1. Bahagia Itu Ya Kita.

1016 Words
Rani Pov "Ma, nanti pulang Basket aku pengen sepatu basket yang baru dong, udah nggak enak nih pake yang ini, kayaknya kakiku cepet banget panjangnya." "Hm.." jawabku tapi mataku masih ke layar ponselku. "Eh tapi Mama ada uang nggak? Kalo belum ada, nanti-nanti aja deh ma, ini sepatunya masih bagus juga," ucap Owie lagi kepadaku. Aku yang sedang membalas WA klien, kini mendongak untuk menatap Owie anak sulungku.. "kalo aa' butuh sepatu baru, pasti mama belikan kok, jangan khawatir. Mama ada uang kok a', yang gak boleh itu beli yang nggak kita butuhkan. Misalnya belinya hanya karena iseng doang atau karena mau gaya-gaya an aja. Nah itu baru mama nggak mau dibelikan. Walaupun mama punya uang nya, kita kan harus hati-hati mempergunakannya. Sekolah kalian masih panjang. Butuh biaya yang besar, jadi mama harus berhemat untuk itu. Aa' kan sekarang kelas satu SMP, dua tahun lagi Nino yang masuk SMP." "Nino perlu sepatu Basket baru juga? " tanyaku kini beralih pada anak bungsuku, Nino Mahendra. Anak yang selalu banyak tanya tapi dia penurut, jangankan sama aku yang ibunya, sama aa' nya juga dia nurut. "Sepatu bekas aa' aja buat aku ma. Masih bagus banget. Kakiku kan dua nomer lebih kecil dari Aa', paling juga sebentar lagi udah muat," jawab Nino. Lalu Owie tos-tosan sama adiknya. "Nanti Aa' cuci sepatunya. Nino bisa simpan dulu. Kardusnya juga masih Aa' simpan kok" Aaah... Punya anak pengertian seperti ini membahagiakan sekali. Walau aku punya pekerjaan paruh waktu sebagai agent property, aku pun masih menyimpan uang asuransi suamiku untuk tabungan sekolah anak-anak. Penghasilanku memang tidak tetap, kadang bulan ini closing, tapi kadang lewat begitu saja tanpa pemasukan. Tapi memang hidup kami tidak berlebihan. Kalau rumah dan mobil saja kami punya. Dulu ketika Papa mereka masih ada, aku tidak dilarang untuk bekerja, walaupun aku memutuskan hanya bekerja paruh waktu agar tetap mempunyai banyak waktu untuk suami dan anak-anak. Penghasilanku pun lumayan dan bisa ditabung. Karena untuk keperluan kami semua sudah dipenuhi Devan. Aku menikah dengan Devan ketika aku masih kuliah di usia dua puluh satu, waktu itu aku sebentar lagi lulus tapi Devan sudah minta nikah, papaku juga mengizinkan.. Devan adalah pacar pertamaku. Dia kakak kelas ku waktu SMA dulu. Kami baru pacaran pas tahun ke dua waktu aku kuliah. Biasalah, cinta berawal dari kata sahabat, lalu meningkat jadi dekat dan terbawa perasaan, hehe. Pada saat kami menikah, Devan sudah bekerja di Perusahaan salah satu perusahaan swasta. Ketika dia diangkat jadi manager, dia langsung memberanikan diri mengajak aku menikah. Kami benar-benar memulai semua dari Nol. Mulai dari sewa apartemen studio, lalu ketika punya Owie, kami bisa mulai mencicil rumah di perumahan menengah, lalu waktu Nino masuk Tk kami bisa mengganti dengan rumah yang lebih besar dan mobil yang lebih bagus. Hidup kami tidak mewah, tapi lebih dari cukup. Anak-anak yang pintar, nurut dan sayang dengan orangtuanya, melengkapi kebahagiaan kami. Tapi ternyata jodoh aku dan Devan untuk bersama dalam mahligai rumah tangga, hanya tiga belas tahun saja. Dan kini aku dan anak-anak ku melanjutkan kebahagiaan itu bertiga. Ya hanya bertiga. "Mama kok melamun, makan dulu sarapannya ma, nanti mama kelaparan karena gak sarapan pas nungguin aku sama Nino latihan basket," ucap Owie mengingatkan ku ketika kedapatan sedang melamun dan tenggelam dalam nostalgia. "Eh iya juga ya. Mama lagi mikirin mengatur waktu antara mengantar klien survey sama mengantar kalian latihan," jawabku berbohong. "Atau Mama lagi kangen Papa yaaaa.. " cengiran Nino menggodaku. Kan...selain banyak tanya anakku ini juga usil, beda sekali sama aa'nya. "Ya kangen laaah, memangnya kalian nggak kangen sama papa? Nanti sore kita ke makam papa yuk, udah 1 bulan kita nggak ke sana." ajak ku. "Pulang dari Mal aja ya ma. Jadi kita nggak bolak balik dari tempat latihan," usul Owie. Aku mengangguk tanda setuju," Ya udah, nanti mama nge drop kalian latihan, trus mama antar klien dulu sebentar, cuma lihat dua rumah aja kok dekat sana, jadi nggak terlalu lama, tapi sepertinya habis latihan kalian harus menunggu tiga puluh menit sampai mama datang. Dari sana kita ke Mal cari sepatu aa' , sekalian makan siang trus lanjut ke makam Papa, jangan lupa sekalian bawa baju ganti ya," ucapku dan mereka.mengangguk menyetujui rencanaku. " Oke Ma," jawab mereka kompak. Kami menyelesaikan sarapan pagi sebelum bersiap pergi. Hari Sabtu yang penuh aktivitas. Inilah weekend kami dari minggu ke minggu. Mereka latihan, aku bekerja dan setelahnya kami akan jalan-jalan dan juga mengunjungi rumah baru Devan di taman makam Tanah kusir.. Kegiatan yang padat, tapi bisa membuat kami melupakan kesedihan dan selalu optimis menghadapi hidup. Kami tidak perlu anggota baru kan untuk bahagia? Hidup itu idealnya memang ingin sesuai rencana kita sendiri. Tetapi ternyata semua sudah diatur oleh sang Pencipta kan?. Manusia tentu saja boleh berharap dan memohon dalam setiap doa yang kita panjatkan. Tetapi yang terbaik tetaplah rencana Allah yang Maha tahu. Kalo aku berfikir kebahagiaan adalah aku, Owie, Nino, anak-anak ku, tapi kalau Allah merencanakan ada sosok lain sebagai pemeran pengganti ayah mereka yang baru, Aku bisa apa? Walau belum pernah terpikirkan apalagi sampai mencari sosok itu. Kalau Allah berkehendak, maka semua akan terjadi. Setelah membereskan beberapa barang diatas meja makan yang perlu aku bawa, sempat juga aku memberi arahan kepada ART ku untuk melakukan beberapa hal sebelum aku pergi mandi. *** "Udah siap boys? " tanyaku ketika melihat mereka sudah di depan TV. Aku baru saja keluar dari kamar, walau dandan sangat simpel ternyata bisa membuat mereka menunggu, berarti aku yang kelamaan. "Udah Ma, tinggal pake sepatu di mobil aja nanti, " " jawab Owie yang sudah rapi dengan jersey basket nya. "Yuk kita jalan sekarang, pastikan nggak ada yang ketinggalan ya a', No, jangan sampai kita bolak balik kayak dua minggu yang lalu ya," aku.memastikan lagi, ini pernah kejadian soalnya, Nino hanya memakai kaos kaki dan dia lupa membawa sepatunya ke mobil. "Udah semua Ma," jawab Owie. "Aku juga sudah ma..." jawab Nino sambil mengecek isi tasnya. "Baju ganti, botol minum, kaos kaki, sepatu, handuk kecil, sudah?" Mereka mengangguk. 'Ok, ayo naik mobil,' ajakku. Kami pun meninggalkan halaman rumah menuju tempat Owie dan Nino latihan basket di daerah Kebayotan jak Sel, sebelum aku menuju tempat aktivitasku selanjutnya .
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD