Setelah Cerai (3)

858 Words
Setelah cerai, apapun bisa berubah. Termasuk yang dulu begitu manis dan indah, akan berubah menjadi kelabu. Itu yang dirasakan Rumaisha saat ini. Perhatian Arka terasa menyakitkan. "Jangan egois, Rum. Anakku ingin aku membetulkan robotnya. Menyingkirlah." Tanpa di duga Arka mendorong tubuh Rumaisha. Aduh. Rumaisha memekik. Tangan kukuh Arka yang barusan mendorongnya dan berhasil membuatnya hampir terjatuh. Beruntung tangan Rumaisha dengan cepat memegang pintu. Kalau tidak dia akan terjerembab di d**a pria yang terlihat kaget melihat posisi tubuhnya yang oleng. Huft. Maaf.... Arka menarik tangannya yang sempat menggenggam jemari Rumaisha saat menahan tubuhnya. Bersamaan dengan mata Rumaisha yang menatap tidak suka padanya. Suasana berubah menjadi sangat canggung. Rumaisha memang menarik cepat jarinya yang spontan disambar, tapi Arka masih merasakan hangat dan lembutnya jemari yang dulu begitu setia membelai dan mengusap jiwanya di kala lelah. Wajah Rumaisha memerah. Membetulkan hijabnya agar Arka tak melihat sehelai rambut pun dari keningnya. Arka menelan ludah, ada perasan getir. Padahal beberapa jam yang lalu, perempuan itu masih memakai daster rumah yang terlihat seksi di tubuhnya yang semampai. Bahkan beberapa jam yang lalu pula, Arka masih bisa melihat rambut legam itu tergerai di bahu Rumaisha dengan cantik dan indah. Setelah cerai, ternyata banyak yang berubah. Kehangatan, kelembutan dan cinta yang biasa dia dapatkan dari sosok Rumaisha kini hilang menguap bersama kisah mereka yang sudah selesai "Gaza, masukkan semua mainanmu dalam tas yang Mama berikan." Suara Rumaisha yang menginstruksikan pada Gaza, membuat lamunan Arka seketika terbang. "Kamu tidak memberi izin aku membetulkan dulu robot mainan Gaza, Rum? Kamu membiarkan putramu sedih?" Suara Arka menajam "Mama, betulin dulu mainannya. Robot aku patah," kata Gaza dalam suara khasnya yang tidak jelas. "Baiklah, Sayang. Betulkan sama Papa. Mama mau memasukan dulu semua bajumu yang tersisa." Rumaisha mengalah. Membiarkan Arka mendekati putranya, Gaza tampak begitu excited. Bahkan saat Arka bercerita dan menanyakan sesuatu, bocah itu menanggapinya dengan penuh semangat. Tahu apa Gaza tentang luka hati ibunya? Setengah jam berlalu. Robot mainan Gaza sudah kembali bagus. Bocah itu tampak gembira. Dengan Khidmah, meski dengan kata yang tidak jelas dia mengucap terimakasih. "Termakasih, Papa baik sekali. Iya, kan Ma?" Gaza melirik ibunya. Hatinya begitu lembut, tak segores pun rasa benci pada Arka, pria bergelar ayah yang tidak pernah memberinya cinta. Rumaisha tersenyum. "Betul, Papa baik sekali. Lihat robotmu sudah bagus. Ucapkan terimakasih padanya, Sayang...." Rumaisha menatap lembut putranya. "Makasih, Papa. Gaza sayang sama Papa." Tangan mungil itu meraih tangan Arka dan menciumnya. Bola matanya tampak jenaka dan bahagia. Gaza, terlalu polos untuk memahami lautan dusta yang dibuat Papanya selama ini. Arka menyambut tangan mungil Gaza, lama dia Menggenggamnya begitu erat. Tak terasa ada yang berdesir halus dalam lubuk jiwanya. Rasa yang tak pernah dia rasakan selama ini. "Gaza baik- baik, ya. Berjanjilah pada Papa akan menjaga Mama." Gaza mengangguk. "Setelah besar, aku akan menjaga Mama dan Papa." Rumaisha mendekat. Membelai lembut kepala mungil Gaza yang sedang berjongkok di hadapan Papanya. "Betul, Nak. Besarlah dengan cinta, surgamu ada pada Mama dan Papa." Luar biasa, bahkan Setelah talak yang diberikannya Rumaisha masih sanggup mengucap kata seperti itu. "Baik, Mama." Gaza mengangguk lugu. Bahkan setelah sekian lama hidup tanpa sentuhan dirinya sebagai seorang ayah, tak setitik pun rasa benci di wajah polos itu. Rabby ...Tak terasa ada yang runtuh di sudut mata Arka. Di detik- detik kepergiannya Rumaisha masih mengajarkan pada Gaza tentang cinta dan kasih sayang pada dirinya, pria b******n yang telah memilih kisah masa lalu dibanding menjadi pria sejati yang bergelar ayah. *** "Sudah reda, Nak." Rumaisha yang telah selesai mengemas pakaiannya melirik buah hatinya yang masih memegang robot warna merah yang baru saja selesai diperbarui Papanya.Bagi Gaza, robot ini akan menjadi mainan spesial dan berharga karena dari sekian banyak mainannya hanya ini yang pernah di sentuh Arka. "Kita pergi malam ini. Sebentar, Mama pesan transportasi online dulu, ya ..." Rumaisha mengeluarkan ponsel dari saku gamisnya. "Mama, tapi harinya masih gelap. Gaza takut." Tangan mungil itu menyibak jendela kamar, matanya menembus pekatnya malam. "Tidak apa- apa, Nak. Hujan tidak akan menyakitimu." Arka yang berdiri tak jauh di hadapan mereka hanya terpaku menatap dua sosok yang pernah sekian lama melalui hari bersama dirinya, walau setengah hati. Harusnya dia bahagia karena tidak harus susah payah menyuruh Rumaisha pergi. Tapi hatinya mengapa terasa berat? Drrrt. Ada panggilan masuk. Wajah Letia terpampang jelas di layar ponselnya. Enggan Arka menjawabnya. "Istri dan anakmu yang cacat itu sudah pergi, Mas? Malam ini, aku ke sana." Tanpa basa- basi Letia langsung nyerocos. "Hari masih hujan, Letia." Arka menjawab dengan sedikit kikuk. Rumaisha menyaksikan panggilan ini, bodohnya kenapa tadi tidak terpikir untuk menjauh. "Alasan, dia sudah bukan istrimu. Suruh saja pergi, Mas. Kalau dibiarkan lama perempuan tak berkelas itu pasti membuat alasan untuk tetap tinggal." Letia melotot, wajah putihnya tampak gusar . "Letia, hujan besar sekali, kamu tidak punya perasaan? Bersama Rumaisha ada Gaza anakku." "Apa katamu? Bocah sumbing itu anakmu?" Letia menahan gerahamnya, gusar. Jelas sekali ahlak perempuan dengan wajah bak bidadari itu tidaklah secantik wajahnya. "Cukup, Mas. Katakan padanya, aku akan pergi." " Rumaisha." "Jangan mengejar. Aku dan anakku tidak akan mati karena hujan, tapi aku dan anakku akan mati saat bersama laki- laki bergelar suami dan ayah yang tidak punya rasa cinta, sepertimu." Arka menggeleng. "Jangan pergi, Rumaisha."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD