Part 4

1148 Words
Renita memasuki kamar. Menelengkan kepala merasa bingung. Meski begitu ia tersenyum juga. Tak terpikirkan Rafki cukup berani mengajaknya pergi. Rafki memang seberani itu, dalam segala hal ia tidak akan ragu mengatakan pada Renita jika ia ingin, meski tau bagaimana sikap gadis itu terhadapnya. Namun kali ini cukup berbeda. Dengan sikap angkuh Renita terhadap Rafki. Sepertinya pria itu tidak takut akan penolakan dari Renita. Atau mungkin, Rafki sudah menyiapkan mental kalau saja Renita akan menolak permintaannya. Renita mengedikkan bahu. Mencoba bersikap tak peduli dengan apa yang terjadi beberapa menit yang lalu. Hal sepele itu saja sudah mampu mengusik ketenangannya. Apa kabar dengan hal besar yang akan terjadi nantinya. Duduk berpikir di atas kasur. Renita memang tak mampu mengalihkan pikirannya pada hal lain meski ia sudah mencoba. Rafki terus saja mengusiknya. Ah, bukan, harapan dalam hati yang membuat perasaan Renita menjadi berantakan. Hari ini Rafki memang cukup berbeda. Pertama, menanyakan keberadaan Renita, belum pernah sekali pun pria itu lakukan. Memang sangat membingungkan jika terjadi. Dan tentunya, akan ada banyak pertanyaan dalam pikiran. Ada apa? Kenapa? Beberapa hal itu mungkin membutuhkan sebuah jawaban. Kedua, menunggu Renita pulang. Sebaik apa pun Rafki bersikap di hadapan Renita. Tapi tak pernah sekali pun pria itu mau menghabiskan waktu hanya untuk menunggu Renita. Kejadian barusan tentu momen yang sangat langka. Dan Ketiga, rencana pergi. Sungguh luar biasa sebab Rafki berani melakukannya. Mungkinkah itu terjadi karena Renita pergi bersama Tristan hari ini? Mungkinkah Rafki cemburu? Mungkinkah Rafki memiliki perasaan lebih pada Renita dan... Renita memukul kening beberapa kali. Sepertinya akal sehat Renita butuh perbaikan saat ini. Dan terlebih lagi, ia tak boleh membuat dirinya sendiri berharap pada perasaan seseorang yang belum ia ketahui bagaimana isinya. Renita menghempas tubuhnya ke atas kasur. Menghela nafas, lalu menoleh ke samping, merogoh tas dengan sebelah tangannya mengambil handphone. Satu pesan masuk dari Tristan. Tak langsung membuka pesan itu, Renita hanya melihat dari notifikasi saja. Kamu udah tidur? Aku baru sampai rumah ini. Renita menatap pesan itu cukup lama, tanpa berniat untuk membalasnya. Menjatuhkan tangannya ke atas kasur dan melepaskan handphone itu begitu saja. Tristan sudah memberi Renita alasan mengapa pesan itu tak ia balas jika ada pertanyaan dari pria itu besok. Renita beranjak bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Mencuci muka, menyikat gigi, dan melakukan perawatan lainnya sebelum tidur di dalam sana. Keluar dari kamar mandi, Renita mengganti pakaian yang ia kenakan sebelumnya dengan piyama. Saatnya untuk tidur agar waktu segera berlalu. Renita menghampiri tempat tidur. Baru saja satu lututnya menyentuh kasur, pintu kamarnya terbuka tiba-tiba. Bukan kisah horor, pintu itu terbuka sebab ada yang membukanya, yaitu Mama Renita. "Mau tidur?" tanya Diana. Renita merasa bingung. Tak pernah-pernah sang Mama memasuki kamarnya tanpa mengetuk pintu terlebih dulu. Tapi kali ini, mengapa berbeda. Meski pun begitu Renita mengangguk. "Iya ... ini baru mau mulai tidur." "Uhm ... bisa keluar sebentar? Papa mau bicara." "Penting banget, Mah? Gak bisa ditunda sampai besok?" "Bentar aja, sayang." Renita menghela nafas. Meski berat, ia tetap menuruti permintaan orang tuanya. "Ya udah, deh." Renita menarik lututnya dari atas kasur lalu berjalan menghampiri sang Mama, dan keluar sama-sama dari dalam ruangan. Renita semakin bingung saja saat tiba di ruang tamu. Tampak Hardi tengah menunggunya di sana. Yang membuat Renita bingung bukan karena sang Papa. Melainkan sosok jangkung bertubuh kekar yang tengah duduk di sampingnya dengan sofa yang terpisah. Jika Hardi ingin bicara dengan Renita, mengapa Rafki juga berada di sana. Tak ingin ambil pusing. Renita langsung duduk di hadapan sang Papa. Dan Diana, duduk berdampingan dengan Hardi. Duduk sendiri dengan dua orang yang tengah menyorot seolah ingin menyelidik, membuat Renita merasa seperti seorang terdakwa yang siap diinterogasi. "Dengan siapa kamu tadi pergi?" tanya Hardi tanpa basa-basi. Renita menghela nafas. Sepertinya ia memang sedang diinterogasi. "Temen, Pah." "Iya. Papa tau temen ... tapi masa iya temen kamu nggak punya nama." Renita tak langsung menjawab. Melirik Rafki sejenak. Namun tak ada ekspresi lain dari pria itu. Bahkan melihat Renita saja ia tidak. Renita menghela nafas sembari menatap sang Papa. "Tristan, Pah." "Oh, laki-laki," ucap Hardi seakan menyampaikan pada diri sendiri, "yakin cuma temen, bukan pacar?" Renita diam menatap Hardi tak percaya. Entah sejak kapan pula sang Papa tertarik dengan kehidupan pribadi putrinya. "Kenapa diam?" tanya Hardi, "Tristan itu pacar kamu atau temen?" Renita menghela nafas malas. "Temen, Pah." Hardi tersenyum. "Bukan begitu, sayang," jelasnya tak ingin sang Putri salah paham, "Papa cuma nggak suka dengan cara kamu pergi ... bukannya lebih baik kalau temen kamu itu disuruh masuk dan dikenalin sama Mama sama Papa?" "Kan cuma temen, Pah ... kayaknya gak perlu acara perkenalan kayak gitulah," bantah Renita, "lagi pula kenapa itu baru dibahas sekarang? Kenapa ngomong begitu sama Rere dari awal?" "Gimana mau ngomong kalau kamu buru-buru pergi begitu," sambung Diana. Renita diam, mengerucut bibirnya tanda tak suka. Yang dikatakan Diana memang benar. Bahkan Renita seakan tak memberi kedua orang tuanya kesempatan untuk bicara. Mengatakan ia akan pergi, lalu pergi begitu saja. Hardi menghela nafas sejenak. "Papa cuma mau kamu tau satu hal," ucapnya, "kamu, Putri Papa satu-satunya. Papa gak mau terjadi sesuatu sama kamu ... Papa cuma ingin mengantisipasi kalau mi-sal-kan terjadi sesuatu sama kamu, Papa tau harus mengejar siapa. "Papa juga gak suka anak gadis Papa bersikap seolah tidak memperdulikan dirinya. Kamu itu berharga, dan kamu harus menghargai diri kamu ... masa iya anak gadis dijemput di jalan diantar di jalan juga," ucap Hardi dengan lembut, "sebagai perempuan kamu jangan mau diperlakukan seperti itu ... kalau dijemput di jalan. Ya seenggaknya pulangnya diantar sampai rumah, jangan di jalan juga." "Rere yang minta kok, Pah ... Tristan gak salah," ucapnya menundukkan kepala. "Apa pun alasannya. Papa nggak mau itu terulang lagi. Paham?" Renita mengangguk. "Ini juga pelajaran buat kamu, Ki ... itu sebabnya Papa minta kamu ke sini juga. Jangan seenaknya sama perempuan, karna Mama sama kakak kamu itu perempuan. Ngertikan kamu?" Rafki mengangguk. "Ngerti, Pah." Hardi menghela nafas. "Kalian berdua itu anak kesayangan Mama dan Papa kebanggaan Mama dan Papa. Papa harap kalian selalu ingat itu. Dengan begitu kalian gak akan sanggup membuat Mama sama Papa kecewa "Papa gak nuntut kalian harus jadi seperti ini atau seperti itu, karna Papa tau, setiap orang punya impian mereka sendiri termasuk kalian ... hanya satu yang Papa minta. Hargai diri kalian. Dengan begitu baru kalian bisa menghargai orang lain." "Iya, Pah, Rere salah. Rere minta maaf." Hardi tersenyum lembut. "Kamu gak ngulang perbuatan kamu lagi itu udah cukup buat Papa." "Janji deh nggak bakalan begitu lagi." Renita tersenyum lebar. "Jangan janji. Tapi buktikan," tegas Hardi. "Pasti!" jawab Renita penuh semangat. "Kamu, Ki?" tanya Hardi. "Rafki gak bisa janji apa-apa sama Papa sama Mama. Tapi Rafki akan berusaha untuk enggak mengecewakan kalian." "Itu satu permulaan yang bagus. Harus kamu amalkan yaa." "Siap, bos!" "Ya udah kalau begitu, kalian balik ke kamar masing-masing ya," ucap Diana, "Mama harap yang terjadi hari ini, jadi pembelajaran buat kalian berdua. " Rafki dan Renita mengangguk saja sembari menyunggingkan senyum. _________
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD