“Kunci mobil, tas, handphone” Ucap Andin mengabsen satu persatu benda penting yang wajib ia bawa pergi, beberapa kali ia sering melupakan satu atau dua benda penting itu, hingga akhirnya ia harus membuat note berwarna kuning di layar handphone miliknya untuk mengingatkannya tentang benda-benda itu.
“Sepertinya sudah lengkap” Ucapnya dengan pasti.
Andin membawa shoulder bag miliknya yang berwarna hitam dan meletakkannya di tempat seharusnya, tak lupa ia berdiri di depan standing mirror kesayangan yang berada di ruang kerjanya untuk memantaskan penampilannya, kemudian tangan kanannya ia gunakan untuk mengirim pesan kepada Putri yang siang ini mengajaknya makan siang di salah satu tempat makan milik temannya yang baru saja buka.
Sebuah pop up pesan dari Mama Ghidan muncul ketika Andin selesai mengirim pesan kepada putri.
Mama Ghidan:
Ndin, coba kamu kirim pesan ke Ghidan, sudah makan apa belum dia siang ini, ini mama kasih nomornya 08123414xxxx
Andin berfikir sejenak, hendak mengabaikan pesan itu tetapi urung, ia tidak mau di cap menjadi orang yang tidak sopan. Walaupun dia belum tentu jadi menikah dengan anaknya, Andin ingin dikenal menjadi Andin si anak baik, bukan Andin yang tidak sopan.
Me:
Iya bu.
Lha, ibu sudah makan belum?
Setelah selesai menjawab pesan Mama Ghidan, Andin berjalan keluar ruangan. Memasuki lift yang penuh sesak bersama dengan sesama karyawan dari perusahaan lain yang memiliki tujuan yang sama dengan dirinya, makan siang, atau hanya ingin sekedar melepas penat karena pekerjaan yang tiada habisnya.
Lift yang berisi sembilan karyawan dari berbagai perusahaan yang bekerja di gedung yang sama bergerak turun ke lantai satu. Di sela-sela menunggu lift sampai di lantai satu, Andin kembali membaca pesan dari Mama Ghidan yang belum terbalas. Entah kenapa Andin merasa Mama Ghidan ingin sekali mendekatkan dirinya dengan anaknya, padahal jika Andin boleh menilai, Ghidan sama sekali tidak berminat untuk mengenal dirinya lebih.
Ting.
Lift sudah berhenti di lantai satu dan Andin langsung menuju ke tempat mobilnya parkir ketika sudah mendapatkan balasan dari Putri bahwa ia sudah menunggu disana.
“Udah lama nunggu, lo?” Tanya Andin sedikit merasa bersalah sudah membiarkan ibu hamil sendirian menunggunya di dekat mobil miliknya.
“Belum, yuk cepetan aja”
Tidak ingin terlalu lama berbasa basi mengingat jam istrahat yang berbatas waktu, Putri meminta Andin untuk segera menginjak gasnya dan membawa mereka ke tempat makan yang mereka tuju.
“Gimana kemarin dinner sama calon mertua?” Tanya Putri sambil memutar tombol AC ke arah kanan, biasa, ibu hamil kadang suka kegerahan berlebihan katanya.
“Gw diajak makan malam di lesehan”
Andin yakin ia mendapatkan tatapan takjub dari sahabatnya, “Serius lo? Gagal dong mimpi lo makan gratis di hotel berbintang lima, hahahhaa” Tawa Putri renyah, Andin memang belum menceritakan pengalaman menyeramkannya semalam, ia sudah sampai di apartment malam hari dan Andin yakin Putri sudah tidur, jadi tidak mungkin ia memaksa Putri untuk bangun hanya untuk mendengarkan dirinya mengoceh pengalaman pahitnya.
“Terus?” Tanya Putri masih belum puas.
“Terus gw pulang di antar Ghidan, dan lo tau apa yang dia ucapkan ke gw?”
“Apaa?”
“Aku harap kamu tidak berharap lebih dengan pertemuan malam ini” Ucap Andin menirukan ucapan Ghidan, dengan ekspresi semirip mungkin, dengan nada yang Andin ingat.
“Dia bilang gitu? Sialan memang, kalau gw jadi lo udah gw tolak rencana perjodohan ini, Ndin” Kata Putri tidak terima, itu sama saja dia sudah menyakiti sahabatnya.
“Kalau gw bisa udah gw tolak, tapi karena gw ga mau jadi anak durhaka, gw ikutin aja dulu mau kedua orangtua, toh gw yakin juga Ghidan bakalan menolak, biar dia yang dosa bukan gw”
“Ya iya sih, tapi kan kaya gitu udah nyakitin lo banget, Ndin” Putri mengelus pundak Andin untuk memberikan kekuatan kepada sahabatnya, walaupun sebenarnya Putri tahu bahwa Andin tidak selemah itu hanya gara-gara penolakan seorang laki-laki.
“Ga usah dibahas, gw lagi ga mood bahas laki-laki itu”
“Okee” Ucap Putri singkat, ia sudah mengambil tangannya untuk ia letakkan di posisinya semula “Lo tau ga kita mau makan dimana?” Tanya Putri mencoba mengalihkan permbicaraan.
“Ga tau, kan lo yang ngajak”
“Kita mau makan di tempat makan milik Reynand, keren kan dia? Dia sedang merintis bisnis sampingan selain menjadi PNS” Jelas Putri bangga, walaupun bukan siapa-siapanya, tetapi Reynand adalah laki-laki yang ia kenalkan dari suaminya jadi menurut Putri ia juga pantas untuk berbangga hati.
“Udah lo sama Reynand aja, ya? Muka juga ga jelek kok, sama lah kaya lo, standart”
“Sialan, lo” Kata Andin yang sekarang ini benar-benar tambah kesal.
Mereka sudah sampai di sebuah tempat makan pinggir jalan, sebuah ruko kecil yang disulap menjadi tempat makan sederhana untuk para pekerja seperti mereka. Beberapa barang yang berada di tempat makan itu terlihat masih baru, menandakan bahwa memang tempat makan ini baru saja dibuka. Enggan memilih duduk di dalam, Andin dan Putri duduk di tempat duduk bagian luar karena gerah.
“Eh Putri, Andin, jadi kesini kalian?”
Reynand tiba-tiba muncul dari belakang meja kasir, laki-laki dengan postur bongsor dan cenderung kurus itu berpakaian serba hitam layaknya karyawan yang bekerja disini. Senyum yang ia sematkan di wajahnya ia tahan sambil berjalan mendekat ke arah tempat duduk Putri dan Andin.
“Heh, ga kerja lo, Rey? Percuma gw bayar pajak kalau pegawai negri kaya lo sukanya bolos kerja untuk dagang” Kata Andin sok akrab, dia memang tidak terbiasa untuk menjadi kaku walaupun yang Andin ketahui Reynand sempat beberapa kali menanyakan dirinya kepada Putri, artinya laki-laki itu tertarik kepada Andin.
“Enak aja, gw cuti, gw terlalu excited sama opening tempat makan gw, jadi gw ambil cuti tiga hari” Jawab Reynand tidak terima, “Kalian mau pesan apa?”
“Menu andalan aja deh, gw mah suka semua makanan yang penting pedas” Andin berkata sambil melihat-lihat menu yang terpampang di dinding, “Eh gw kayanya mau nyoba rawon nya deh, Rey, yang pedes ya”
“Siap, lo apa, Put?” Kali ini Reynand melihat ke arah Putri.
“Gw pecel aja, telurnya rebus aja kalau ada”
“Ada kok, mohon ditunggu” Kata Reynand kemudian berlalu pergi.
Setelah Reynand pergi untuk menyiapkan pesanan mereka, Andin dan Putri memilih untuk membuka handphone masing-masing. Putri mengirimkan pesan kepada suaminya bahwa ia sedang mencoba menu makan siang di tempat makan milik Reynand bersama Andin, yang tentunya membuat suami Putri kegirangan karena selama ini Reynand selalu menanyakan kapan ia akan dikenalkan dengan Andin. Telefon Putri berdering yang Andin yakini bahwa suami Putri ingin menanyakan pertemuan Andin dan Reynand siang ini.
Andin mendapati balasan pesan dari Mama Ghidan ketika ia sedang membuka aplikasi i********: untuk melihat-lihat daily hack yang selalu bisa membuatnya terpesona dan juga postingan selebgram-selebgram yang sedang berlibur ke luar negri. Seandainya ia bisa seartistik dan secantik Anya Geraldin, mungkin ia lebih memilih menjadi selebgram kemudian terkenal dan cepat kaya.
Mama Ghidan:
Mama sudah makan, gimana sudah kirim pesan ke Ghidan?
Daripada bingung mau menjawab apa, ataupun daripada berbohong kepada wanita super baik bernama Mama Ghidan. Andin dengan asal menyimpan nomor Ghidan kemudian mengirimkan pesan sesuai dengan instruksi Mama Ghidan. Tak mau berharap untuk mendapatkan balasan, Andin memilih untuk memusatkan perhatiannya kepada Putri yang sudah selesai menghubungi suaminya.
“Gimana Rey?” Tanya Putri kepada Andin.
“Gw belum mengenal secara personal, gimana apanya?”
“Kalau diajak kencan, mau ga lo?” Tanya Andin masih menuntut.
“Kok jadi lo yang semangat gini sih, Put?”
“Ya kan gw seneng banget kalau lo sama Rey, setidaknya lingkup pertemanan kita masih sama, jadi gw bisa memata-matai suami gw kalau dia lagi di kantor”
“Suami lo itu tipikal suami setia, ga bakalan macem-macem deh yakin”
“Gw ga mau memata-matain masalah itu, gw mau tau suami gw kalau di kantor suka makan bekal yang gw bawain apa enggak
“Bhaahahaa, kocak lo Put”
Tak lama mereka berbincang akhirnya makan siang yang mereka tunggu pun datang. Tak mau berlama-lama karena memang mereka di kejar waktu akibat dari makan siang yang terlalu jauh dari kantor, Andin dan Putri langsung pamit kembali ke kantor ketika makanan sudah habis.
Andin sampai di ruangannya tepat di pukul 13.15, terlambat lima belas menit dari jatah waktunya makan siang. Untung saja si bos sedang tidak ada di kantor, jadi setidaknya siang ini acara makan siangnya tidak berakibat fatal bagi dirinya. Andin bukan tipe pekerja yang suka bolos apalagi suka memanfaatkan waktu istrahat hingga molor, tetapi ini semua demi Putri. Ia tidak tega menolak keinginan sahabatnya yang sudah mengajaknya beberapa hari yang lalu.
Beep.
Ghidan:
Sudah.
Dasar laki-laki jelmaan Thanos!
Menerima balasan Ghidan, Andin langsung membalas pesan Mama Ghidan. Menyampaikan bahwa ia sudah mengirimkan pesan kepada Ghidan dan sudah mendapat jawaban. Sesimpel itu membahagian orangtua.
Beep
Reynand:
Thanks Ndin sudah mampir, aku harap kita bisa ketemu lagi lain kali.
Senyum terbit di wajah Andin yang sebelumnya kusam akibat terlalu lama di bawah sinar matahari. Wajah yang sebelumnya suram kini berpijar seperti bulan purnama. Daripada memusingkan Ghidan si tuan Thanos, lebih baik Andin mencoba dekat dengan Reynand, si laki-laki idaman Mama versi PNS.
***
Keesokan harinya, lagi-lagi Andin sudah direcoki dengan telfon dari Mama Ghidan. Pukul lima pagi, Mama Ghidan menghubunginya hanya untuk membangunkan Ghidan.
“Ndin, coba telfon bangunin Ghidan, dia hari ini katanya ada rapat penting jam tujuh
“Ma, kenapa bukan Mama sendiri yang telfon?” Jawab Andin tidak lagi menutupi kesalnya, bayangkan saja? Dia baru saja memejamkan mata ketika selesai mengerjakan deadline nya di pukul dua belas malam, dan pukul lima pagi Mama Ghidan sudah membangunkannya hanya untuk menelefon laki-laki yang meliriknya saja tidak sudi.
“Ayolah Ndin, orang sekarang kamu juga sudah bangun toh?” Mama Ghidan memaksa.
Andin menghela nafasnya dalam, kemudian menghembuskannya pelan-pelan. Ilmu ini dia dapat dari internet, katanya bisa membuat rileks dan mengontrol emosi, tetapi sepertinya ilmunya salah, ia masih saja emosi dengan permintaan Mama Ghidan.
“Ma”
“Ndin, dicoba dulu ya”
Huuuft, “Ya Ma, Andin coba, tapi hanya satu kali percobaan, kalau tidak diangkat yasudah ya Ma?”
“Dua kali ya Ndin, kan yang pertama itu coba-coba” Tawar Mama Ghidan.
“Ya, dua kali”
“Nah gitu dong, nanti kabarin Mama, bye”
Klik.
Andin menjatuhkan kepalanya kuat-kuat ke arah kasurnya yang empuk, berharap kesialannya rontok pagi ini. Pagi hari itu seharusnya diawali dengan indah dan penuh semangat, tidak seperti ini! Andin frustasi.
Andin menatap lagi layar handphonenya, mencoba mengenyahkan perasaan marah dari dalam hatinya dengan cara melihat foto profil milik Ghidan yang terlihat sangat tampan.
Usahaa Ndin, usahaaa, siapa tau jodoh
Ucapan-ucapan penuh semangat membuat Andin akhirnya memutuskan untuk mengikuti permintaan Mama Ghidan. Hanya dua kali percobaan, jika tidak diangkat, itu berarti cukup.
Akhirnya, Andin mencoba menghubungi Ghidan.
“Hem”
Andin kaget, pada percobaan pertama dan pada dering pertama, Ghidan sudah menerima panggilannya. Apa dia tidak salah dengar?
“Kalau tidak bersuara, aku matikan”
Andin yakin itu Ghidan, terdengar dari suaranya yang ketus dan dingin.
“Udah bangun?”
“Pertanyaan konyol”
“Ck, jawab aja kenapa sih, Mas? Gw cuma diminta Mama buat bangunin, katanya lo eh kamu ada rapat jam tujuh”
“Aku sudah bangun”
“Oke , good, bye”
Klik.
Andin memutuskan mematikan telefonnya secara sepihak, enggan berinteraksi terlalu lama dengan Ghidan yang mampu membuat kepalanya yang sudah pusing karena kurang tidur semakin tambah pusing.
Sialan Ghidan!