Rasanya waktu begitu cepat berlalu, semenjak Mama menghubungi untuk meminta Andin datang ke acara lamaran hari ini. Bisa diibaratkan, langkah Andin terseok-seok mendatangi rumahnya yang tentu berbeda dengan bingar kebahagiaan yang dinampakan Mama-nya ketika matanya bersibobrok dengan penampakan Andin pertama kali.
Tidak seperti wanita-wanita biasanya yang mempersiapkan acara lamaran dengan paripurna, perawatan ke salon, baju yang indah hingga pernak-pernik acara yang melengkapi awal perjanjian untuk sehidup semati, tetapi Andin berbeda! Wanita itu hanya mengenakan kemeja polos berwarna merah maroon yang ia padukan dengan celana khaki hitam yang biasa ia gunakan untuk bekerja. Rambutnya yang panjang ia biarkan tergerai, seperti biasa, seperti Andin. Ia tidak ingin memukau siapapun, bahkan ia sangat berharap besar calon suaminya akan mundur dari peperangan ketika melihat Andin yang terlihat sangat biasa-biasa saja.
“Keluarga calon suamimu udah dateng, yuk Mama temenin keluar”
Ada sedikit tarikan dari tangan Mamanya untuk memaksa Andin berdiri, dengan tetap mempertahankan senyum yang jika dilihat samar, Mama tidak menyukai respon Andin yang malas-malasan. Tetapi wanita itu tidak akan marah, Andin sudah datang dan mengikuti acara pertemuan dua keluarga seperti sekarang sudah cukup baik menurutnya.
Sudah dibilang di awal bahwa Andin bukan tipikal orang yang tidak sopan, walaupun raut wajahnya datar, Andin tetap menunjukkan senyum terbaiknya untuk menyambut keluarga calon suaminya.
“Ini anaknya, namanya Andin, Jeng”
“Woalaaah, ayu tenan nduk” (Cantik sekali) Ucap seorang Ibu yang mungkin seumuran dengan ibunya, pakaiannya rapi dengan rambut yang disanggul kecil.
Andin paham bahasa ibu itu yang jika dilihat dari penampilannya Andin pastikan bahwa ia adalah calon mertuanya. Andin hanya membalas tersenyum dengan kepura-puraan karena Andin yakin apa yang dilontarkan calon Mama mertuanya pun hanyalah kepura-puraan.
“Matur nuwun lho Jeng” (Terima kasih lho Jenk) Jawab Mama Andin.
“Nah ini saya juga mau kenalkan anak saya, namanya Ghidan Abimanyu Bramantya, usianya tiga puluh tahun sama ya kaya Andin” Ucap calon Mama Mertua
“Ganteng, rupawan, wah mantep pokoknya” Tentu saja ini adalah jawaban Mama Andin.
Andin yang sedang menikmati posisi menunduknya merasakan senggolan di lengannya ketika mendengar Mamanya mengucapkan kalimat pujian untuk calon suaminya. Ia sama sekali tidak berminat melihat rupa calon suaminya. Dan dengan pelan ia mengangkat kepalanya.
Matanya akhirnya bertemu dengan sosok calon suami yang selalu digadang-gadangkan Mamanya. Satu hal yang ada di dalam pikirannya ketika ia melihat rupa calon suaminya.
Bagaimana bisa laki-laki setampan itu ingin menikah dengan sebuah perjodohan?
Laki-laki itu sama seperti dirinya, hanya menyunggingkan senyum tipis tanda menghormati kedua orangtua yang berada disini. Berpawakan tinggi besar dengan jas hitam yang melengkapi penampilannya malam ini. Setidaknya ia lebih prepare dibanding Andin malam ini, karena laki-laki itu mengenakan jas terbaiknya, mungkin! Kulit sawo matang, tidak putih tapi bersih. Cambang halus bisa terlihat di bagian dagu yang merata hingga mendekati telinga. Bibirnya merah, menandakan bahwa laki-laki itu tentu bukan perokok, dan Andin suka. Apalagi jika bibir itu dicium pasti rasanya manis.
Andin menggeleng-gelengkan kepalanya ketika pikiran kotornya semakin tak terkendali. Dia masih harus bisa mempertahankan harga dirinya walaupun jika ditanya sekarang juga, apa ia mau menerima lamaran Ghidan? Tentu dengan cepat Andin akan menjawab, Ya!.
Namun kecewanya Andin, malam ini bukanlah acara lamaran sama yang seperti yang ia pikirkan. Tetapi malam ini hanyalah perkenalan kedua keluarga untuk saling mengenal lebih jauh. Begitupun bagi Andin dan Ghidan.
Keduanya kini sedang berada di taman belakang rumah Andin, ditemani dengan bunyi cipratan air di kolam ikan milik Papa yang akan menjadi next project untuk akun youtube-nya. Dua cangkir teh hangat dan kue brownies menemani kecanggungan yang mereka rasakan. Bahkan beberapa kali Andin harus pura-pura mengusir nyamuk hanya demi mengisi suasana.
Ayolah Andin, ini bukan kali pertama lo berbicara tatap muka dengan laki-laki.
“Kerja dimana?” Tanya Ghidan di awal perbincangan mereka.
Boleh Andin menambahkan tentang penilaian Ghidan? Suaranya renyah, ngebass, pokoknya enak banget untuk didengar.
“Di Pena-ku, platform menulis, tau?”
Ghidan menggeleng, “Aku awam di bidang itu”
“Ooh” Jawab Andin singkat.
“Sebagai apa?” Tanya Ghidan sekali lagi,
“Editor”
Andin mengutuk jawabannya yang singkat. Ayolah, percakapan ini bukanlah wawancara? Dan dia bukan amatiran untuk membuka perbincangan. Dia sudah sering bertemu dan menghandle penulis-penulis yang kadang begitu banyak maunya. Kenapa sekarang hanya bertemu dengan seorang Ghidan dia bisa kicep begini?
“Mas Ghidan kerja dimana?” Andin merasa lidahnya sedikit kepleset ketika menambahkan embel-embel kata ‘Mas” dibelakang nama Ghidan.
“Saya bekerja di sebuah perusahaan Developer perumahan”
“Oh, jadi marketing?”
“Bukan”
“Arsitek?”
“Bukan”
“terus?”
“Saya yang punya perusahaan”
Sombong!
Tetapi Andin suka! Setidaknya jika ia menikah dengan orang kaya tentu hidupnya akan semakin terjamin bukan? Ia tidak perlu memikirkan biaya ketika akan menyekolahkan anaknya di sekolah bertaraf internasional. Atau mungkin ia bisa melakukan operasi plastik di korea agar bisa sedikit mengimbangi ketampanan suaminya.
“Oh, keren”
“Kalau boleh aku menghitung, kamu sudah mengucapkan kata ‘oh’ sebanyak tiga kali”
“Oh, iyakah?”
“Empat kali sekarang”
“Haha” Keduanya tertawa.
Andin memperhatikan wajah Ghidan dari dekat ketika laki-laki itu mengalihkan tatapannya. Dan yang Andin rasakan adalah kenyamanan dan rasa kagum. Diusianya yang masih muda, Ghidan sudah mendapatkan pencapaian yang menurut Andin luar biasa. Tetapi kenapa laki-laki seperti Ghidan harus menikah dengan sebuah perjodohan? Apa itu tidak aneh?
“Mas Ghidan, boleh saya menanyakan sesuatu?”
“Tentu, kita berdua disini memang tujuannya untuk saling bertanya”
“Apa Mas Ghidan tau maksud dari pertemuan kita berdua?”
“Tahu”
“Apa?”
“Perjodohan?”
“Dan kenapa Mas Ghidan mau dijodohkan?”
Ghidan kembali tersenyum, “Mmm.. Aku belum tentu mau, Mama hanya menawarkan perjodohan tetapi keputusan tetap ada di aku”
Andin berharap bahwa dirinya atau Ghidan kemudian akan menghilang ditelan bumi. Rasa terlalu percaya diri dan antusiasme ketika pertama kali melihat Ghidan yang begitu sempurna membuat logika Andin mogok. Bukankah diawal tadi sudah dijelaskan kalau mereka hanya saling mengenal? Belum tentu Ghidan menerima perjodohan ini bukan?
Ah, Andin pengen nangis kemudian menghilang di balik bantal tempat tidurnya.
“Oh, iya juga sih, hehe” Jawab Andin untuk menutupi rasa malunya.
“Lebih baik kita masuk saja, Mas! Banyak nyamuk, kayanya mereka sedang berpesta deh dengan kedatangan kita disini” Andin ingin melarikan diri dengan beralasan nyamuk, bahkan kedua tangannya ia tepuk-tepukan diudara untuk semakin membuat actingnya meyakinkan, “Yuk, mas”
Ghidan masih terdiam, pandangannya terpusat di kolam ikan Papa Andin yang sama sekali tidak ada indah-indahnya.
“Aku masuk dulu deh, mau pipis juga mas”
Tak kunjung mendapatkan jawaban, Andin berdiri dan berniat pergi. Namun cekalan di tangannya membuat langkahnya terhenti. Ia memusatkan perhatiannya kepada Ghidan dengan raut wajah yang mengisyaratkan pertanyaan.
“Kalau kamu? Kenapa kamu terima 'rencana' perjodohan ini?” Tanya Ghidan dengan menekankan intonasi di kata ‘rencana’
“Soalnya saya udah tua, jadi Mama maksa buat nikah, padahal saya sebenarnya nyaman-nyaman aja sendiri” Jawab Andin dengan berusaha melepaskan cekalan tangan Ghidan.
Terserah bagaimana tanggapan laki-laki itu, Andin sudah tidak berminat dengan perjodohan ini. Ghidan sudah membuatnya malu, dan lagi pula Andin yakin bahwa Ghidan tidak akan menerima rencana perjodohan dengan wanita biasa saja seperti dirinya. Ya sudah, dia beberkan saja alasan yang memang kenyataan.
Ketika cekalan tangan Ghidan terlepas Andin langsung memanfaatkan kesempatan ini untuk pergi tanpa lagi melihat ke arah Ghidan.
Laki-laki ganteng mapan kebanyakan sialan!