Bab 1
Pemandangan yang sangat menyenangkan untuk dilihat oleh seorang Elang Pandawa adalah ketika menikmati minuman hangatnya sembari memandangi istri cantiknya memainkan peralatan dapur dengan sangat apik yang dibantu oleh anak gadisnya yang sudah tumbuh tak kalah cantik seperti sang ibu.
"Ayah, biasa aja dong ngeliatinnya. Enggak usah sampe ngences gitu. Kita memang sangat memesona, iya enggak Bun?" Aluna Jatiningrum yang biasa dipanggil Luna itu memang sering sekali menggoda ayahnya. Emilia menanggapi ucapan anaknya dengan tersenyum.
Meskipun ada asisten rumah tangga, sebisa mungkin untuk urusan memasak selalu Emilia yang handle, walaupun terkadang ia hanya memberitahu bahan dan juga cara pengolahan pada sang asisten rumah tangganya, tapi setidaknya makanan yang masuk ke perut suami dan anaknya berasal dari resepnya.
Menu sarapan kali ini adalah nasi goreng seafood. Menu favorit bagi suami dan anaknya. Elang duduk di kursinya setelah sang istri selesai menata makanannya di meja makan. Wanita cantik berumur 35 tahun itu menaruh nasi goreng yang sangat menggoda itu ke piring pria yang telah menemani hidupnya selama sepuluh tahun. Setelah itu baru ia mengambilkan untuk anaknya juga dirinya.
"Nanti kalau sudah sampai Yogya, kabarin Bunda ya, Sayang," ucap Emilia pada buah hatinya.
"Siap Bund!" jawabnya sambil membawa tangannya ke sisi kepalanya tanda hormat seperti ke Sang Pusaka merah putih.
"Ayah nanti rencananya mau menginap atau langsung pulang?"
Elang berdeham sejenak lalu mengambil gelas di samping kanannya, kemudian meminumnya hingga isinya tinggal setengah. "Setelah mengantar Luna, aku mau langsung ke tempat om Haris. Besok juga ada meeting dengan team dokter bedah yang ada di rumah sakit Elisabeth Yogya," jelas Elang pada sang istri.
Emilia mengangguk paham, lalu beralih ke putrinya. "Kamu harus pulang sebulan sekali Sayang, kalau tidak, Bunda yang akan menemuimu."
"Insya Allah, Luna enggak janji ya Bunda," jawab sang anak.
Suami dan putrinya telah pergi ke kota Yogyakarta setengah jam yang lalu. Emilia masih bersantai di rumah karena memang hari ini ia sengaja ambil cuti. Tadinya ingin ikut ke Yogya, tetapi sang suami melarangnya, mengingat dirinya yang baru saja sembuh dari sakit. Wanita yang berprofesi sebagai dokter kandungan itu kadang suka merasa senang tapi juga sebal pada sikap Elang yang menurutnya sedikit berlebihan. Padahal dirinya sudah benar-benar sembuh dari sakit flu biasa, tetapi responnya sangat berlebihan.
Emilia berniat untuk mengunjungi ibunya yang rumahnya tidak terlalu jauh dari rumah yang ia tempati. Segera ia berganti pakaian. Berpamitan pada Bu Maya--salah satu asisten rumah tangganya. Mengendarai kendaraan roda empatnya menuju rumah ibu tercinta. Tak lama sampailah Emilia di depan rumah berlantai satu yang tidak terlalu besar namun sangat indah dilihat. Banyaknya pepohonan di halaman rumah serta tanaman hias milik ibunya menambah kesan asri dan sejuk. Siapa pun yang menginjakkan kaki di rumah ini pasti akan betah tinggal berlama-lama.
Turun dari mobilnya, bergegas melangkah menuju pintu bercat coklat tua. Diketuknya pintu itu sambil mengucap salam.
"Assalamualaikum."
Tak lama terdengar sahutan dari dalam rumah. "Wa'alaikumsalam."
Pintu berwarna coklat itu terbuka. Tampak wanita paruh baya yang masih sangat cantik dengan tatapan teduh tersenyum menyambut putrinya.
"Ibu." Emilia mengambil tangan ibunya untuk diciumnya.
"Sehat Nduk?" tanya sang ibu mengusap kepala anaknya lalu bersama masuk menuju ruang keluarga.
"Alhamdulillah, Ibu gimana kabarnya?" tanya Emilia sambil bergelayut manja pada wanita yang telah melahirkannya.
"Alhamdulillah sehat."
"Apa ini Bu?" tanya Emilia penasaran saat melihat banyak sekali bingkisan yang berjejer di meja ruang keluarga.
"Oh, itu lho Ratna anaknya Pakde Toyo mau mitoni. Jadi nanti ibu ke sana sekalian bawa bingkisan ini."
"Ratna Utami? Perasaan belum lama nikahnya."
"Belum ada setahun, cuma kosong satu bulan katanya, langsung jadi."
Mendengar perkataan sang ibu, seperti ada tangan kasat mata yang meremas jantungnya.Terasa sakit dan membuatnya sesak napas. Kenapa ia melihat orang lain mudah sekali untuk bisa hamil dan mempunyai keturunan. Padahal usia pernikahan mereka kebanyakan belum ada satu tahun. Rekan kerjanya pun sepulang dari berbulan madu langsung hamil. Ia mengetahui hal itu karena setiap temannya hamil pasti akan memeriksakan kandungannya pada dirinya. Sedangkan dirinya, menikah sudah sepuluh tahun tetapi tanda-tanda dirinya untuk hamil itu belum terlihat. Padahal, baik Elang maupun dirinya sama-sama sehat. Berbagai macam ikhtiar sudah ia dan suaminya lakukan. Tak lupa juga ia selalu memohon pada Allah disetiap sujudnya baik diantara sholat lima waktunya maupun di sepertiga malam. Manusia memang bisa berkehendak, namun untuk hasilnya biar Allah yang menentukan.
Ibu Dewi melihat perubahan muka putrinya. Dengan cepat ia membawa anak semata wayangnya itu kedalam pelukannya. Diusapnya dengan sayang punggung yang terlihat sedikit lebih kurus itu.
"Sabar ya, Nduk. Suatu saat kamu juga akan merasakan yang namanya mitoni. Yang penting kamu sudah berusaha. Hasil akhirnya kita serahkan saja sama Gusti Allah."
Emilia mengangguk. Ibunya memang selalu membuatnya tenang hanya dengan sedikit ucapan dan usapan kasih sayang yang diberikannya. Mama mertuanya pun sama tetapi,, belakangn ini sikapnya sedikit berubah. Lebih cuek dan agak ketus kalau bicara dengan dirinya. Mungkin itu hanya perasaannya saja. Ia mencoba untuk selalu berpikir positif. Sudah dua tahun ini Mama Ratih selalu berbicara tentang cucu. Wajar saja sih, karena memang pada umumnya, orang seumuran ibu dan mertuanya sudah seharusnya mempunyai cucu. Sedangkan sepuluh tahun pernikahannya dengan Elang belum juga bisa memberikan seorang cucu untuk ibu dan mertuanya. Tidak diminta untuk bercerai dari suaminya saja itu ia sudah sangat beruntung. Terkadang, Emilia dihinggapi rasa takut akan ketidaksempurnaan dalam rumah tangganya. Ia takut, suaminya merasa kesepian karena belum hadirnya seorang anak, sehingga dikhawatirkan suaminya akan berselingkuh darinya.
Ah, rasanya tidak pantas berpikiran buruk terhadap suami sendiri. Selama ini suaminya selalu sayang padanya, bahkan ketika Emilia meminta maaf karena belum juga hamil, suaminya itu selalu membesarkan hatinya dengan berkata, "Semua yang ada di dunia ini sudah ditentukan takdirnya sama Allah. Jika Allah belum memberikannya untuk kita, berarti memang belum waktunya. Sekeras apapun kita berusaha, kalau Allah belum berkehendak, kita bisa apa?"
Dering ponsel membuyarkan lamunannya. Emilia segera mengusap layar ponselnya setelah mengetahui siapa yang menghubunginya.
"Assalamualaikum," sapa seseorang di seberang.
"Wa'alaikumsalam, ada apa Don."
"Ck! Kebiasaan benget sih, kalau manggil nama gue itu yang lengkap kenapa."
Emilia terkekeh mendengar nada protes dari sahabatnya.
"Wa'alaikumsalam, ada apa Dona yang cantik ... tapi boong."
"Ish, mirip Chika lu kalo lagi begitu."
"Gemesin dong??"
"Hem, iya ajalah biar cepet. Lu cuti kenapa enggak bilang-bilang?"
"Mendadak Don. Eh, Dona. Tadinya mau ikut Mas Elang nganter Luna ke Yogya, tapi karena Mas Elang besok ada meeting sama dokter bedah di sana jadi gagal deh. Besok kan gue ada jadwal operasi jam 11."
"Lho, bukannya meetingnya diambil alih sama Dewa? Nanti malam berangkatnya."
"Nanti aku coba hubungi Mas Elang deh, mungkin dia lupa, atau bisa jadi mereka ikut meeting berdua."
Obrolan terus mengalir diantara dua wanita yang sudah bersahabat semenjak sekolah menengah.
Tak terasa sudah tiga jam, Emilia berada di rumah ibunya. Sudah selama itu pula ia menunggu kabar dai anak dan suaminya. Bolak-balik ia menatap layar ponselnya, belum juga ada pesan atau panggilan masuk dari orang yang dinanti. Ia juga sudah berusaha menghubungi tetapi baik nomor Aluna maupun Elang tidak ada yang aktif.
"Mungkin habis baterai Nduk," ucap sang ibu.
"Perasaan Emi tidak karuan dari tadi Bu. Emi takut sesuatu yang buruk menimpa Mas Elang sama Aluna."
"Hus! Bicaranya jangan ngawur. Doakan saja semoga tidak terjadi apa-apa."
"Aamiin."
Tak berapa lama, Emilia pamit pulang. Namun, ia tidak langsung pulang ke rumah. Ia sengaja ingin mampir ke rumah mertuanya. Karena dipikir-pikir sudah lumayan lama ia dengan mama mertuanya sudah lama tidak bertemu. Biasanya setiap weekend dirinya berkunjung ke rumah Mama Ratih dengan sang suami. Atau kalau dirinya tidak sempat, maka mertuanya lah yang akan berkunjung ke rumahnya.
Security yang berjaga di rumah Mama Ratih segera membukakan gerbang ketika mengetahui Emilia datang. Turun dari mobilnya Emilia disambut oleh security tadi yang bernama pak Rahmat.
"Nyonya, sedang tidak ada di rumah Non," ucap Pak Rahmat.
"Pergi kemana Pak?"
"Saya kurang tahu Non. Tanya ke Mbok Siti saja coba, kayanya tadi Nyonya berpesan pada Mbok Siti."
"Ok, Pak. Saya masuk dulu."
Emilia masuk ke rumah mertuanya yang berlantai dua. Terasa sepi seperti biasa. Ia pun mengingat perkataan mertuanya ketika menginginkan cucu supaya rumah tidak terasa sepi.
"Non, cari Nyonya yah?" ucap seorang wanita paruh baya dari arah dapur.
"Kata Pak Rahmat, Mama lagi pergi? pergi kemana?" tanya Emilia yang langsung duduk di sofa ruang keluarga.
"Iya Non. Katanya mau menghadiri pernikahan kerabatnya di Yogya," ujar Mbok Siti. "Non, ingin dibuatkan minum apa?" tanyanya pada menantu majikannya itu.
"Enggak usah deh Mbok. Aku mau pulang saja."
Emilia keluar menuju mobilnya. Saat di dalam mobil, Emilia tidak langsung menjalankan mobilnya. Ia seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Kerabat di Yogya ada yang menikah, siapa? Apa Mas Elang tahu? Kenapa tidak memberitahuku?" gumam Emilia dalam hati.
Tidak seperti biasanya, kalau ada kerabat baik itu kerabat dekat maupun jauh, pasti Mama Ratih akan memberitahu dan mengajaknya untuk pergi bersama. Tetapi kenapa kali ini ia mengetahuinya dari pekerja di rumah mertuanya, bukan dari mertuanya sendiri. Bahkan mertuanya pergi tanpa mengajaknya.