Setelah Cerai (1)

1416 Words
Suasana mendadak hening sesaat setelah Arka menutup kalimatnya. Pria bermata coklat itu kembali menatap ke depan, di mana Rumaisha, perempuan yang sekian lama telah menemani hari-harinya dan menorehkan begitu banyak warna dan pelangi dalam hidupnya perlahan menyeka air mata. Tak ada bantahan apalagi teriakan. Perempuan itu hanya diam dan membisu. "Kamu setuju, Rum?" Suara Arka tertahan. Rumaisha tidak menggeleng apalagi berkata tidak, tapi derai air mata di wajah sendu itu melukiskan hal lain melebihi sebuah kalimat penolakan. Perempuan itu terluka. "Rumaisha ..." Arka menarik kursi yang dia duduki, berusaha lebih mendekat. Sinar rembulan tampak malu di horizon sana. Teras tempatnya duduk sekarang terasa sepi. Arka tahu, setelah hari ini, jarak dirinya dan perempuan berwajah sendu akan semakin jauh. Jarak yang sengaja dia ciptakan sesaat setelah nama Letia, perempuan masa lalunya, hadir dalam hidupnya. "Jawablah Rumaisha. Aku ingin mendengar dari bibirmu." Rumaisha tersenyum sendu Tak punya pilihan. "Kamu menunggu jawabanku, Mas?" Arka mengangguk. "Jika itu membuat hidupmu lebih indah dan berwarna, juga jika itu bisa membuatmu bahagia, aku ikhlas." Setelah sekian lama mereka seolah terpenjara dalam sepi, akhirnya Rumaisha menjawab. "Kamu memberiku restu jika aku membawa lebih jauh Letia ke kehidupan kita?" Suara Arka terdengar mengambang di udara, mungkin dia tidak begitu mencintai Rumaisha, tapi melihat Rumaisha menangis terasa begitu berat. "Jika itu keinginanmu, lakukan, Mas," bisik Rumaisha lirih. Ada yang tak kuasa dia tahan yang meluncur begitu deras dari sudut matanya. Membiarkan pria yang dicintainya membangun ikatan bersama perempuan lain, adalah hal paling menyakitkan. Arka menelan ludah. "Maafkan, Rum. Jika rasaku pada Letia tak bisa padam. Jika cintaku padanya tak kunjung usai. Aku merindukannya setiap waktu. Aku memujanya...." Rumaisha mengangguk. Mencoba menahan lubuk hatinya yang terasa getir. Cinta yang tak kunjung padam? Ah, bahkan rasa itu tidak pernah hadir di enam tahun pernikahan mereka. Rindu yang tak kunjung usai? Rumaisha menggigil, bahkan rasa itu tidak sedikitpun mampir dalam ribuan hari yang pernah mereka jalani. Arka tidak pernah rindu. Meski raga itu begitu dekat, tapi sungguh Rumaisha mengerti, kalau hati pria pujaannya itu entah di mana. Rumaisha tak sanggup lagi menahan tangis, dia tersedu. Mengapa kata indah itu terucap untuk perempuan selain dirinya? Mengapa pengakuan manis itu diperuntukan untuk wanita asing yang tiba-tiba hadir menebar pesona dan masa lalu? Mengapa kata- kata itu tidak diperuntukan untuk dirinya? Ribuan hari Rumaisha menunggu Arka mengucap kata itu, hari ini Arka mengucapkannya, tapi bukan untuk dirinya. Bukan untuknya. Sakit. "Letia memberi hari yang berwarna, dia juga memberiku denyut nafas baru yang aku yakini..." "Maksud Mas Arka?" Rumaisha tengadah. Ribuan luka terlukis di matanya yang basah. "Letia, sudah mengandung anakku." Arka melengos saat mengucap kata itu, menyadari dirinya begitu kejam. "Le-letia sudah hamil?" Rumaisha terguncang. "Bagaimana mungkin dia sudah hamil, Mas?" Rumaisha tergugu. "Kami sudah menikah." Arka menjawab terbata. "Menikah? Ka-kamu sudah menikah?" Jiwa Rumaisha mengejang. Arka hanya mengangguk. Tak ada sepatah kata sebagai pembenaran, tapi meski pelan, anggukan itu berhasil membuat Rumaisha hancur "Kamu menikah di saat aku berjuang untuk kesembuhan anak kita? Kamu berpesta dengan manisnya cinta di saat aku berjuang menghadapi penolakan keluargamu atas ketidak sempurnaan Gaza? Kamu memeluk perempuan lain, di saat darah dagingmu tak berdaya melawan hinaan dan makian dari keluargamu?" Rumaisha tersengal. Bayangan Gaza yang sakit- sakitan dengan bibir sumbing dan kata- kata yang tidak jelas dan kerap jadi bahkan olok- olok keluarga suaminya memenuhi benaknya. Arka lagi-lagi terdiam. Apa yang Rumaisha katakan memang benar. Hanya saja dirinya tidak bisa berlari dari pesona Letia? Cinta masa lalu yang begitu manis dan indah. "Maafkan aku, Rumaisha. Aku teramat mencintainya." Rumaisha terisak. Kembali, kata cinta Arka untuk perempuan masa lalunya terasa begitu menyakitkan, bahkan lebih sakit dari pengkhianatan itu sendiri. *** Arka berjalan gontai. Sebulan sudah dia membuat pengakuan kepada Rumaisha tentang Letia, tentang perasaannya pada perempuan berwajah jelita itu, tentang statusnya dan juga tentang apapun tentang Letia. Tak ada yang berubah dengan Rumaisha. Meski goresan luka itu tercetak nyata dalam wajahnya yang sendu, tapi dia tetap menjadi Rumaisha yang begitu Khidmah, penuh pengabdian dan cinta. Meski Arka tidak lagi menyentuhnya, senyumnya tidak pergi. Hari- hari seolah tidak berubah, meski Arka yakin hati Rumaisha hancur dengan pengkhianatannya. "Aku akan tetap di sini, dengan atau tanpa cintamu." Suaranya lirih seminggu yang lalu saat dirinya bertanya kenapa dia tidak berubah. "Bersamaku ada Gaza. Sedalam apa pun luka di hatiku saat kau memiliki Perempuan lain, tapi itu tidak sebanding dengan luka Gaza jika kita bercerai. Sebanyak apapun air mataku, aku tidak akan pergi ..." Arka menyeka keringat dingin. Langkah kakinya terasa berat saat menjejak lantai rumah yang terasa dingin, ada harum pewangi ruangan yang menguar lembut, ada deretan foto keluarga kecil mereka yang terpasang rapi, ada penampakan ruangan yang rapi dan bersih. Semakin dirinya mengedar pandangan pada rumah yang dia tempati bersama Rumaisha bertahun ini, semakin dia mendapati ketulusan, kebaikan dan sejuta cinta perempuan itu. Di pojok ruangan, Arka bahkan melihat akuarium berisi ikan- ikan kesayangannya tampak kinclong. Tanpa diminta Rumaisha membersihkannya. Membiarkan dirinya yang lelah sepulang kerja, bermanja dengan cantiknya ikan warna- warni dan menikmati indahnya suara gemerincing air yang jatuh. Rumaisha bahkan tidak berubah di saat jiwanya hancur dan terluka. Tapi tidak sesaat lagi. Saat dirinya memilih Letia untuk menjadi satu- satunya ratu dalam hidupnya. Perempuan cantik itu tidak Sudi berbagi, bahkan setelah Rumaisha membuka hati dan diri tanpa syarat untuk kehadirannya. Letia tidak memberinya pilihan, Rumaisha harus pergi. Letia bahkan dengan lantang berteriak tidak sudi memiliki anak sambung berbibir sumbing seperti Gaza. Arka mendengus pelan. Langkah kaki Arka sejenak terhenti. Suara wajan dan harum masakan kesukaannya yang menguar di dapur membuat dadanya makin terasa berat. Sesaat lagi, perempuan berhati laksana samudra itu akan tahu, kalau dirinya lah yang tersisih setelah menyerahkan seluruh cintanya. "Mas Arka?" Mata bening itu bersinar indah saat menyadari kehadirannya, seolah tak ada pengkhianatan diantara mereka. Seolah di hadapannya berdiri pria berhati malaikat yang akan memberinya cinta dan kebahagiaan. Setengah tergesa perempuan itu membuka apron dan menaruh piring berisi hidangan lezat yang barusaja di masaknya, kemudian bergegas mendekat untuk mencium tangannya. "Nak, lihat siapa yang pulang?" Rumaisha melirik bocah empat tahun yang tengah memainkan sayuran di dekat meja makan. "Holeee, papa puyang." Dengan suara yang tidak jelas, Gaza menghampirinya. Bocah berwajah seratus persen mirip dirinya itu mengulurkan tangan mungil untuk cium tangan. Arka berjongkok, mengelus kepala mungil itu. Akankah ini elusan terakhir? "Mas capek? Makan dulu, atau mau mandi? Aku sudah siapkan semuanya." Rumaisha berdiri dengan sebuah senyuman. Arka menggeleng. "Aku buatin teh hangat saja, ya? Mas, bisa menikmatinya sambil bersantai." Rumaisha bersiap berbalik untuk membuat teh hangat. "Tidak, Rum." Arka menyeka keringat. Dia harus mengatakan hal ini, saat ini. Letia bisa murka jika dia kembali mengulur waktu. "Mas, ingin aku buatkan minuman hangat yang lain? Aku bisa buatkan wedang jahe, itu bisa bikin tubuhmu...." "Cukup, Rumaisha. Aku tidak mau makan, aku juga tidak ingin apa-apa," potong Arka, nada suaranya begitu tinggi, membuat paras wanita yang lelah sehabis memasak itu tampak memucat. "Berhenti bertingkah sok polos. Berhenti melayaniku, karena aku...." Rumaisha tergagap. Tak mengerti. "Karena apa, Mas?" "Karena kita akan bercerai. Karena Letia ...Letia tidak ingin dirimu dan Gaza ada dalam hidupku." Susah payah Arka menyelesaikan kalimatnya. "Ce-cerai, Mas?" Arka mengangguk. Sekuat tenaga tidak ingin melihat sudut mata Rumaisha yang seketika membasah. Air mata yang entah keberapa ratus kali semenjak Letia hadir dalam hidup mereka. "Letia menginginkan aku dan Gaza pergi?" Tanya Rumaisha kembali, pelan. "Betul. Letia menginginkan kita bercerai. Pergilah Rumaisha." Suara Arka tersendat. Bersiap menahan ledakan amarah dari Rumaisha. Setelah apa yang dilakukan pada perempuan itu, setelah pengkhianatan yang dilakukannya bersama Letia, Rumaisha pantas murka padanya. Namun Arka salah besar. Tak ada teriakan nyaring dari bibir istrinya. Tak ada u*****n apalagi cakaran dan hardikan dari mulut Rumaisha. Meski sakit, wajah itu tetap tersenyum. Entahlah, mungkin itu senyuman paling menyakitkan yang pernah Arka lihat. "Nak, Papa ingin kita pergi. Cium tangannya. Minta maaf padanya, jika selama ini dirimu pernah membuatnya kesal." Lembut Rumaisha menuntun Gaza, menautkan tanggal mungil itu di telapak tangan Arka. "Papa, Aza pegi Duyu. Maafin tha...." Mata bening Gaza menatap Arka sesaat, sebelum ibunya menarik dalam dekapan. "Aku pergi, Mas. Aku menyadari, tak selamanya bertahan dan berjuang itu yang terbaik. Aku lelah, Mas. Jika akhir kisah kita haus berakhir sampai di sini, aku ikhlas. Semoga Allah selalu melindungi dan menyayangi dirimu." Tanpa sepatah kata lagi, Rumaisha perlahan beringsut dari hadapan pria yang pernah menjadi imamnya. Arka terpaku saat menatap tubuh perempuan yang pernah melewatiwati ribuan hari bersamanya menghilang di balik pintu kamar untuk berkemas. Bahkan disaat pengkhianatan dan lukanya begitu dalam, Rumaisha masih menitipkan sepotong doa untuk dirinya, pria durjana yang telah memberinya berlembar- lembar catatan luka dalam pernikahan mereka.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD