BAB 02

1438 Words
“Bagaimana dengan semuanya, apakah berjalan dengan baik?” tanya pria yang berkisaran umur pertengahan tiga puluh sedang menyesap wine sambil melihat pemandangan gemerlapnya kota Miami.  “Semua sudah berjalan hingga tujuh puluh persen, Tuan. Tapi, ada satu hal yang masih dalam proses penanganan,” adu pria besar itu. Sebenarnya ia tak mau bercerita tentang hal yang membuat sang atasan benci tapi ia tahu bahwa semua kejadian harus ia laporkan tanpa ada kebohongan sedikitpun.  “Apa itu?” Tangannya menggenggam erat sloki yang dia pegang. Ia tak menyukai segala sesuatu yang menghambat pekerjaannya termasuk batu kerikil yang paling kecil. Jika semua bisa dikerjakan dengan mudah kenapa harus ada yang menghambatnya.  “Ada satu keluarga yang tidak ingin berpindah dan masih memperkukuh  tempat tinggalnya.”  Sekarang sudah jelas siapa yang menghambat pekerjaannya, tapi apa mungkin orang-orang yang sudah ia bayar tak sanggup melakukan sesuatu agar hama itu hilang dalam seketika? Pria itu membalikkan tubuhnya, melihat sang asisten yang sedang berdiri tak jauh darinya. Tapi matanya menyipit saat mengetahui ada perban yang menghiasi di kening pria itu.  “Ada apa dengan dahimu, Carlos?”  Yang ditanya malah diam sejenak. “Saya baru saja mengalami kecelakaan kecil, Tuan Alli.” Tak ingin membuat tuannya merasakan hal yang khawatir.  Tapi jawaban itu membuat pria bernama Alli semakin mengernyitkan dahi. “Selama kau bekerja denganku, aku sangat yakin kau tak akan pernah melakukan kesalahan apalagi kecelakaan seperti ini.”  Carlos diam saja, karena memang seperti itu nyatanya. Dia selama bekerja dengan Alliadrew sangat berhati-hati dalam melangkah apalagi mengambil keputusan.  “Saya tidak apa, Tuan. Terima kasih sudah bertanya.” Carlos membungkukkan badannya.  Alli tak ingin berdebat, jika Carlos mengatakan seperti itu memang ada kemungkinan ia tak apa. “Jadi, mengapa mereka masih bersikukuh untuk mempertahankan yang mereka tahu bahwa itu bukan milik mereka?” Alli duduk di sofa hitamnya, kaki panjang itu menumpu pada kaki yang lain.  Carlos ikut terduduk di hadapan atasannya. Ia membuka tasnya dan memberikan salinan kertas kepada Alli. “Mereka meyakini jika tanah itu adalah tanah mereka yang sudah lama ditinggali, mereka mendapatkan tempat itu dari sahabat tuan Jorell. Di sini aku yakini mereka di tipu habis-habisan oleh laki-laki yang bernama Louis.”  “Louis?”  “Ya, rekan bisnis Anda beberapa tahun lalu dan sekarang masuk penjara karena memiliki hutang dan terbukti penggelapan dana pembangunan.” Penjelasan yang Carlos berikan membuat Alli memegang bakal janggut. Oh ternyata ada senyum yang dipermainkan oleh binatang lainnya. “Bagaimana kau mengetahuinya?” tanya Alli lagi guna memastikan.  “Saya sempat melihat isi berkas itu dan … ya ada nama Louis Anderson yang juga ikut bertanda tangan di sana. Dan mereka juga mengatakan sudah membeli tempat itu sebesar tiga ribu dolar,” jelas Carlos lagi.  “Apakah kau tahu sudah berapa lama mereka tinggal di sana?”  “Menurut kabar yang saya dapatkan hampir dua puluh tahun mereka menetap di sana dan juga membuka toko kecil-kecilan,” jawab Carlos.  Hal yang baru lagi bagi Alli, jadi sekarang ia bersaing dengan orang yang juga sedang membuka usaha? Bibirnya menyungging.  “Apa yang mereka jual?” Bertanya lebih jauh adalah salah satu yang pebisnis tersohor ini lakukan, guna mengetahui lawannya walaupun sebesar semut yang suka mengganggu.  “Kerajinan pernak-pernik dan juga penyewaan papan selancar.” Carlos tersenyum saat melihat atasannya juga ikut tersenyum. Namun ia mengetahui bahwa senyum itu lain daripada biasanya.  “Berapa kompensasi yang kau berikan pada mereka?” desak Alli.  “Lima ribu dolar.”  Gelas yang tadinya di atas meja sudah berpindah dari ke dinding ruangan megah ini. “Kau memberikan uang secara percuma dengan nilai yang sebegitu banyaknya?”  Carlos tertegun, apakah saat ini ia salah melangkah? Tapi menurutnya tidak, lima ribu dolar adalah uang kompensasi yang masuk akal menurutnya.  “Maaf, Tuan saya tidak mengerti—“  “Kau bodoh atau bagaimana!? Lima ribu dolar untuk keluarga yang sudah menempati wilayahku? Apa aku terlalu baik pada orang-orang hingga kau memberikan keluarga itu jumlah yang tak masuk akal!?” berang Alli.  Carlos mengamati tuannya yang sudah diambang kemarahan. Padahal lima ribu dolar adalah uang yang tidak seberapa bagi Alli tapi kenapa dipermasalahkan. “Baik, Tuan. Saya akan bernego—“  “Tidak ada negosiasi terhadap siapa pun. Berikan mereka setengah dari penawaran sebelumnya. Aku tak ingin mengeluarkan uang lebih hanya untuk rakyat miskin yang sudah menghambat ketenanganku.” Alli memutuskan hal yang membuat Carlos harus memutar otak. Bagaimana tidak, keluarga Jorell yang diberikan penawaran sesuai saja tidak mau mengambil tindakan. Apalagi  sekarang. Siapa yang mau dipaksa pindah dari tempat tinggalnya secara mendadak dan hanya diberikan uang sebesar 2500 dolar.  “Tapi apa itu tidak terlalu rendah, Tuan?” tanya Carlos mencoba bernegosiasi pada Alli.  “Tidak ada harga rendah yang sudah kuberikan. Kau bisa langsung memberikannya atau kau memilih opsi lain?” tantang Alli.  “Opsi lain?”  “Keluarkan mereka secara paksa dan jangan pernah berikan sedikit pun uang kepada mereka. Kau memilih yang mana?”  Dan sekarang Carlos tahu, seorang Alliadrew Gastovo sedang menunjukkan eksistensinya pada dunia. Siapa yang paling berkuasa di sini, pebisnis andal juga tersohor di belahan bumi Amerika Serikat. Ya pria angkuh ini orangnya.  “Dan aku yakin kau pasti memilih opsi yang pertama.” Alli menyunggingkan senyum liciknya pada Carlos. Ia tahu asistennya adalah salah satu orang yang memiliki sifat royal terhadap orang lain. Itu berbanding terbalik padanya. Dan ia lebih memperhitungkan hasil kerja kerasnya selama ini. Semua pendapatan yang ia lakukan adalah hasil keringatnya sendiri, Maka dari itu ia tak akan pernah menghambur-hamburkan uang untuk orang lain yang tak ada sangkut pautnya dengan keluarga. Terkecuali ada sesuatu pengecualian itu sendiri.  “Baik, Tuan. Saya akan memberikan penawaran yang sudah Tuan sepakati.” Carlos mendesah napasnya berat. Sekali lagi, mungkin bukan dahinya yang akan dilempar gelas oleh perempuan itu melainkan kaki, tangan atau wajah tampannya yang menjadi sasaran selanjutnya.  *** Tak seperti biasa, malam ini menjadi malam yang paling memilukan buat Azzura. Yang biasanya setiap malam ayahnya selalu bersenandung menggunakan gitar di luar rumah namun sekarang tidak lagi. Pikiran mereka bertiga semakin kalut sejak kejadian petang tadi. Pria bernama Carlos itu dengan santainya memberikan kabar yang berisikan kesedihan bagi mereka.  Seperti sekarang, Azzura lebih sibuk memainkan makan malamnya menggunakan garpu. Ia benar-benar tak berselera dengan hidangan yang sudah ibunya buatkan.  “Kenapa kau tak memakan makananmu, Sayang?” tanya ibunya.  Azzura tersenyum tanda menanggapi. “Ayah tak ikut makan bersama kita, Bu?” tanya Azzura.  “Ayah sedang di kamar, beristirahat. Ia tadi juga berpesan buatmu untuk tidak usah memikirkan dirinya dan makanlah dengan tenang.”  Azzura sedih melihat kedua orang tuanya yang berusaha sabar dan tak menampakkan kesedihan di depannya. Tapi meskipun demikian, ia juga masih terpikir masalah itu.  “Pria yang bernama Carlos itu sungguh kejam ya, Bu.” Azzura menyendokkan makanannya meskipun sambil berbicara. “Dia orang asing yang dengan mudahnya membuat orang seperti kita tersingkir dengan mudahnya.”  Amallia mendesah. Ia tak tahu harus berbuat apa. Yang ada dipikirannya sekarang ia harus membuktikan keabsahan sertifikat yang mereka miliki ke notaris besok pagi. Dan ia berharap, semua pikiran negatifnya tak terjadi.  “Besok kita membuktikan kebenarannya, Sayang.” Amallia tahu, jika ia ikut bersedih di depan Azzura yang ada nanti anak perempuannya itu malah akan berbuat nekat dan terjadilah hal yang tidak memungkinkan. Salah satu sikapnya kini adalah menenangkan diri, anak dan juga suaminya. Karena jika ia ikut kalut, maka semua akan menjadi runyam.   “Tapi aku yakin jika ini benar-benar rumah kita,” tukas Azzura dengan menggebu. Ia tak mau seperti warga di belahan dunia lain, menerima apa saja yang dilakukan oleh pengembang kepada rakyat kecil seperti mereka. Ia juga memiliki hak untuk tinggal di sini dan hidup dengan tenang.  “Ya, kau benar. Kita harus percaya dengan keyakinan kita dan tekad yang kita miliki, Zura.” Ibunya memegang tangan Azzura untuk memberikan kekuatan.  “Apa kau berniat untuk bermain di pantai saat ini?” ajak Amellia yang sudah berdiri dari kursi makannya.  “Tapi air laut sedang pasang dan juga anginnya sedang kencang.” Azzura juga mengikuti ibunya berdiri. “Sejak kapan kau mempermasalahkan hal semacam itu, Zura?” Amellia mengikat rambutnya begitu pula dengan Azzura.  Bermain di pantai pada malam hari sebenarnya menjadi rutinitas yang Azzura lakukan entah sendiri, bersama orang tua atau bahkan bersama sahabatnya yang lain. Tapi, untuk sekarang ia malas untuk melakukan apa-apa dan lebih memilih berdiam di kamar.  “Kau bisa membantu Ibu untuk mencari kerang, bagaimana?” tawar Amellia pada anaknya yang sudah bersiap hendak ke kamar.  “Malam-malam seperti ini?”  Anggukan yang diberikan Ibu, membuat Azzura mau tak mau mengikuti keinginan sang ibu. Azzura tahu ibunya sedang menahan kesedihan dengan mencari kegiatan yang mungkin bahkan bisa melupakan segala sesuatu permasalahan. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD