Chapter 1. Tentang Menjadi Adik Ipar.

1310 Words
-Jaden.- Aku tinggal di apartemen bersama kakakku, atau lebih tepatnya aku menumpang dengan sangat tidak tahu malu padanya. "Apa kau yakin hubunganmu dengan Adaline telah berakhir?" tanyaku pada Trevor, kudengar bahwa Trevor memutuskan untuk berpisah dengan Adeline, gadis itu sudah cukup terluka karena ibuku. Kurasa kakakku benar, Adeline sering kali menerima penghinaan dari kedua orangtuaku hanya karena ia gadis yang berasal dari keluarga sederhana, sedangkan kakakku adalah seorang calon pemimpin perusahaan yang di kelola ayahku. Trevor menolak untuk mengikuti karir ayah dan ibu untuk menjadi seorang artis, aku bahkan sampai tertawa terbahak-bahak saat membayangkan pria sekaku Trevor harus berakting atau bernyanyi di depan umum. Jadi kakakku itu memutuskan untuk meneruskan bisnis ayahku saja. "Ya." jawab Trevor dengan wajah muram. Aku tahu dia sangat patah hati. Matanya tertuju pada layar televisi, tapi aku yakin pikirannya berada pada Adeline. "Jadi begini ya bagaimana penampakan penjahat yang sedang patah hati?" aku meledek. Trevor menoleh dengan sinis, lalu mendesah. "Dia terus saja terluka karena ku, kurasa sudah saatnya melepaskan dan membiarkan dia bahagia." "Lalu kau?" aku bertanya, Trevor terlihat begitu hancur. "Aku akan menetap di Amerika sesuai kemauan ibu." jawabnya. "Aku akan kuliah dan membantu ayah di sana." "Bukankah ayah sudah tidak berakting lagi? Seharusnya dia bisa lebih fokus mengurus perusahaan, kenapa malah minta bantuan mu?" Aku kesal, baru tiga tahun kami hidup bersama, dan sekarang Trevor malah harus pergi ke Amerika. "Mereka ingin aku belajar." "Apa kau ingin jadi anak baik?" Aku masih ngotot. "Bukankah selama ini kau selalu membangkang? Kenapa sekarang malah jadi penurut?" "Kau tahu apa anak kecil." Trevor menjepit leherku di bawah ketiaknya. "Lepaskan." Aku mencoba melepaskan diri. "Bagaimana jika ku kenalkan pada gadis-gadis cantik, mereka semua muda dan sexy." "Tidak perlu." Jawab Trevor lalu kembali menatap layar televisi. "Dan bertobatlah. Kau bisa terkena penyakit kelam*n jika terus menjadi pria hidung belang." "Hei, aku playboy, bukan hidung belang." Aku meralat. "Apa bedanya?" "Hidung belang adalah sebutan untuk orang tua yang suka selingkuh, sedangkan aku hanya mengajak wanita-wanita itu bermain." kataku. "Terserah." "Kenapa mereka selalu ingin kita terpisah?" Aku serius saat menanyakan ini. Aku kesal karena ayah dan ibu juga mengirim ku ke Inggris dengan alasan agar aku bisa kuliah dan mendapatkan universitas terbaik di dunia. "Kau tahu jawabannya, kenapa bertanya? Apa kau mau ke Amerika saja?" "Tidak, tidak." Aku menggeleng, "Sudah ku bilang aku tidak suka Amerika." Trevor mengangkat bahu, terlihat tidak begitu peduli, tapi aku tahu dia juga mengkhawatirkan aku. "Kita harus terbiasa hidup sendiri. Kau harus menjadi pria kuat, dan harus segera menetapkan kapan waktunya kau berhenti bermain-main." "Apa kau mau ku bantu untuk membujuk kakak ipar?" Aku menawarkan bantuan sekali lagi. "Tidak, dia setuju kami berpisah, kurasa dia juga sudah lelah." Trevor menolak. "Jadi kau benar-benar akan pergi?" Aku memutuskan akan merengek pada kakakku. "Besok siang." jawab Trevor. "Apa? Secepat itu?" Aku tersentak. Berubah posisi dari menatap layar televisi, menjadi menatapnya dengan serius. "Ya, tiket sudah di boking, apa kau mau ikut?" tanya Trevor. "Tidak, aku tetap disini." Aku pergi kembali ke kamarku dengan kesal. Aku muak pada rumah Amerika ku,rumah itu begitu dingin, sama sekali tidak menyenangkan. Ku coba untuk tidur dan bersikap tidak peduli dengan keputusan kakakku. Tapi cukup sulit untuk tidak memikirkan itu. Aku tidak bisa terlelap, pikiran-pikiran tentang kesepian karena akan ditinggalkan membuatku merasa cukup takut dan sangat kesal. * * * Aku terbangun cukup pagi karena alarm di ponselku, aku mengatur waktu untuk bangun pada pukul sembilan pagi agar aku sempat mengantar Trevor ke bandara. Setidaknya aku menginginkan perpisahan yang dramatis. Tapi gagal. "Aku akan sering berkunjung." kataku sambil memberikan pelukan perpisahan pada kakakku. Namun Trevor benar-benar pria berhati batu, dia sama sekali tidak bergeming ketika aku memberikan pelukan perpisahan dan hampir menangis. "Kau berlebihan anak kecil." katanya menepuk-nepuk bahuku. "Kau bisa datang padaku kapanpun kau mau." "Aku tidak suka Amerika." Aku menggeleng. "Kalau begitu aku yang akan sering mengunjungi mu di Inggris." "Kau sudah berjanji ya." Aku menuntut. "Kau harus datang setiap kali aku memanggil." kataku seolah-olah aku adalah Aladin dan Trevor adalah jin biru di dalam lampu ajaib. "Janji." katanya sambil tersenyum, matanya sempat menyapu seisi bandara, seperti mencari seseorang. "Apa Adeline tahu kau akan pergi hari ini?" tanyaku. Aku tahu kakakku mencari mantan kekasihnya. Trevor menggeleng. "Tidak." "Lalu bagaimana dia akan datang?" kataku lalu melirik jam di tangan kiri ku, pesawat Trevor akan lepas landas dalam sepuluh menit. "Tidak ada waktu untuk memberitahunya." Trevor tahu apa yang ku pikirkan. "Paling tidak telepon dia." Aku menyarankan, aku tidak ingin kakakku memiliki penyesalan apapun, bahkan jika sempat, aku akan membawa Adaline ke bandara untuk mencegahnya pergi. Trevor tidak mengatakan apapun, ia hanya mengambil ponsel dari saku nya, lalu berbalik dan meletakan ponsel itu di telinganya. Aku yakin ia sedang berusaha menghubungi Adeline, tapi entah kenapa ia belum mengatakan apapun hingga memasukkan kembali ponselnya ke saku. "Ada apa?" tanyaku penasaran. "Dia tidak mengangkat." Ucap Trevor, ia terlihat kecewa. "Mungkin dia sedang mandi atau dia tidak mendengar ponselnya berdering." Aku memberikan kemungkinan-kemungkinan positif. "Mungkin." Trevor mengangguk. "Kau baru akan pergi besok kan?" "Ya, hari ini aku akan berkemas dan mengadakan pesta perpisahan dulu dengan teman-temanku." jawabku. Trevor tertawa, lalu kembali serius. "Bantu aku mengembalikan ini pada Adeline." katanya meletakkan sebuah kalung dengan liontin berbentuk bulan sabit di tanganku. "Sampaikan maaf ku padanya." katanya lalu pengeras suara menjerit-jerit memberikan peringatan bahwa pesawat akan lepas landas dalam lima menit. "Kabari aku jika kau sudah sampai." kataku sekali lagi memeluk pria favoritku. "Jaga dirimu." Trevor balas memeluk dengan erat. Lalu melangkah pergi masuk ke pesawat. Ku putuskan untuk langsung mendatangi Adeline segera setelah pulang dari bandara. "Kau tidak kuliah?" Adeline menatapku dengan pandangan bertanya-tanya ketika melihatku datang. "Aku akan pergi ke Inggris besok." jawabku. "Liburan?" Aku menggeleng. "Aku akan kuliah di sana." Selama sepersekian detik dia hanya diam."Keren sekali." katanya lalu tersenyum. "Ini." Aku memberikan kalung yang dititipkan Trevor padaku untuk diberikan padanya. "Aku sudah mengembalikan kalung ini pada Trevor, untuk apa diberikan padaku lagi?" katanya, tidak langsung menerima kalungnya. "Kakakku ingin kau tetap memilikinya." kataku. "Kenapa dia tidak memberikannya sendiri padaku?" Akhirnya dia mengambil kalung itu. "Kakakku pergi ke Amerika, pesawatnya sudah berangkat jam sebelas tadi." Aku langsung memberitahunya tanpa aba-aba. "Dia akan menetap disana." Adeline terdiam lagi, kali ini cukup lama dan ku lihat matanya berkaca-kaca. "Ku harap dia bahagia dimana pun dia berada." lagi-lagi Adeline menyembunyikan kesedihan dan kecewanya, inilah Adeline yang ku kenal, dia wanita yang kuat. "Apa kau masih menyukai kakakku?" Seharusnya pertanyaan ini tidak perlu ku ajukan, karena terlihat jelas bahwa Adeline masih sangat menyukai Trevor. "Kau juga tahu hubungan kami tidak memiliki masa depan apapun." katanya. "Dia mencintaimu, dia tidak seperti aku yang bisa dengan mudah pindah dari satu wanita ke wanita lain, seharusnya kau mempertahankan hubungan kalian jika memang saling mencintai." Aku hampir berteriak karena kesal, aku kesal karena kakakku sedih,aku kesal karena melihat Adeline juga sedih. "Aku bahkan tidak tahu kapan kakakku akan pulih dan bisa menyukai wanita lain." "Hati seseorang bisa berubah kapanpun, suatu saat kau akan mencintai hanya satu wanita,dan mungkin suatu saat Trevor juga akan jatuh cinta pada wanita lain, begitu juga aku." Adeline masih berusaha terlihat tegar namun air matanya menunjukkan bagaimana isi hatinya. "Aku menyukaimu, aku ingin kau jadi kakakku." kataku sambil memeluknya. Aku sudah terbiasa memeluknya, aku bahkan pernah tertidur sambil bersandar di bahunya, dia sosok kakak perempuan yang ku inginkan. Tapi kali ini hatiku berdebar, aku merasa wajahku panas namun aku tidak ingin melepaskannya. ini hanya karena aku tahu dia bukan pacar kakakku lagi, bagaimanapun Adeline adalah wanita, memeluknya bisa menyebabkan perasaan seperti ini. aku berasumsi. Aku mundur selangkah dan menatapnya. "Kau jaga dirimu baik-baik disini. Aku akan berkunjung jika punya kesempatan kembali ke indonesia." kataku, sekaligus mengucapkan salam perpisahan padanya. "Jadilah anak baik di sana, jangan terlalu banyak menggoda wanita-wanita bule." katanya lalu tertawa. "Aku hanya akan memacari tiga orang dalam sekali jalan." Aku bercanda namun bisa jadi itu serius, karena selama ini memang itu yang selalu ku lakukan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD