Chapter 2. Kota Sang Pujangga.

1528 Words
-Jaden- Sudah hampir satu tahun aku telah berada di Inggris. Tepatnya di Stratford-upon-Avon, Inggris. Satu-satunya kota di dunia yang didedikasikan khusus untuk seorang seniman. Karena di kota kecil di pedalaman Inggris inilah pujangga dan sastrawan besar William Shakespeare dilahirkan, tumbuh dewasa, menikah, dan meninggal dunia. Hingga kota ini mendapat julukan sebagai Kota Shakespeare. Aku mengambil jurusan Bisnis  Manajemen di University of Warwick, kampusku hanya berjarak enam belas mil atau sekitar dua puluh menit perjalanan dengan mengendarai mobil. Awalnya aku membenci ayahku yang mengirimku untuk tinggal di kota kecil seperti ini, padahal sebelumnya aku berekspektasi bahwa aku akan tinggal di London untuk merasakan bagaimana rasanya tinggal di tempat yang pernah menyandang predikat sebagai kota terbaik di dunia.  Namun selama dalam perjalanan menuju ke apartemen, aku melihat-lihat dan memperhatikan kota cantik ini, sangat klasik dan nyaman. Suasana Shakespearian langsung terasa begitu aku tiba di kota ini. Di sebuah taman berdiri tugu kecil yang di puncaknya terdapat patung perunggu sang pujangga. Di sekeliling tugu terdapat patung-patung sejumlah karakter terkenal dalam karya-karya Shakespeare, ada Hamlet, Lady Macbeth, Ophelia dan King Lear. Aku jatuh cinta pada kota ini. Meski sudah satu tahun, aku belum pernah berkeliling dan melihat-lihat kota cantik ini, selama ini aku hanya sibuk dengan kuliah dan pacar-pacarku,mereka hanya ingin dibawa berkencan ke tempat-tempat mewah dan berbelanja. Dan kebetulan hari ini untuk pertama kalinya aku menyandang predikat jomblo, jadi ku putuskan pagi ini aku akan berjalan-jalan dan melihat-lihat agar aku bisa mengenal Stratford lebih dalam. Saat berkeliling, merasa seperti masuk ke lorong waktu dan terlempar kembali ke masa lalu, dengan pemandangan bangunan-bangunan tua bergaya Tudor dari era Elizabethan abad ke-14 yang berarsitektur khas, bertingkat dua atau tiga, bercat putih dengan aksen kayu warna hitam pada lis pintu, jendela, dan tiang-tiangnya. Bangunan-bangunan tua berusia ratusan tahun itu berderet di sepanjang jalanan tua dan rapi di pusat kota. Aku masih belum mengenal kota ini dengan baik, jadi ku putuskan untuk mengikuti penunjuk arah, aku tiba di rumah kelahiran sang pujangga, Shakespeare’s Birth Place. Bagian depannya dijadikan museum dan memiliki jalan tembus di belakang menuju ke rumah tempat kelahiran sang pujangga. Rumah bergaya Tudor itu diperkirakan sudah berusia lima ratus tahunan. Terdiri atas tiga lantai, lantai dasar dulunya semacam toko sarung tangan sekaligus rumah minum yang dikelola oleh Shakespeare senior. Lantai dua untuk kediaman keluarga, dan lantai teratas merupakan attic atau loteng yang dijadikan gudang. Aku menyimpulkan, meski tidak kaya raya, keluarga Shakespeare cukup berada. Hal itu terlihat dari kondisi kamar, buaian bayi, tempat tidur, dan mainan yang disediakan untuk William, yang terhitung mewah pada zamannya. Semua itu bisa disaksikan di rumah kelahirannya dan sebagian besar merupakan barang-barang asli yang begitu terawat dan terjaga keasliannya. Sekarang aku tiba di sebuah makam yang terletak di dalam Gereja Holy Trinity. Di salah satu dinding gereja dibangun semacam ‘balkon’ dengan patung Shakespeare yang sedang memegang pena bulu. Di area sekitar altar gereja terdapat beberapa nisan. Nisan yang berada persis di tengah-tengah altar bertuliskan "The Grave of The Poet William Shakespeare (1564-1616)", dan tak jauh dari situ ada semacam batu prasasti bertuliskan sajak dalam bahasa Inggris abad ke-15 yang diciptakan oleh sang pujangga sendiri. Shakespeare tidak sendirian dimakamkan di area altar itu. Di dekatnya juga ada makam istrinya, Anne Hathaway, putri sulungnya Susannah, dan suami Susannah, John Hall. Hujan gerimis yang turun di sepanjang sore itu mengakhiri perjalananku. Sepotong dialog dalam drama Hamlet melintas di kepala ku: "Doubt that the sun doth move, doubt truth to be a liar, but never doubt I love." Ini adalah surat Hamlet untuk Ophelia. Di sana Hamlet menunjuk betapa besar cintanya pada Ophelia. Dia mengatakan bahwa Ophelia bisa meragukan beberapa kebenaran abadi; tapi, dia tidak bisa meragukan cinta Hamlet yang besar untuknya. Pernah terlintas dalam benakku, bahwa aku juga ingin mencintai seperti itu, sebesar itu dan setulus itu, tapi aku tidak pernah mendapatkan rasa istimewa itu sekalipun, wanita-wanita di sekelilingku hanya bisa membuatku menyukai mereka sesaat, mereka semua juga adalah tipe gadis-gadis yang hanya memandang pria dari sisi kemapanan dan ketampanan, tidak seperti Adeline yang mencintai kakakku dengan tulus. Aku tahu Adeline tulus pada Trevor, terbukti bahwa ia nyaris tidak pernah meminta apapun pada kakakku, semua yang ia berikan pada Trevor adalah kebaikan. Sial... Aku merindukan mereka, Aku merindukan Trevor dan Adeline. "Hai." sapaku pada layar ponsel, di sana kakakku terlihat masih lusuh diatas tempat tidurnya, rambutnya acak-acakan. Ku lirik jam di tanganku, menunjukan pukul sebelas siang. "Di sana jam delapan pagi kan? Kenapa kau belum bangun?" "Apa kau tidak lihat aku sudah bangun?" katanya sambil mengusap-usap mata. "Jelas-jelas masih tidur." "Ya, lima menit yang lalu aku masih tidur dengan nyenyak dan sekarang terbangun berkat seseorang." ucapnya kesal. Aku tertawa. "Bukankah kau harus pergi bekerja?" "Aku adalah seorang CEO, aku bisa datang kapan saja." katanya dengan sombong, lalu berdiri dan berjalan, yang terlihat olehku hanya wajah lusuhnya dengan piyama tidur sutra berwarna hitam. "Jika kau adalah CEO nya, makanya seharusnya kau bisa pergi berlibur dan kunjungi aku." Aku menantangnya, dalam satu tahun ini nyatanya Trevor baru satu kali mengunjungi ku, itupun sudah delapan bulan yang lalu. "Aku sibuk, kau bermainlah dengan teman-temanmu." katanya lalu meneguk segelas air putih, ia masih memperlakukan aku seperti anak kecil. "Nyatanya aku tidak punya teman, apa kau tidak lihat aku berjalan-jalan sendirian disini?" kataku, aku memutar balik kamera ponselku dan menunjukan padanya keindahan kota Stratford, dan menunjukan betapa aku sangat sendirian. "Ayolah, aku juga sedang tidak enak badan." aku berakting dengan terbatuk-batuk. "Kau sakit kenapa malah pergi ke luar?" Trevor mengomel, kini perhatiannya sangat terfokus padaku. "Aku bosan di rumah." Aku semakin merengek, dan memasang wajah sendu. "Ayolah, berkemas dan pesan tiket ke Inggris sekarang juga." Trevor tertawa. "Kapan kau akan dewasa? katanya. "Ku usahakan hari ini aku akan menyelesaikan semua pekerjaanku, agar aku bisa mendatangimu, oke?" "You are the best brother." kataku dengan aksen yang cukup kental karena terbiasa berbicara disini. "Okay, my whining little brother, now I have to shower and get ready for work." Trevor menjawab dengan gaya Amerika nya. Aku tertawa, dan cukup sedih karena kami adalah keluarga, tapi Trevor berada di Amerika sedangkan aku di Inggris, dan orangtuaku? Aku tidak tahu mereka ada dimana saat ini. "Kau harus ingat bahwa aku sudah dewasa."  Kataku melancarkan protes keras. "Orang dewasa tidak seharusnya merengek." balas Trevor. "Kau akan sangat terkejut jika kau melihat perubahanku saat ini," kataku. "Secara langsung maksudku." Aku lupa bahwa Trevor saat ini juga bisa melihat rupaku meski hanya dari layar ponsel. "Baiklah, aku sangat tidak sabar untuk melihatnya." Trevor terlihat cukup antusias meski itu sangat dibuat-buat. "Cepatlah selesaikan urusanmu dan datang kemari." kataku lalu kami selesai bicara. Trevor pergi mandi dan aku melanjutkan tour ku dan kembali menikmati suasana abad ke 15, tidak satupun tempat wisata di daerah ini yang ku lewatkan. Tak lama, ponselku berdering. "Bersihkan rumahmu, aku sudah memesan tiket pesawat dan akan berangkat delapan jam lagi." kata Trevor dengan tiba-tiba. "Sekarang?" Aku hampir melompat kegirangan. "Delapan jam lagi." Ralat Trevor, aku tidak bisa memesan tiket kurang dari enam jam sebelum jadwal keberangkatan. "Aku akan berangkat pada pukul lima sore ini." Aku menghitung, delapan jam lagi pesawat Trevor lepas landas, dan ia akan berada dalam perjalanan setidaknya selama delapan jam juga, "Oke, oke, maka seharusnya ku tunggu kau di bandara besok siang jam 2 kan?" Aku bertanya, tidak yakin dengan perhitunganku. "Benar." "Oke," ucapku lalu aku bergegas pulang, Trevor memang akan sampai besok sore, tapi aku sudah sangat bersemangat untuk menyiapkan tempat dan menyambut kedatangannya. SUDAH TUJUH JAM BERLALU, maka seharusnya Trevor sudah berada di bandara untuk menunggu pesawatnya lepas landas. Tapi sampai detik ini Trevor belum memberikan kabar apapun padaku, dan anehnya aku merasa sangat cemas saat berkali-kali ku telepon namun tidak ada yang mengangkat. Ku tempelkan ponselku ke telinga, berharap Trevor mengangkat teleponnya. Namun kali ini ponselnya malah sudah tidak aktif. Mungkin dia sudah berada di pesawat. Aku menghalau kekhawatiran ku, dan melemparkan ponselku ke tempat tidur dan menjatuhkan diriku juga disana. Tapi jadwal pesawatnya lepas landas masih satu jam lagi, mana mungkin Trevor sudah berada di dalam pesawat. Dia bukan tipe orang yang suka menunggu terlalu lama. Aku berguling, hingga berbaring miring dan kuambil ponselku lagi. Ku coba menelepon sekali lagi, namun ponselnya tetap tidak aktif. "Apa jadwal keberangkatannya di majukan?" aku bergumam sendirian. Hatiku masih merasa sangat cemas. Ku lirik jam di ponselku, disini sudah jam delapan malam, aku terlalu malas untuk pergi keluar bersama teman-temanku, tapi berada di rumah juga sangat membosankan. Tak lama ponselku berdering, ku kira Trevor yang menelepon, tapi saat ku lihat, ternyata Deborah yang menelepon. "Halo." Sapaku pada asisten rumah tangga kakakku. "Selamat malam Tuan Jaden." sapanya padaku dengan aksen rotik. Nada nya panik. "Ada apa?" Jantungku terasa sakit karena khawatir, padahal Deborah belum mengatakan apapun. "Tuan Trevor mengalami kecelakaan dalam perjalanan menuju bandara." katanya, dan aku langsung terduduk lemas, ponsel terjatuh disampingku. "Halo... Halo.." jauh terdengar suara Deborah memanggil-manggil. "Bagaimana kondisinya?" tanyaku, aku sudah menangis, rasanya sulit untuk kembali berdiri. "Sedang dalam penanganan dokter." jawab Deborah,"Kita hanya bisa berdoa untuk keselamatan tuan Trevor." "Aku akan pulang sekarang juga." kata ku lalu menutup telepon, namun tidak ada yang bisa ku lakukan, hari sudah malam, aku hanya bisa mendapatkan tiket untuk keberangkatan pesawat pukul tujuh pagi dengan tujuan bandara Boston Logan, Massachusetts, Amerika Serikat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD