya ditusuk oleh jarum oleh seseorang di bagian atas. Foto itu adalah milik Damian. “Siapa dia?” tanyanya sendiri, lalu mengambil foto tersebut setelah mencabutnya dari jebakan jarum. Jovanka membalik lembaran itu dan membaca tulisan milik Ayana. [Jika aku punya kesempatan untuk hidup lagi, aku ingin kau sepenuhnya menjadi milikku.] Jovanka tersenyum, bibirnya miring ke kanan dan matanya menyipit. “Ini kekasihnya atau tunangannya? Aku akan tanya ke Earl nanti,” ujarnya sendiri kemudian memasukkan foto itu ke dalam tas. Sore setelah pulang kerja. Jovanka mendapatkan panggilan dari Spencer. Wanita itu segera menjawabnya. Spencer mengingatkan lagi dirinya untuk bersiap-siap makan malam bersama keluarganya. Jovanka akan datang bersama Earl, begitu niatnya. Jovanka mencoba minta izin pada pria tersebut. [Apa aku boleh datang bersama temanku?] Beberapa menit kemudian jawabannya tiba. [Teman kan? Bukan kekasih?] Jovanka malah kekeh membaca pesan tersebut. [Tentu bukan, dia sahabatku!] [Oke. Aku tunggu! Ini alamatnya.] [Terima kasih.] Jovanka segera menghubungi Earl dan memintanya pulang. Sekarang! * Sesampainya Earl di rumah. Jovanka menceritakan masalah pengalamannya hari ini. Earl sangat kaget dengan semua yang dialaminya. Rasa kagum dalam batinnya mencuat membuat dirinya makin suka pada wanita tersebut. "Terima kasih karena kau mengajakku juga," ujar Earl. "Itu hanya karena aku takut salah tujuan, aku belum pernah ke Paris sebelumnya," sahut Jovanka meluruskan niat. "Haha." Earl tertawa mendengarnya. "Aku mau pakaian dulu, kau juga bersiaplah!" "Oke!" Jovanka segera masuk ke kamar, membuka lemari dan melihat koleksi pakaian Ayana. "Dia wanita atau bukan sih? kenapa dia tidak punya dress bagus, minimal satu, gitu!” Jovanka geleng kepala. Karena panik, Jovanka keluar dari kamar dan mencari Earl. Pria itu sedang berada di dapur, menuang s**u ke dalam gelas. “Earl,” panggilnya. “Ada apa?” “Kenapa Ayana gak punya dress?” “Hahaha, kau memang tidak suka pakai dres. Kau itu lebih senang menggunakan celana, rok dan kaus oblong." “Haduh, bagaimana ini? masa ketemu klien pakai baju kerja? Momennya kan makan malam, sangat tidak pas,” protes Jovanka. “Sudah lah, pakai apa yang kau punya. Ayana itu orangnya serba menerima apa adanya.” Jovanka berdecak kesal. “Aah, ya sudah lah!” wanita itu kembali ke kamar, merenungi pakaian yang akan dikenakannya. * Ting. Tong. Setelah melalui perjalanan selama 35 menit, akhirnya mereka tiba di tujuan. Jovanka dan Earl berdiri di depan rumah Spencer yang memiliki design arsitektur tinggi. Terasa sekali bahwa pemiliknya adalah orang kaya berat. Tidak berapa lama kemudian seseorang membukakan pintu, wanita dihadapan mereka seperti pelayan bila dilihat dari seragamnya. “Selamat malam,” sapa Earl. “Selamat malam,” sahut wanita itu. “Perkenalkan namaku Ayana Parker,” ujar wanita itu membuat Earl menoleh. Tumben dia tidak bilang nama palsunya, oceh Earl dalam hati. “Ya, ada perlu apa?” tanya wanita itu. “Hmm-“ ucapan Jovanka terhenti karena seorang pria datang menghampiri. “Hai, Ayana!” sapa pria yang mengundang mereka makan malam. Jovanka melambaikan tangan sedang dan mengangguk berat. Bibirnya tersenyum tipis. Spencer mendatangi mereka dan meminta disiapkan peralatan tambahan. “Silakan masuk!” pinta pemilik rumah. Spencer melihat ke arah Earl. Merasa ragu kalau pria itu adalah temannya. “Teman?” tanya Spencer langsung. “Oh, ya, kenalkan namanya Earl.” Earl dan Spencer saling berjabat tangan. Jovanka pun tersenyum. Spencer memperhatikan pakaian yang dikenakan oleh wanita itu. Sangat santai bahkan untuk undangan makan malam. Rok bunga-bunga dengan dasar kain berwarna kuning dipadukan dengan kaus polos berwarna hitam. Rambutnya digerai, hanya dijepit di sisi tengah belakang saja. Spencer langsung membawa mereka ke ruang makan. Sontak semua perhatian yang terpecah menjadi fokus ke satu arah, Spencer memperkenalkan mereka pada keluarganya. “Perkenalkan, dia adalah Nona Ayana Parker, pekerja di perusahaan Salsavador dan, pria ini adalah temannya Nona Ayana,” ujarnya. “Ah, selamat datang! silakan bergabung!” sahut pria berkumis dengan wajah menyeramkan. Spencer membisikkan pada Jovanka kalau dia adalah papanya. Jovanka segera menyapa pria itu. “Selamat malam Tuan dan Nyonya! saya senang sekali bisa hadir di sini berkat undangan dari pak Spencer," sahut Jovanka. “Hahaha, putraku memang begitu! Dia sangat baik, bahkan pada orang yang baru dikenalnya,” lontar wanita tua yang bisa jadi itu adalah nenek atau mamanya. "Haha." Mereka semua tertawa bersama dan Spencer mempersilakan mereka duduk. Ayana dan Earl terpaksa ikut bergabung dalam pembicaraan keluarga. Mereka tidak sembarangan masuk dalam percakapan keluarga tersebut, kecuali memang mengarah pada mereka pertanyaannya, sudah pasti Jovanka atau Earl menjawabnya sebagai suatu tata krama. Di tengah-tengah momen hangat ini, perhatian mereka tersita pada seorang pria yang datang bersama seorang wanita cantik. Spencer menghela nafasnya kemudian tersenyum kecut. Pria itu adalah kakaknya yang ingin dikenalkannya pada Jovanka. Namun, sepertinya niat itu akan gagal malam ini. * Satu jam kemudian. Semua orang diminta berkumpul di ruangan keluarga. Jovanka dan Earl melangkah bersama, saat masuk ke sana mereka melihat dekorasi ruangan yang telah diatur untuk mengadakan acara ulang tahun. Jovanka baru ingat kalau Spencer tadi membeli apartemen untuk mamanya yang sedang merayakan hari kelahiran. Mereka dipandu berkumpul, menyanyikan lagu singkat kemudian meniup lilin yang tertancap di atas kue tart bertuliskan 'Selamat ulang tahun, Mama!' Satu persatu mereka memberikan kado dan ucapan selamat untuk wanita itu. Jovanka dan Earl saling melirik. “Astaga, kita tidak bawa apa-apa, Ayana,” bisik Earl. “Diam lah, aku juga lupa!” Jovanka sedang mencari ide agar tidak mempermalukan dirinya sendiri. Spencer mencium kerisauan hatinya. Pria itu mendekati Jovanka dan menyelipkan sesuatu yang sudah disiapkannya dalam saku ke tangan Jovanka yang saling tertindih di belakang tubuhnya. Jovanka langsung menoleh setelah menerimanya. “Apa ini?” “Berikan saja ini pada ibuku, dia akan senang,” jawab Spencer. “Tapi, ini bukan dariku.” “Anggap saja aku baru memberikannya padamu dan kau berikan padanya.” Jovanka merasa malu. “Aku minta maaf karena lupa membawa sesuatu.” “Aman, tenang saja.” Earl mengintip gerakan di belakang tubuh Jovanka, membuat dirinya cemburu. Perlahan Jovanka menunjukkan kotak kecil itu pada Earl. “Apa ini?” tanya Earl. “Spencer memberikan ini sebagai cara menutupi kesalahan kita.” Earl mengulum bibirnya. Pria itu mencari muka di hadapan wanita yang disukainya. Beberapa menit kemudian, giliran mereka pun tiba. Jovanka serta Earl jalan bersama ke arah orang tua Spencer. “Selamat ulang tahun, Nyonya!” ucap Jovanka, lalu memberikan kotak berwarna putih itu padanya. “Wah, terima kasih! Aku senang kalian kemari. Lain waktu, main lah ke rumah ini, terkadang, aku tidak punya teman,” bisiknya dengan suara kuat. Membuat semua orang tertawa. “Semoga Anda sehat selalu,” sambung Earl bersalaman dan memberikan sapaan hangat ke pipi. "Terima kasih!" Mereka pun merasa deg-degan ketika wanita itu membuka kado yang diberikan oleh Jovanka. Sebuah cincin permata yang sangat indah terlihat dari sela-sela kotak, tak disangka dalamnya adalah perhiasan mahal. Jovanka melirik ke arah Spencer yang tersenyum padanya. “Wah, ini bagus sekali! kau sangat baik hati, Ayana!” ujar sang mama kemudian memeluk Jovanka lagi sebagai ucapan terima kasih. Jovanka hanya bisa tertawa renyah. Secara nyata, Ayana tak akan mampu membeli itu karena uang di dompetnya saja kini hanya tinggal beberapa lembar. Apa yang diinginkan pria ini? kenapa dia rela menyelamatkanku dari rasa malu? tanya Jovanka dalam hati sambil menatap ke arah Spencer.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD