bc

A Nur Kedua [Bahasa Indonesia]

book_age12+
1.5K
FOLLOW
13.9K
READ
love after marriage
pregnant
goodgirl
neighbor
sweet
like
intro-logo
Blurb

Voni diputuskan oleh kekasihnya, Anel, hanya dengan selembar undangan. Hubungan mereka telah berjalan sangat lama, meskipun terpisah jarak jauh. Halangan demi halangan, masalah demi masalah telah mereka lalui. Voni selalu sabar menghadapi sifat kekasihnya. Dia selalu mengalah demi hubungan mereka. Jadi, ketika Anel datang menutuskan hubungan mereka, betul-betul putus, Voni menganggap Anel ingin mencoba menikah dengan wanita sebelum menikahinya. Gilanya malam itu Voni masih bersedia tidur dengan Anel. Dan tanpa ia sadari dalam kesedihannya, ia mengalami pendarahan. Kehilangan itu membuatnya menyadari bahwa selama ini ia telah salah dan ingin memperbaiki diri.

chap-preview
Free preview
Dosa
Dosa   Padang, 2016   “Jujur, Von. Kamu kenapa? Kamu ada masalah?” Avika memegang pergelangan tanganku. Aku bingung harus jujur atau tidak. Aku ingin mengatakannya, tapi takut. Bagaimana jika setelah aku jujur, Avika menjauhiku? “Von!” Avika masih mendesak, membuatku mengembuskan napas lemah. Aku menelan saliva sebelum bicara. Susah payah mengumpulkan keberanian yang jauh di belakang. “Aku tidur sama Anel.” “Kamu apa?” Avika kelihatan tidak yakin. “Kamu sudah dengar. Aku tidur tanpa pakaian, dengannya.” “Voni! Ya Allah, Tuhan! Apa yang sudah kamu lakukan? Voni kamu becanda, ‘kan? Kamu pasti ngerjain aku! Bilang, kamu hanya main-main, Voni!” Avika mengguncang-guncang tubuhku. “Semuanya sudah kejadian, Vik. Aku khilaf.” Aku sangat mencintai Anel. Aku nggak mampu menolak dia. “Voni ... Ya ampun, Voni. Aku nggak nyangka kamu bakal melakukan hal itu. Katakan sama aku, kamu menyesal, Voni! Kamu akan mutusin dia. Kamu nggak akan bertemu lelaki berengsek itu lagi!” Avika mengeluarkan kekuatan suaranya. Walaupun dia berteriak, aku tidak akan kembali menjadi perawan. “Itu nggak mungkin. Aku tidak bisa putus dari dia. Bahkan aku ingin dia yang menjadi suamiku kelak. Dia berjanji akan bertanggung jawab. Nanti setelah mendapatkan pekerjaan, dia akan menikahiku.” Aku percaya kepada Anel. Meskipun kami sering bertengkar, putus nyambung, namun aku percaya, dialah jodohku. Apalagi setelah aku menyerahkan segalanya kepada Anel, dia tidak akan melepaskanku. Karena dia pasti bisa merasakan betapa aku sangat mencintainya. “Sakit kamu, Von.” Avika berdiri. Aku juga ikut berdiri. “Tunggu!” Aku menarik tangannya sebelum dia keluar. “Aku hanya menceritakan ini sama kamu. Aku percaya kamu tidak memberitahu tahu orang lain.” Sebenarnya aku memohon, tapi aku tetaplah Voni. Perempuan kuat dan tidak mengemis kepada seseorang. Walaupun aku yang membutuhkan bantuan. “Aku sangat kecewa. Kamu tahu, kamu adalah sahabatku sejak kecil. Kita menghadapi saat-saat susah dan senang bersama. Kita belajar kebaikan bersama. Jika saja, kamu menyesal dan berjanji tidak akan berhubungan dengan lelaki itu lagi, aku akan memelukmu dan menguatkanmu.” “Aku cinta Anel, sangat cinta. Aku tak mau kehilangan Anel. Dia satu-satunya orang yang mencintaiku dengan tulus. Kamu harusnya paham, Vika.” Baiklah, aku mulai memohon kepada sahabatku sendiri. Ini adalah langkah pertama yang sangat ekstrim. “Lalu kamu anggap kami ini apa? Aku siapa?” Avika sangat kecewa. Aku tidak ingin dia semakin membenciku. Aku harus menunda pembicaraan ini. “Aku menyesal kok, Vik. Tidak mungkin aku merasa senang setelah melakukan perbuatan dosa itu. Aku juga sedih sebab tidak bisa mempersembahkannya kepada suamiku nanti.” Makanya, aku harap Anel akan segera menikahiku. “Semoga kamu sadar, kamu harusnya putus dari dia sejak dulu.” Angin dari pintu yang dikatupkan menerpa wajahku. Aku kembali mengembuskan napas lemah. Avika sudah pergi. Jika aku yang berada di posisi Avika, aku juga akan memarahi sahabatku yang lemah terhadap rayuan laki-laki. Jika berada di posisiku sekarang, dengan cinta yang aku rasakan, apa pun pasti akan dilakukan untuk membuat lelaki itu bahagia. Dengan begini, Anel tidak akan ke mana-mana.   ***   Kembali ke kamar kos pukul tiga sore. Matahari sedang bersinar garang di langit, membuat wajahku memerah. Seharian tadi aku menunggu dosen pembimbing di rektorat. Dobingku itu lebih sering duduk di kantornya yang ada di gedung rektorat, mungkin karena dia adalah bagian humas universitas. Mencari waktu untuk bertemu saja, susahnya ngalahin soal Fisika terumit. Setelah mengganti pakaian serba pendek yang nyaman untuk dibawa rebahan, aku mengambil cangkir dari rak piring. Kamar kosku sudah lengkap, mau makan tinggal ambil. Mau minum tinggal geser duduk saja. Kupuaskan dahagaku untuk mengembalikan ion yang hilang. Dengan minum air putih yang banyak setiap hari, kulitku terlihat sehat. Ini adalah salah satu modal untuk menikah nanti. Menikah? Aku jadi teringat Anel. Rindu kini menyapa. Lagi ngapain ya, Baby Anel? “Halo.” Suara yang kurindukan menyahut. “Kamu sedang ada di mana?” “Di kontrakan.” Aku percaya karena suara-suara berisik yang menjadi latar tengah mentertawakan Anel. Selalu begitu kalau aku menelepon ketika dia sedang berada di rumah. “Kamu udah makan, Fey?” “Belum, Nel.” Aku bahagia hanya mendengar suaranya. Aku tidak menginginkan makan jika sudah mendengarnya bicara. Pengaruh Anel begitu dalam. “Kan ... Vofey tidak pernah nurut sama aku. Jangan nunda-nunda makan, Fey! Kalau kamu sakit gimana? Aku khawatir di sini.” Kecemasan Anel membuat senyumanku mekar. Inilah yang membuat aku mencintainya. Dia sangat perhatian. Setelah sesi teleponan selama sejam, aku mengisi daya ponselku. Baterainya sudah menunjukkan angka 15%. Telah merah dan LCD-nya terasa panas. Kalau sudah ngomong sama Anel, aku suka lupa waktu. Namanya Dovan Elrangga. Aku memanggilnya Anel dan dia memanggilku Vofey. Kami bukan anak alay. Sebutan itu berasal dari inisial nama kami masing-masing. Kami berpacaran sejak awal masuk kuliah. Dulu aku ingin kuliah di Pekanbaru, meskipun pada akhirnya gagal. Saat itu aku nekat pergi sendirian ke sana untuk memahami daerah tersebut. Di travel aku ketemu Anel pertama kali. Kami duduk berdampingan. Selama di Pekanbaru dialah yang mengantarku ke tempat-tempat tujuanku. Sejak awal, dia memang baik. Anel penyayang. Beberapa kali aku diajak ke rumah orang tuanya yang di sini jika dia pulang ke Sumbar. Dari sana aku bisa melihat kalau Anel sangat sayang pada mamanya. Papanya sudah tidak ada. Dia anak satu-satunya di keluarga, artinya mereka hanya hidup berdua. Kalau dihitung-hitung, berarti kami pacaran sudah lima tahun. Kami menjalani hubungan jarak jauh atau biasa disebut orang LDR. Anel kuliah di Riau dan sekarang dia bekerja di Batam. Sementara aku masih tak kunjung menyelesaikan sarjanaku. Semoga saja, Anel segera mengajakku untuk meresmikan hubungan kami. Aku udah tak sabar menjadi milik dia seutuhnya.   ***   Sebulanan ini Avika berusaha menghindar. Dia kayak alergi gitu kalau aku udah dekat. Waktu aku panggil, dia diam saja. Aku dekati, dia pergi. Aku tidak tahan dijauhi oleh Avika karena dia seperti saudaraku sendiri. Pokoknya, aku harus lebih keras lagi membujuk Avika untuk baikan. Aku akan mulai dari sekarang. “Loh, Avika?” Surprise untukku. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Niat hati ingin mencari Avika, ternyata Avikanya sudah ada di depan pintu. “Kamu sudah dari tadi? Kok nggak ngetuk?” Wuuush... Pertanyaanku dianggap angin. Avika masuk ke kamar kos dan langsung keluar lagi. “Sini, Von!” Aku tertawa mendengar Avika tak lagi mencuekiku. Dengan berlari kecil, aku kembali ke kamar. Beberapa teman yang satu rumah denganku memberikan senyuman sopan untuk Avika. “Kamu coba pakai ini dulu.” Avika mengeluarkan tiga alat keluaran apotek. Gini-gini aku tahu benda apa itu. “Vika ... Maksudnya ini aku disuruh pakai?” Aku mengangkat satu alat ragu-ragu. Perasaanku mulai tidak enak. Avika mengangguk. “Iya, coba kamu gunakan alat ini.” Aku menelan saliva. Tanganku gemetar. Aku lalu ingat sesuatu yang biasanya aku abaikan. “Vik ... Kalau aku beneran hamil gimana?” Sumpah aku takut. Aku tak pernah kepikiran kalau ... kami baru melakukannya sekali, takk mungkin ‘kan aku langsung hamil? “Makanya, coba dulu pakai alat ini! Kita akan tahu apakah kamu hamil atau enggak.” “Vik ... Kalau aku beneran hamil gimana?” “Sekarang aku mau tanya. Kamu sudah dapet tamu bulanan belum?” Skakmat. Ini dia yang aku lupakan. Tamu setiaku itu belum datang menyambangi. Apa yang harus kulakukan jika aku benar-benar mengandung? “Belum.” “Mungkin cuma telat biasa. Makanya ayuk cepat pakai testpack ini! Semuanya, ya!” Aku menyerahkan ketiga alat itu ke tangan Avika. Tubuhku lemas melihat hasilnya. Tapi aku tetap diam. Aku tak ingin penduduk rumah ini heboh dengan kabar ini. Yang bisa kulakukan sekarang adalah duduk di atas springbed. Menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Perlahan kurasakan air menyentuh permukaan telapak tanganku. Senggukan kecil keluar dari bibirku. “Aku belum siap.” “Hey! Voni! Von!” Aku mengerjab-ngerjabkan mata. Avika mengambil perhatianku dari drama terburuk tadi. “Jangan bengong! Cepat!” Aku menahan tangannya. “Kenapa? Kamu nggak mau?” “Bukan. Aku ... Hmmm ... Kayaknya kita langsung ke rumah sakit saja.” Avika melotot tidak percaya. “Kamu yakin mau langsung ke rumah sakit? Kalau di sana nanti kamu ditanya macam-macam, ditanya mana suami kamu.” Aku langsung menggeleng. “Nggak apa-apa. Kita ke rumah sakit saja. Aku mau hasil yang pasti.” Aku sudah bulat dengan keputusan ini. “Baiklah. Akan aku pastikan, kalau kamu benar-benar hamil, kamu nggak akan berpikiran bodoh untuk mencelakai anak itu.” Avika kayaknya bisa mendengar isi kepalaku.   ***

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Rujuk

read
912.2K
bc

A Piece of Pain || Indonesia

read
87.5K
bc

A Boss DESIRE (Ganda - Gadis)

read
984.6K
bc

Loving The Pain

read
3.0M
bc

Mendadak Jadi Istri CEO

read
1.6M
bc

Long Road

read
118.3K
bc

Aksara untuk Elea (21+)

read
836.5K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook