Emilia tampak memarkirkan mobilnya di halaman rumahnya. Seketika dahinya berkerut saat melihat mobil Elang terpakir di sebelah mobilnya. Pasalnya ini masih sangat siang untuk suaminya berada di rumah.
Apa ada sesuatu yang tertinggal juga?
Emilia pun turun dari mobilnya. Ia pulang ke rumah karena ada berkas yang tertinggal, sehingga ia pulang untuk mengambilnya. Ia melangkah menuju pintu utama yang sedikit terbuka. Masuk ke rumah yang terasa sepi tidak seperti biasanya. Karena biasanya Emilia akan mendengar para asisten rumah tangganya yang melakukan pekerjaannya sambil bercengkrama, sehingga membuat suasana rumah terasa hidup. Namun, sekarang entah berada di mana mereka.
Saat melintasi ruang tamu, ia menghentikan langkahnya saat melihat kemeja suaminya tergelatak di lantai. Celana panjang yang Elang pakai tadi pagi pun teronggok di sofa ruang tamu.
Kenapa Elang membuka pakaiannya di sembarang tempat begini?
Apa ia sakit?
Emilia memanggil nama suaminya, namun tidak ada sahutan. Ia segera menuju lantai dua untuk mengecek kamarnya. Ya, sudah dapat dipastikan suaminya sekarang sedang berada di kamar. Menaiki tangga dengan sedikit terburu-buru.
Saat dirinya baru saja menginjakkan kakinya di lantai dua rumahnya, terdengar samar-samar suara yang sangat ia kenali. Suara dua orang yang sedang menikmati surga dunianya. Tentu saja, karena saat dirinya dan Elang sedang mereguk nikmat di atas ranjangnya, pun tak ayal mengeluarkan suara-suara yang seperti didengarnya saat ini.
Siapa yang melakukan di siang hari begini?
Salah satu asisten rumah tangganya-kah? Karena penasaran, Emilia menajamkan pendengarannya dan mengikuti arah suara itu berasal. Jantungnya berdetak sangat cepat saat ia tahu bahwa suara itu bersumber dari kamarnya. Meskipun tangannya bergetar, ia berusaha mendorong pintu kamarnya yang tidak sepenuhnya tertutup.
Saat pintu telah terbuka dengan sempurna, matanya terbelalak. Jantung yang berdetak dengan cepat kini makin cepat berdetak dan ia merasakan sakit dibagian tubuhnya yang sangat berpengaruh bagi hidupnya. Bagai ditimpa bongkahan batu besar, dadanya terasa sesak. Waktu mendadak seolah berhenti hanya untuk mempertontonkan dua orang yang sangat ia cintai sedang b******u mesra di atas ranjangnya layaknya pasangan suami istri.
"Mas Elang!"
Emilia membuka kedua matanya. Peluh membanjiri wajah dan lehernya. Ia menoleh ke samping ternyata suaminya sedang tertidur dengan pulas. Menghembuskan nafas lega, karena kejadian mengerikan dan menjijikan itu hanyalah mimpi. Menoleh pada jam yang terdapat di atas nakas, ternyata ia tadi ketiduran dan lupa belum menunaikan sholat isya. Mungkin, karena itulah sebabnya ia bermimpi buruk.
Emilia segera bangun lalu menuju kamar mandi berniat untuk mengambil wudhu kemudian menjalankan sholat isya sekaligus sholat malam. Emilia memang belum merasa dirinya adalah wanita soleha, tetapi setidaknya ia tidak pernah meninggalkan kewajibannya sebagai hambaNya dalam perkara sholat maupun puasa.
Di dalam sujudnya banyak sekali doa yang Emilia dipanjatkan. Terutama untuk kelanggengan rumah tangganya serta mengharapkan kehadiran buah hati di dalam rahimnya. Setelah mencurahkan semua isi hati dan kegundahannya pada Sang pemilik hati, ia merasa beban maupun kecurigaan yang bercokol dihatinya seolah menguap. Karena masih jam tiga pagi, maka ia pun kembali ke tempat tidurnya. Berbaring di atas ranjangnya lalu memeluk dari belakang pria yang sangat dicintainya.
Mereka kini tengah sarapan bersama. Ah, tidak ... lebih tepatnya Emilia yang tengah menyuapi Elang, sedangkan suaminya itu tengah berkutat dengan laptop di pangkuannya. Suara dering ponsel menghentikan kegiatan Elang. Diraihnya ponsel di saku celananya.
"Aku angkat telpon sebentar," ucap Elang pada istrinya. Kemudian ia berjalan menjauh setelah menerima panggilan telpon itu.
Emilia menjadi bertanya-tanya dalam hatinya atas perubahan sikap suaminya. Biasanya Elang akan menerima telpon dan berbicara pada orang yang menelponnya di hadapan Emilia. Namun, kenapa kini ia menghindar? Seolah sedang menerima telpon dari selingkuhannya.
Enggak! Enggak boleh suudzon Em
Kini Emilia dan Elang sudah berada di rumah sakit tempat mereka bekerja. Siap untuk memulai pekerjaannya hari ini.
"Hari ini praktek sampai jam berapa Sayang?" tanya Elang saat mereka berjalan di koridor rumah sakit menuju ruangan mereka.
"Kalau praktek, jadwalnya sampai jam dua, tapi jam empat ada jadwal operasi, mungkin sekitar jam lima, baru bisa pulang. Kenapa?"
Elang menggeleng. "Kita pulang bersama kalau gitu."
Mereka menaiki lift dengan tujuan lantai yang berbeda. Tujuan Emilia adalah lantai lima sedangkan Elang lantai tujuh. Lantai lima dikhususkan untuk ruangan para dokter di rumah sakit Elisabeth. Sedangkan di lantai tujuh selain ruangan direktur, juga terdapat aula dan juga ruangan meeting.
Saat sampai di lantai lima, mereka berpisah. Tak lupa Elang memberikan kecupan di dahi istrinya. Emilia berjalan menuju ruangannya, menaruh tasnya di atas meja. Baru saja ia mendudukkan dirinya di kursi kebesarannya, di balik pintu muncul perempuan yang tengah berbadan dua.
"Pagi-pagi dilarang melamun. Nanti ayam tetangga mati lho," ucap Dona yang kini sudah duduk berhadapan dengan Emilia sambil menyuap satu tusuk sate ke dalam mulutnya.
"Tetangga gue enggak ada yang punya ayam, punyanya anjing buat jagain rumah mereka dari pencuri hati suaminya," jawab Emilia sambil melirik kuah sate padang yang terlihat menggoda.
Dona terkejut dengan jawaban Emilia, sehingga ia pun tersedak. Bukannya membantu mengambilkan minum untuk sahabatnya yang sedang terbatuk-batuk, Emilia malah tergelak melihat wajah Dona yang terlihat lucu menurutnya.
"Sialan lu Em, bukannya bantuin malah ngetawain," kesal Dona pada sahabatnya yang masih saja tertawa.
"Sorry. Muka lu lucu banget," jawabnya sambil berusaha meredakan tawanya.
"Lagian kenapa sih lu pake jawab begitu. Emang bisa ya, anjing dimanfaatkan untuk mengusir pelakor?"
Emilia menghedikan kedua bahunya. Ia lalu menyambar sate yang masih tersisa dua tusuk lalu segera memakannya.
"Lu belum sarapan?"
"Udah."
"Tumben, masih nyerobot makanan gue."
"Beli dimana satenya?
"Di dekat rumah gue. Kenapa? Mau nitip?"
"Boleh deh. Besok bawain dua porsi ya."
"Siap."
Saat Emilia ke luar ruangan hendak menuju ruang operasi, tiba-tiba suaminya menelpon.
"Assalamualaikum. Ada apa Mas?"
"Wa'alaikumsalam. Sayang, kamu nanti pulang bareng Dona atau minta Pak Ardi jemput ya. Aku mau jemput temen dulu di Bandara, dia minta dianterin keliling bkota Solo."
"Siapa Mas?"
"Galang sama istrinya. Rencananya mereka ingin pindah ke sini. Makanya mereka minta sama Mas buat temani cari rumah."
"Ok. Hati-hati Mas."
Elang kini sudah berada di Bandara. Celingukan ke kanan dan ke kiri mencari-cari orang yang akan dijemputnya.
"Hubby," panggil seseorang dari arah belakangnya.
Elang berbalik mendapati Luna berdiri dengan wajah yang pucat. Segera membawa wanita yang dicintainya itu ke dalam pelukannya.
"Kenapa enggak tunggu aku jemput? Memangnya tidak berbahaya naik pesawat untuk wanita hamil? Kalau terjadi apa-apa dengan kamu bagaimana?"
Elang berusaha mengontrol emosinya, supaya tidak membuat istrinya sedih. Ia sangat mengkhawatirkan kondisi Luna yang mengalami mual muntah yang parah.
"Aku cuma ingin selalu dekat sama kamu By. Jadi, aku tinggal di sini lagi ya?" pinta Luna dengan tatapan memelas.
"Nanti bilang ke Bunda kalau aku sakit, jadi aku cuti kuliah gimana?"
Elang menghembuskan nafasnya dengan pelan. Ia membawa Luna untuk duduk di kursi yang tersedia.
"Bunda kamu itu dokter kandungan Sayang."
"Iya Luna tau. Luna juga ingin seperti bunda, tapi otak Luna enggak memenuhi syarat," jawabnya sambil tersenyum tipis.
"Maksudku ... nanti pasti akan ketauan kalau kamu sedang hamil," ucap Elang.
"Ya, bagus dong By. Kita tinggal jelaskan semuanya sama bunda."
"Apa kamu sudah tidak menyayangi bundamu? Sehingga tidak memikirkan lagi bagaimana perasaannya saat tahu yang sebenarnya?"
Elang sungguh tidak menyangka bahwa Luna sama sekali tidak peduli dengan perasaan orang yang menyayanginya dengan tulus. Yang sudah menganggapnya sebagai anaknya sendiri.
"Karena Luna sayang sama bunda, Luna enggak mau menutupinya lebih lama lagi. Cepat atau lambat nantinya bunda akan tau juga 'kan?"
Emilia membukakan pintu saat mendengar suara mobil suaminya. Ia tersenyum lebar saat tau suaminya pulang dengan membawa anak kesayangannya.
"Luna! Bunda kangen Sayang!" teriaknya senang. Berlari menghampiri putrinya lalu memeluknya.
"Luna juga kangen banget sama Bunda," ucap Luna membalas pelukan Emilia dengan erat.
"Kenapa enggak bilang Bunda kalau mau pulang?" tanya Emilia sambil merangkul Luna membawanya masuk ke rumah.
Kini mereka duduk di sofa di ruang tamu yang sangat luas.
"Emm ... Luna memutuskan untuk kuliah di sini saja Bunda. Di Yogya Luna kesepian, ingat Bunda sama Ayah terus," dusta Luna sambil melirik Elang yang duduk di sofa di sampingnya.
"Kenapa kamu selalu susah dihubungi waktu di sana?" tanya Emilia yang kesal karena setiap menghubungi anaknya pasti nomornya sering tidak aktif. Sekalinya aktif pasti tidak dijawab.
"Maafin Luna. Luna sengaja mengabaikan panggilan dari Bunda, supaya Luna enggak teringat Bunda terus."
"Ya sudah, lalu itu keputusan kamu, Bunda hanya bisa mendukung yang terbaik buat kamu."
Setelah makan malam, Emilia dan Elang berada di ruang keluarga. Mereka sedang menonton televisi yang menyajikan hiburan komedi.
"Hoek hoek hoek. By, tolongin aku."
Emilia menoleh ke suaminya.
"Itu Luna bukan?"
Emilia segera menghampiri Luna yang sedang memuntahkan isi perutnya di kamar mandi dekat dapur.
"By ...."
Bi? Siapa yang Luna panggil?
"Kamu kenapa Sayang?"
Emilia membantu memijit tengkuk Luna dengan lembut. Ia meminta tolong bu Maya untuk mengambil minyak kayu putih di kotak obat.
Setelah mendapatkan apa yang diminta, Emilia segera mengoleskan minyak kayu putih itu di bagian tengkuk dan juga perut Luna. Gerakan mengolesi minyak di perut Luna terhenti sesaat, ketika ia merasakan ada yang berbeda.
Tidak, tidak mungkin
Aku pasti salah