Sebelumnya Andin berfikir bahwa ia tidak akan pernah kembali bertemu dengan Ghidan. Dilihat dari kata-kata Ghidan yang menekankan bahwa ia belum tentu menyetujui perjodohan Mamanya dan juga raut wajah Ghidan ketika mereka selesai berbincang di halaman belakang rumahnya. Tetapi itu semua sirna, ketika hari ini Andin kembali bertemu dengan sosok laki-laki dingin yang selalu membuatnya penasaran itu.
Mereka duduk bersama, di dalam mobil yang sama dengan calon Mama mertua yang terlihat sangat menyayanginya. Andin berfikir bahwa Tuhan sedang berbaik hati kepada salah satu makhluknya yang bernama Andin. Pertemuan keduanya kali ini tentu memberikan harapan-harapan tentang pernikahannya dengan Ghidan. Jika memang Ghidan menolak, pasti mereka tidak akan bertemu lagi bukan? Tetapi nyatanya kini mereka bersama artinya Ghidan setuju, pikirnya congak.
Andin yang sedang dalam mood yang sangat baik, mencoba dengan sekuat tenaga untuk menahan senyumnya. Demi Tuhan, bahkan sekarang ini Andin sedang membayangkan jika mereka jadi menikah, kira-kira mereka akan bulan madu kemana? Mungkin ke Eropa, Maldives atau ke Dubai seperti artis-artis Indonesia kebanyakan. Membayangkan saja sudah mampu membuat perasaan Andin meletup-letup tidak karuan.
Tetapi,
Lupakan bulan madu! Berharap akan dibawa untuk makan malam di restoran mewah atau di hotel berbintang lima oleh calon Mama mertuanya, tetapi Andin justru berada di sebuah lesehan pinggir jalan yang ramai dan penuh sesak. Tenda berwarna hijau dengan tempat duduk lesehan beralaskan tikar menjadi menu pilihan Mama Ghidan untuk mengajaknya makan malam. Kandas sudah harapan Andin untuk makan enak gratis malam ini.
“Pesen apa nduk?” Tanya Mama Ghidan.
“Ayam goreng, terong dan kubis goreng, sambal mentahnya tiga porsi” Jawab Andin mantap.
Andin kecewa tidak jadi makan di restoran mewah, tetapi ayam penyet juga merupakan salah satu primadona menu makan malamnya selama ini. Apalagi informasi dari Mama Ghidan, lesehan ini ramai karena memiliki sambal mentah yang enak dan pedas, kesukaan Mama Ghidan.
Ketika Andin menyebutkan tiga menu makanan tadi dengan lantang, kedua mata milik Ghidan dan Mamanya memandang tak percaya ke arah Andin. Sedangkan yang di tatap hanya bingung, sepertinya ia tidak ada salah bicara bukan? Menu ayam goreng pasti tersedia di lesehan ini? Setelah Ghidan dan Mama Ghidan ikut mengatakan menu makanan yang mereka pilih, Andin merasa bahwa memang dia tidak ada salah kata, ia kembali bersikap santai seperti biasa.
“Pulang selalu tepat waktu ya, Ndin?” Ini masih pertanyaan dari Mama Ghidan, sedangkan laki-laki itu masih saja sibuk bermain dengan handphonenya.
“Iya bu, soalnya kalaupun ada pekerjaan saya masih bisa bawa pulang”
“Ooh, itu lho Ghidan, catat jadwal Andin pulang selalu tepat waktu” Kata Mamanya yang kini diarahkan ke anaknya.
Ghidan hanya melirik ke arah Mamanya dan Andin, kemudian kembali menekuni handphonenya tanpa menjawab kalimat Mamanya.
Memang kalau laki-laki tampan dan kaya apa tidak bisa menghormati orang lain?Kalau memang tidak suka sama Andin tidak apa-apa, tetapi setidaknya Ghidan harus sedikit menghormati Mamanya.
“Ibu suka makan ayam penyet?” Tanya Andin mengalihkan pembicaraan.
“Suka, Mama suka makan pedas, Ndin”
“Waah, sama bu, Andin juga suka, kapan-kapan ibu kalau mau saya bikinin ayam goreng bumbu kuning sama sambal mentah yang pakai jeruk limau itu bu, kata Mama Andin, Andin kalau bikin sambal nendang” Jawabnya bangga. Tidak ada niatan untuk berpura-pura ingin menjadi dekat dengan sosok Mama Ghidan, ia memang senang jika ada orang yang satu frekuensi dengan dirinya. Pecinta sambal.
“Boleh, boleh, kapan-kapan Andin main kerumah Mama”
“Siaaap”
Menu makanan sudah datang, membuat perut yang lapar meronta-ronta ingin segera diisi. Ayam goreng yang masih panas dengan nasi yang masih mengepulkan asapnya, ditambah sambal mentah merah merona yang begitu menggugah selera. Andin langsung mengambil piring dan menuangkan dua centong nasi, mengambil ayam miliknya dan tak lupa mendekatkan terong, kubis dan sambal ke piringnya. Namun sekali lagi, Andin mendapatkan tatapan takjub dari kedua orang yang ikut duduk bersamanya membuat Andin menghentikan pergerakannya yang hendak mencuci tangan.
“Ndin, kamu ambilin nasi untuk Ghidan sana” Pinta Mama Ghidan, yang membuat Andin refleks langsung melihat ke arah dua tangan Ghidan. Apa laki-laki itu tidak bisa menggerakan tangannya sendiri sehingga harus dia yang mengambilkan nasi?
Tak ingin durhaka karena melawan permintaan orangtua, Andin menurut apa yang dikatakan Mama Ghidan, “I..iya Ma eh bu, maaf”
Andin hendak mengambilkan nasi sama dengan porsinya karena enggan bertanya, namun pada tuangan kedua tangan Ghidan terangkat.
“Cukup”
“Serius, Mas?” Tanya Andin, ia benar-benar tidak percaya. Yang Andin ketahui laki-laki biasanya memiliki porsi yang lebih besar ketika makan. Apalagi Arjun, adiknya, jika makan apalagi makan malam ia akan selalu menghabiskan nasi di dalam ceting.
“Saya mengurangi konsumsi karbo”
“Oh” Jawab Andin, masih tak percaya.
“Andin keren ya Dan, ga kaya cewe-cewe lebay yang suka malu-malu kalau makan, suka pilih-pilih” Kata Mama Ghidan yang tersenyum sambil menatap Andin, seperti tak percaya, “Makan banyak juga ga gemuk, idaman wanita banget lho, Ndin” Tambahnya.
Andin hanya tersenyum malu, cukup bangga dengan pujian calon mertuanya. Jika dilihat dari postur tubuh, Andin memang tidak terlalu buruk. Ia memiliki tinggi seratus enam puluh tiga centimeter dengan perut rata dan badan langsing dari lahir. Ia juga baru menyadari bahwa sebanyak apapun ia makan, ia tidak akan gendut seperti keluhan teman-temannya selama ini.
“Kurus kalau ga sehat juga ga baik Ma, contohnya kurus karena penyakit diabetes, walaupun makan banyak penderita diabetes tetap kurus” Celetuk Ghidan dengan tangan yang mulai mengambil ayam dan meletakkannya di piring miliknya.
Seketika Andin merasa bahwa Ghidan adalah salah satu laki-laki dengan mulut terpedas yang tidak suka melihatnya bahagia. Ingin sekali ia menendang kaki Ghidan yang saat ini duduk di depannya, tanda protes! Tetapi ia tidak enak hati dengan Mama Ghidan yang sangat ia hormati. Dan yang Andin lakukan adalah mengambil ayamnya dan mematahkannya menjadi dua bagian dengan bengis sambil melihat ke arah Ghidan. Membayangkan jika ayam goreng itu adalah Ghidan.
“Enak ga, Ndin?” Tanya Mama Ghidan.
“Enak, bu! Enak banget” Jawab Andin jujur, ayamnya lembut di dalam tapi gurih dan renyah di bagian luar. Dan sambalnya? Jangan ditanya lagi, nendang abis.
“Disini satu-satunya lesehan yang Ghidan mau, biasanya dia selalu pilih-pilih makanan
“Ini juga karena Mama yang maksa” Kata Ghidan judes.
Laki-laki itu terlihat membuang kulit ayam dan menyisakan daging ayam yang berwarna putih. Ketika melihat kulit ayam yang seperti terbuang sia-sia terpinggir di piring Ghidan, ingin sekali Andin berteriak di depan Ghidan betapa nikmatnya kulit ayam yang renyah! Bahkan kebiasaan Andin yang tentu merupakan kebiasaan sebagian besar masyarakat seluruh Indonesia adalah menyisakan kulit ayam untuk dimakan paling terakhir, karena demi apapun itu, kulit ayam adalah bagian terfavorit untuk kalangan pecinta penyetan seperti dirinya.
Namun tentu Andin masih memiliki harga diri untuk tidak mencomot kulit ayam milik Ghidan, jika tidak ia akan semakin ditendang dari barisan calon istri potensial pilihan Mama Ghidan.
Makan malam selesai tidak terlalu lama, karena mereka memang tidak memiliki segudang obrolan yang membuat betah untuk tinggal. Sekarang ini, mereka sudah sampai di perumahan elite untuk mengantarkan Mama Ghidan pulang. Lima belas menit dari tempat lesehan tempat mereka makan, mereka sudah sampai di depan rumah besar dengan tembok tinggi yang tidak bisa Andin intip dalamnya. Tetapi dipastikan dari luar, bahwa rumah Mama Ghidan luas dan mewah. Dilihat dari pagar yang terlihat artistik dan lampu-lampu bulat yang berada di setiap sisinya, Andin yakin bahwa mereka memang bukanlah orang biasa. Mungkin lain kali ingatkan Andin untuk bertanya kepada Mamanya, bagaimana dia bisa berteman dengan Mama Ghidan hingga akan menjodohkan anak mereka berdua. Andin juga kepo!
“Ghidan anterin Andin pulang ke apartementnya ya” Kata Mama Ghidan ketika ia hendak keluar diikuti Andin yang ikut turun.
“Ya, Ma” Jawab Ghidan patuh.
Andin berbasa basi mengucapkan terima kasih kepada Mama Ghidan yang sudah mengajaknya makan malam. Kemudian ia bercipika-cipiki dan pamit. Andin diajak masuk ke dalam halaman rumah untuk menunggu Ghidan yang sedang mengambil mobilnya. Jika dilihat dari luar rumah Mama Ghidan mewah, ketika masuk ke dalam pelataran rumahnya itu terlihat lebih mewah. Pelataran rumah Mama Ghidan luas, ada taman yang melingkari setiap sisinya. Sebuah kolam ikan yang tidak terlalu luas terlihat begitu menonjol di tengah taman, lampu-lampu yang menghiasi setiap sisi kolam ditambah pohon bambu kuning yang semakin menambah kesan nature di taman milik Mama Ghidan.
Apalagi jika ia masuk ke dalam rumahnya ya? Pasti lebih mewah! Pikir Andin.
Sebuah mobil Range Rover putih muncul dari dalam parkir lebih dalam, yang bisa Andin yakini bahwa itu adalah mobil milik Ghidan. Dalam hati Andin, bagaimana bisa ia tiba-tiba menjadi cinderella yang bisa bertemu dengan pangeran setampan dan sekaya Ghidan? Selama ini ia sering membaca cerita-cerita romansa novel milik penulisnya yang mengisahkan perempuan biasa yang mendapatkan jodoh seorang laki-laki tampan dan kaya. Tetapi selalu ada sesuatu yang menonjol dari peran perempuannya, kalau tidak cantik, baik hati dan lemah lembut, penyayang dan berbudi pekerti luhur, tetapi Andin? Sama sekali tidak.
“Masuk” Kata Ghidan dingin yang langsung membuyarkan bayangan Andin tentang pangeran tampan baik hati yang jatuh cinta dengan seorang perempuan biasa. Yang ada sekarang adalah Ghidan yang sombong dan terlihat sangat tidak suka berdekatan dengannya.
Menuruti kata Ghidan, Andin masuk di kursi samping pengemudi dalam diam. Melihat Ghidan yang enggan membuka pembicaraan terlebih dahulu membuat Andin pun enggan melakukan hal yang sama. Ia lebih memilih menikmati pemandangan kota Jakarta dengan gemerlap lampu warna warni yang menghiasi malam ini.
“Aku harap kamu tidak berharap lebih dengan pertemuan malam ini”
Suara Ghidan dan kalimat tidak mengenakan yang Andin dengar memaksa Andin untuk memusatkan perhatiannya ke arah Ghidan. Laki-laki itu masih menatap ke arah jalan dengan kedua tangan yang kaku mengendalikan setir mobil.
“Tidak usah khawatir Tuan Ghidan, saya tidak sedikitpun berfikir hal-hal diluar batas kewajaran saya” Bohongnya.
Padahal sejak awal pertemuan mereka, Andin sibuk membayangkan bagaimana rasanya jika ia menikah dengan Ghidan. Bahkan pikirannya mempertanyakan kemana mereka akan bulan madu jika jadi menikah. Tetapi kalimat Ghidan langsung menelungsupkan bayangan manis Andin kedasar palung bumi, bertemu dengan cacing nematode.
“Jikapun tidak berkenan gw bisa pulang sendiri naik taksi, ga perlu repot-repot lo anter” Tambah Andin marah
“Jangan berlebihan, aku tidak mungkin membiarkan seorang perempuan pulang sendirian setelah diajak Mama makan malam” Jawab Ghidan masih dengan nada rendah walaupun ia bisa mendengar sedikit intonasi tinggi pada nada bicara kalimat Andin.
Andin hanya terdiam, ia hanya akan duduk diam hingga sampai ke apartement dengan selamat. Dan setelahnya, Andin berjanji ini akan menjadi last hello untuk seorang laki-laki bernama Ghidan Abimanyu Bramantya.
Mereka sudah sampai di lobby apartment Andin dalam waktu yang cukup cepat, karena memang Jakarta tidak terlalu macet di malam hari ini, membuat Andin bersyukur karena artinya dia tidak membutuhkan waktu yang lebih lama untuk duduk berdua bersama laki-laki dingin di sampingnya.
“Terima kasih” Ucapnya sopan, walaupun ia tidak bisa menutupi nada ketus yang terdengar pada kalimatnya.
“Ndin” Ghidan mencoba mencegah Andin pergi, bahkan laki-laki itu mengunci mobilnya dari tempatnya duduk untuk menahan Andin.
“Apa?”
“Ga usah ngambek gitu, aku cuma-“
“Lo apaan sih? Kalau lo mau nolak perjodohan, lo tinggal bilang aja ke Mama, udah! Ga usah mikirin gw” Andin mengucapkan dengan nada menggebu-gebu, pasalnya sekarang ini, raut wajah Ghidan berubah menjadi raut wajah bingung yang menggemaskan, membuat Andin harus berkali-kali menahan untuk tidak kembali jatuh kepada laki-laki itu.
“Bukan itu maksudku, yaudah sih, ga usah ngambek gitu” Ghidan terlihat bingung dan putus asa untuk menjelaskan kepada Andin.
“Gw ga ngambek, udah? Sekarang buka kunci gw mau keluar, capek! Masih banyak kerjaan!”
“Jangan gw - lo, Ndin”
Maksudnya apa sih ni orang? Suruh manggil ‘sayang’ gitu?
“Ya sudah Mas Ghidan, Andin masuk dulu ya, capek banget, masih bawa banyak kerjaan tadi dari kantor” Kata Andin dengan nada lembut yang dibuat-buat.
“Nah, gitu, oke” Kata Ghidan kemudian sambil membuka kunci pintu mobil.
Sinting memang!