Part 02. Maafkan Aku

1683 Words
Pulang dari kuliah, Alana sedang duduk sendirian di restoran. Segelas jus alpukat menemani gadis itu. Siang ini pulang kuliah Alana janjian dengan Albian di restoran yang ada di dekat Universitas tempat Alana menimba ilmu. Alana memainkan game yang ada di ponselnya. Agar tidak bosan menunggu ayahnya datang. Setelah lima belas menit berlalu Albian datang menemui Alana anaknya. Albian duduk di samping gadis itu. "Apa Lana sudah lama menunggu, Papa?" tanya Albian yang baru saja duduk di samping anak gadisnya. Mengusap kepala anaknya karena rindu. Sudah sebulan lamanya mereka tidak bertemu. "Iya, Pa. Hampir satu jam, Lana menunggu, Papa." jawab Alana. Memeluk ayahnya. "Kenapa, Papa tidak pernah pulang ke rumah? Apa, Papa tidak merindukan kami?" tanya Alana saat berada di pelukan ayahnya. Mendengar ucapan Alana, membuat Albian berpikir. Mungkinkah Dewi tidak pernah mengatakan apa-apa pada Alana? "P-Papa sedang sibuk bekerja, sayang. Pabrik sedang ramai. Jadi, Papa tidak bisa pulang ke rumah untuk sementara waktu ini." Perlahan Alana melepaskan pelukan itu. Tangannya kembali meraih gelas yang berisi minuman kemudian meminumnya. "Papa sudah transfer uang untuk bayar kuliah, Alana. Juga untuk uang saku, Alana selama sebulan ini." ujar Albian seraya tersenyum menatap Alana anak gadisnya yang kini sudah beranjak dewasa. "Oh iya, Pa. Nenek sedang sakit. Dia tidak mau diajak Mama, berobat ke Dokter. Katanya sih cuma sakit biasa aja." "Sejak kapan, Nenek kamu sakit?" tanya Albian khawatir pada Ibunya. "Sejak satu minggu yang lalu, Pa." jawab Alana. Tiba-tiba saja Albian merasa sangat bersalah pada Dewi. Karena Ibu kandungnya malah tinggal bersama dengan Dewi bukan dengan dirinya. "Papa, mau pesan minuman, apa?" Albian menatap Alana. "Teh dingin saja. Sekalian kita pesan makan siang," "Iya, Pa." Alana memesan menu makan siang untuk dirinya dan juga ayahnya. Mereka berdua kini menikmati makan siang bersama setelah satu bulan ini tak pernah bertemu. Albian merasa bersalah telah mengkhianati keluarganya, keluarga yang sangat ia sayangi kini sudah hancur berantakan karena kesalahannya sendiri. Selesai makan siang Albian mengantar Alana pulang ke rumah. Sekaligus Albian ingin melihat kondisi ibunya yang sedang sakit di rumah Dewi. Mobil milik Albian kini berjalan menyusuri jalanan kota ini. Alana duduk di depan, sibuk memainkan ponselnya. "Bagaimana kabar, Mama kamu, Lana?" tanya Albian ingin tahu. "Akhir-akhir ini, Mama sering sakit, Pa. Tidak tahu kenapa. Mama sekarang juga lebih sering mengurung diri di kamarnya." Mendengar jawaban dari Alana membuat Albian ingin sekali bertemu dengan Dewi. Jujur Albian sangat merindukan keluarganya utuh seperti dulu sebelum semua ini terjadi. Tapi Dewi sendiri sudah tidak mau melihat Albian lagi setelah apa yang sudah dilakukannya dengan perempuan lain. Apalagi istri baru Albian sebaya dengan Alana anaknya yang kini baru masuk kuliah. Tak butuh waktu lama. Mobil Albian kini memasuki halaman rumah Dewi. Alana dan Albian keluar dari mobil itu. Alana melangkah masuk ke dalam rumah. Sedangkan Albian sedikit ragu saat akan memasuki rumah itu, rumah yang sebulan ini tak pernah ia datangi. "Ayok, Pa. Masuk." ajak Alana. Albian tersenyum kemudian melangkah masuk ke dalam rumah itu. Rumah yang dulu hangat kini terasa sangat dingin. Keluarga yang dulu selalu berkumpul di ruang tengah untuk sekedar bersenda gurau dan tertawa bersama kini sudah tak terlihat lagi. Dewi sering mengurung dirinya di dalam kamar, sedangkan Diana adik Alana sedang berada di pondok pesantren. Alana sendiri sibuk kuliah. Kalau Albian sekarang sudah tidak pernah pulang ke rumah ini. Karena Dewi tidak mau melihatnya lagi. "Lana, di mana kamar nenek?" Albian ingin melihat ibunya yang sedang sakit. "Lana antar, Pa." Albian mengangguk. Kemudian mengikuti langkah Alana menuju sebuah kamar yang ada di lantai satu tak jauh dari ruang tengah. Alana berhenti di depan sebuah kamar yang pintunya tertutup. "Ini kamar nenek, Pa." Alana membuka pintu itu. Melihat neneknya yang sedang istirahat di dalam sana. "Papa masuk saja. Lana mau mandi dulu." pamit Alana setelah mengantarkan ayahnya ke kamar neneknya. Setelah kepergian Alana. Albian melangkah masuk ke dalam kamar itu. Matanya menatap wajah tua ibunya yang sedang istirahat. Wajah tua itu yang selalu menyayanginya kini sedang sakit. Pria itu duduk di kursi yang ada di samping tempat tidur. Saat Albian duduk, tiba-tiba saja wanita dewasa itu membuka matanya. Terkejut melihat Albian. "Bian?" "Ibu." Albian bangkit dari duduknya. Tanpa banyak bicara, Albian langsung saja meraih tangan tua itu dan menciuminya. "Bian minta maaf, bu. Bian minta maaf." ucap Albian masih menciumi tangan ibunya. Meminta maaf atas segala kesalahannya karena sudah meninggalkan ibunya juga sudah menghianati keluarganya terutama Dewi istri yang sangat di cintainya. Wanita dewasa itu memalingkan wajahnya ke arah lain. Enggan menatap wajah anak laki-lakinya itu. Membuat Albian semakin merasa sangat bersalah. "Bu, Bian minta maaf, Bu. Bian tahu Bian salah, maafkan, Bian, ibu..." Albian terus saja mencium tangan ibunya berharap sebuah maaf atas kesalahannya. "Sebaiknya Kamu meminta maaf kepada, Dewi. Karena kamu sudah menyakitinya, Bian. Kamu sudah membuat Dewi menderita seperti itu. Ibu tidak tega melihatnya, Dewi sekarang lebih banyak mengurung diri di kamarnya." ujar Ibu Albian. Mungkin yang dikatakan ibunya Albian benar. Dewi dulu wanita yang mandiri selalu aktif dalam pekerjaannya, mulai membuka butik busana muslimah dari nol sendiri, juga bisnis kue kering sendiri. Semuanya wanita itu lakukan sendirian tanpa bantuan dari Albian. Karena Albian sendiri sibuk dengan pekerjaannya sendiri yaitu mengurus usaha pabriknya. "Kalau kamu memang menyesal dan merasa bersalah, kamu harus berani memperbaiki kesalahan yang sudah kamu buat. Meminta maaflah sama Dewi, Bian. Kasihan dia." pinta wanita dewasa itu yang ingin sekali Albian bisa baikan lagi sama Dewi. "Iya, Bu. Bian akan menemui Dewi dan minta maaf sama dia." Setelah hampir satu jam berada di kamar ibunya. Kini Albian pamit pulang dari rumah itu. Tapi saat Albian melewati dapur, ia melihat sosok Dewi sedang duduk melamun di kursi. Tangannya memegang gelas berisi air putih. "Dewi?" Setelah sebulan Albian tidak pernah melihat Dewi, kini Dewi nampak kurus dan wajahnya terlihat murung, bahkan kelopak matanya nampak cekung, tak seperti dulu saat mereka masih bersama. Baru kali ini Albian melihat Dewi sedih seperti itu. Albian merutuki dirinya sendiri karena telah membuat Dewi menjadi seperti itu. Saat mengingat ucapan ibunya, Albian memberanikan diri mendekati Dewi yang kini masih belum sadar akan kehadirannya. "Bagaimana kabarmu, Dewi?" sapa Albian. Mencoba mencari celah agar bisa berbicara dengan Dewi, perempuan yang masih sah menjadi istrinya itu. Dewi yang semula melamun kini menoleh ke arah suara yang memanggilnya. Perempuan itu terkejut, tubuhnya yang lemas kini bergetar hebat saat melihat Albian, pria yang di bencinya kini berdiri di hadapannya. Albian melihat raut kebencian di wajah Dewi saat melihat dirinya. "Maafkan aku Dewi." ucap Albian seraya berjalan mendekat. Perempuan itu hanya bisa diam menahan sakit. Ingin rasanya menangis namun air matanya sepertinya sudah kering tak bersisa lagi, setelah sebulan ini tumpah setiap kali mengingat Albian, Dewi menangis setiap hari selama sebulan ini. Albian semakin mendekat. Kemudian memeluk Dewi dengan erat dari belakang tanpa menunggu persetujuan dari yang punya. Albian sangat merindukan istrinya itu, istri yang sangat dicintainya sejak dulu. "Maafkan aku, Dewi." ucap Albian lirih tepat di telinga Dewi. Membuat perempuan itu mematung. Perempuan itu memejamkan matanya. Diam dalam kesakitan hatinya. Bagaimana bisa suaminya menikahi perempuan lain dan sudah hidup dengan perempuan itu selama berbulan-bulan dan sekarang memeluknya dan minta maaf. Sesederhana itukah perasan seorang wanita yang hatinya sudah tergores luka? Dewi masih diam saat Albian terus saja meminta maaf seraya memeluknya dengan erat. Mulut Dewi seakan terkunci, tubuhnya seakan beku di tempat kala Albian memeluknya dan mengucapkan kata maaf padanya. Merasa Dewi tak merepon. Albian melepaskan pelukannya. Kemudian berdiri di samping Dewi. Menatap wajah sayu itu. Tangan Albian meraih wajah Dewi, kedua tangannya menangkup wajah itu. "Aku sangat menyesal telah mengkhianatimu, Dewi. Izinkan aku memperbaiki kesalahan yang dulu. Aku ingin kita bisa kembali bersama seperti dulu, sayang. Aku sangat menyayangimu, sangat mencintaimu." ucap Albian dengan memohon agar Dewi mau memaafkan dirinya. Dewi menatap manik mata hitam yang ada di depannya. Tersirat ketulusan di mata Albian saat mengatakan hal itu. Namun kenapa Albian bisa mengkhianati dirinya dengan menikahi perempuan lain yang lebih muda, kalau memang Albian masih mencintai Dewi istrinya. "Kalau kamu ingin kita seperti dulu. Bisakah kamu meninggalkan perempuan itu?" Entah dari mana Dewi tiba-tiba bisa berkata seperti itu. Padahal sedari tadi bibirnya seakan terkunci enggan untuk berucap. Hening. Pasangan suami istri itu kini diam saling menatap mata satu sama lain. Albian menatap Dewi dengan tatapan nanar, sedangkan Dewi menatap Albian dengan penuh kebencian. Tapi perempuan itu lebih memilih diam memendam rasa kekecewaan. "Adakah pilihan lain?" tanya Albian. Dewi tersenyum sinis. "Bukankah kamu sendiri yang mengatakan hal itu tadi? Kenapa sekarang kamu menelan ludahmu sendiri?" Albian terdiam. "Bukankah istri barumu lebih muda dan cantik?" sindir Dewi. Albian masih terdiam. "Aku tidak mau di madu, Albian. Lebih baik kamu ceraikan aku sekarang juga." ucap Dewi lirih namun penuh dengan penekanan. Membuat Albian semakin sulit untuk menentukan pilihan. Luka yang di berikan Albian masih belum sembuh, luka itu masih terasa perih di hati perempuan berhijab itu. Tidak mungkin Dewi akan menerima Albian begitu saja setelah Dewi mengetahui apa yang telah diperbuat oleh suaminya itu dibelakang, tanpa sepengetahuan dirinya. "Aku terima permintaan untuk itu, Dewi. Aku akan meninggalkan Laras setelah ia melahirkan." "Itu terlalu lama, Albian. Aku tidak sanggup menunggu waktu itu tiba." Albian mengembuskan napas pelan. "Apa yang kau inginkan sekarang, Dewi? Apa sekarang kamu tidak percaya dengan ku lagi?" Dewi tertawa. "Lucu sekali kamu, Mas. Kalau begitu ceraikan aku sekarang juga." "Aku masih mencintaimu, Dewi. Aku tidak mau kehilangan kamu." tolak Albian. Sampai kapanpun Albian tidak akan pernah menceraikan Dewi, karena Pria itu masih sangat mencintai istrinya itu. Dewi menatap Albian dengan tatapan nanar. Hatinya sudah terlanjur remuk tak bersisa. Bagaimana mungkin Albian bisa mengatakan bahwa ia masih mencintai Dewi. Tapi dia sendiri menyembunyikan pernikahannya dengan perempuan lain di belakang Dewi. Kalau saja waktu itu Dewi tidak bertemu dengan sahabatnya, pasti perempuan itu tidak tahu tentang pernikahan Albian suaminya. Tubuh Dewi tiba-tiba lemas, matanya mulai gelap. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi pada dirinya. Hingga beberapa detik kemudian tubuhnya jatuh ke lantai. Dengan sigap Albian menahan kepala Dewi agar tak tersentuh lantai. "Dewi, bangunlah." Panggil Albian seraya nenepuk pipi istrinya itu, berharap Dewi bisa mendengarnya. Namun ternyata Dewi sudah tak sadarkan diri. Dengan cepat Albian mengangkat tubuh istrinya, membawa Dewi masuk ke dalam mobil dan membawanya ke rumah sakit. °°°°°°
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD