Setelah Cerai (2)

771 Words
Arka menjatuhkan tubuhnya yang terasa penat ke kursi. Ruangan ini kembali lengang. Sama-samar dia mendengar suara dari kamar tempat Rumaisha sekarang berada. Mungkin perempuan yang baru semenit lalu menjadi mantan itu tengah berkemas atau mungkin juga dia sedang menangis. Menangisi perpisahan yang hadir begitu cepat. Arka meremas kasar rambutnya. Meski cintanya pada Letia sedalam samudra biru, tapi menyadari kepergian Rumaisha di hari yang merambat larut membuatnya iba. Iba, kasihan, atau....atau Arka menajamkan telinga. Suara rintik hujan yang menimpa atap baja ringan di carport rumahnya terasa bising. Apakah mungkin Rumaisha pergi dalam suasana hujan yang mulai terdengar deras, bahkan geledek mulai terdengar bersahutan. "Kamu mau pergi malam ini, Rum?" Arka berdiri di depan kamar Rumaisha yang tertutup. Arka tidak yakin suaranya menembus pintu kamarnya yang rapat. "Rumaisha," panggil Arka, berharap Rumaisha mendengar. Dia tahu, perempuan yang terluka tidak takut dengan apapun, apalagi cuma buliran hujan. "Kenapa, Mas?" Rumaisha membuka pintu. Kini dia berdiri tepat di depan Arka. Air matanya sudah mengering. Kini dia bahkan sudah menutup seluruh tubuhnya begitu rapat, di pojok kamar Arka melihat Gaza tengah mengumpulkan mainannya. "Kamu tidak mendengar kalau di luar hujan?" Arka menatap gordin jendela kamar yang bergoyang di tiup angin. "Ada apa dengan hujan, Mas?" Aduh, suara itu begitu dingin. "Jangan pergi malam ini. Aku mohon, pergilah besok. Aku takut Gaza sakit." Rumaisha hanya tersenyum pahit. Untuk pertama kalinya dia mendapati Gaza berharga di mata pria yang bergelar ayah. Untuk pertama kalinya juga, Arka menyebut nama Gaza dengan benar. Biasanya dia hanya memanggil Gaza dengan sebutan "anakmu". Anakmu, kata yang selalu membuat d**a Rumaisha berdenyut sakit. Kata yang seolah membangun tembok yang begitu tinggi antara pria di hadapannya dan putranya. Tembok menjulang yang seolah meneriakkan kata, dia bukan anakku. Bocah sumbing itu bukan milikku. "Gaza sakit atau tidak, bukankah kau tidak perduli. Jadi aku pergi saat ini atau kapanpun bukan urusanmu." Rumaisha melengos. Sakit sekali mengatakannya, tapi itulah faktanya. Arka tidak mencintai siapapun, tidak dirinya ataupun anaknya. "Aku perduli, aku ingin kau tidak pergi malam ini. Aku takut anakku sakit." Anakku? Arka menyebut kata itu? Rumaisha mundur ke belakang. Dadanya berdebar luar biasa, naluri keibuannya membuncah. Dia bahagia....tapi pantaskah dia bahagia, bukankah kisah dirinya dengan Arka sudah selesai dan Gaza akan pergi bersamanya. "Kau tidak bisa membawa Gaza dalam hujan badai seperti ini. Dia anakku, aku menyayangi...." "Cukup." Derai air mata di wajah Rumaisha kembali menganak. "Untuk apa kata- kata indah itu kau ucapkan? Bertahun aku merindukan kata itu keluar dari mulutmu untuk Gaza anak kita, bertahun aku memimpikan kata itu kau ucapkan untuknya dengan sia- sia. Kini, di saat semuanya telah usai, untuk apa kau ucapkan kata itu?" Suara Rumaisha meninggi berbaur dengan suara hujan yang makin lebat. "Untuk apa kau katakan kata itu di saat aku dan Gaza akan berlalu. Untuk membuatku lebih terluka?" Rumaisha menyeka air matanya dengan ujung hijab yang dikenakannya. "Mengapa kau tidak pernah mengatakannya selama ini? Padahal aku rindu ingin mendengarnya walau hanya sepatah." Arka hanya menelan ludah. Mengutuk ketololannya, mengapa dia ucapkan kata itu di saat Rumaisha dan Gaza akan berlalu dari hidupnya. Menyesali kebodohannya saat menyadari dirinya begitu terhanyut saat mata bening Gaza takut- takut menatapnya balik punggung Rumaisha. Lama Arka hanya berdiri mematung. Meresapi perpisahan yang ternyata tak selamanya manis. Rumaisha tidak menggeser tubuhnya memberi jalan pada dirinya agar bisa masuk kamar dan mendekati putranya yang tampak kesulitan menempel tangan robotnya yang patah. "Mama, robotnya patah." Gaza mengadu. Dia tampak kesulitan menyambung dua bagian mainannya yang terlepas. "Aku bisa membetulkannya." Arka menatap Rumaisha, memberi kode agar perempuan itu menggeser tubuhnya sedikit ke pinggir agar dirinya bisa masuk. "Aku bisa membetulkan mainan Gaza." Arka mengulang. Dulu dia begitu Suka bermain robot, hampir separuh kamarnya dipenuhi robot mainan, dirinya merasakan kesedihan Gaza saat mendapati robot kesayangannya patah menjadi dua. Dulu, dirinya sampai menggerung-gerung di lantai kalau saja Bapak tidak menggantinya dengan robot yang baru. "Rumaisha, boleh aku masuk. Aku ingin membetulkan mainan Gaza. Sejak kecil sampai remaja, aku begitu menyukai mainan robot. Aku pasti bisa membetulkannya." Arka tampak bersungguh- sungguh dan perduli. Hal yang dulu begitu dia dambakan, meski terkadang Rumaisha rasa, itu sangat mustahil. "Gaza, dengar Papa, bawa sini mainannya. Biar Papa betulkan." Rumaisha menyipit. Suara dan sikap Arka begitu kebakan. Begitu banyak kejutan indah dari pria di hadapannya untuk Gaza. Sayang dia dan Gaza saat ini tidak butuh kejutan itu. Kejutan manis itu akan terasa pahit karena dirinya hanya menuggu hujan sedikit reda untuk pergi. "Papa, ini robotnya." Di balik tubuh Rumaisha Gaza menyorongkan mainannya.Dengan polosnya dia meminta papanya memperbaiki. Arka mengulurkan tangan untuk meraih, saat sebuah dorongan halus menjauhkan tangannya dari tangan Gaza. "Biarkan robot mainan ini patah. Seperti kisah kita, seperti hatiku dan Gaza ...."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD