Bagian 9

964 Words
Malam ini merupakan malam terakhir kami tidur bersama. Itu artinya selama seminggu ke depan Adi akan tidur bersama Melati. Meski aku belum yakin tentang perasaanku padanya, namun satu yang pasti aku merasa kehilangan dan cemburu, tentu saja. Adi adalah suamiku yang kemudian menikah lagi dengan Melati. Tapi masalahnya di sini Adi tak mencintaiku atau mungkin belum? Aku tersenyum sendiri mengingat kemungkinan itu. Adi kelak akan mencintaiku, benarkah? Aku sedang berdiri di balkon kamar. Menatap pekatnya langit yang ditaburi bintang-bintang. Setelah makan malam tadi, aku bergegas masuk ke kamar. Memberi waktu pada Adi dan Melati untuk menghabiskan waktu berdua. Meski hati tak rela tapi toh aku tetap melakukannya. Setidaknya aku berkaca pada Melati yang selalu berusaha mendekatkan Adi padaku. "Adi, Anye juga istrimu. Suapin dia juga dong." "Adi, nanti jangan lupa jemput Anye." Ya, Melati sosok wanita yang rela berbagi suami. Entah terbuat dari apa hatinya. Yang pasti aku mengagumi sekaligus cemburu dengannya. "Belum tidur?" Adi tiba-tiba sudah berada di sampingku. Turut menatap langit di atas sana. "Kamu juga belum tidur." "Ayo tidur," ajak Adi lantas mengulurkan tangannya. Aku menatap tangannya ragu. Namun akhirnya meraihnya juga. Kami berjalan dengan jemari saling menggenggam. Beriringan memasuki kamar. "Besok aku ada meeting pagi, jadi maaf nggak bisa antar kamu. Tapi aku berangkat bareng Melati, karena kami searah," ujarnya setelah kami duduk bersisian di ranjang dengan tubuh bersandar pada kepala ranjang. Adi masih menggenggam tanganku. Erat. "Iya nggak apa-apa." Dan malam ini ditutup dengan kecupan ringan pemberian Adi di bibirku. ***** Benar. Paginya, Adi dan Melati berangkat lebih dulu. Selang lima belas menit aku pun berangkat menuju tempat kerjaku. "Pagi, Marta." "Pagi, Anyelir," balasnya. "Jadi ada berita apa pagi ini? Kayaknya lagi happy banget deh." Marta memang paling bisa membaca ekspresiku. "Biasa aja kok, nggak ada yang spesial." Ya memang tidak ada yang spesial. Hanya perlakuan manis Adi akhir-akhir ini padaku membuat hidupku berwarna. Aku seperti menemukan semangat baru. "Yakin nih? Itu muka berseri terus lho semenjak bobo bareng sama Pak Su." Tuh kan bener, ujung-ujungnya godain. Aku menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Malu rasanya. "Aku ikut seneng deh, kalau gitu." Dan pekerjaan yang menumpuk akhirnya membuat kami harus menghentikan sesi curhat pagi ini. Saat jam istirahat kami memutuskan untuk makan siang bersama di rumah makan padang di depan pabrik. "Makan yang banyak biar makin kuat menerima kenyataan," gumamku sesaat setelah si Uda meletakkan pesanan kami. "Kenyataan apa nih?" ucap Marta dengan seringai jahilnya. Aku mencondongkan tubuh ke arah Marta. "Kenyataan kalau aku dimadu. Puas kamu!" sahutku kemudian, setengah berbisik karena malu jika terdengar orang lain. Marta hampir meledakkan tawanya. Namun bisa kucegah dengan pelototan tajamku. Dia tersenyum simpul sambil mengangkat jari tangannya membentuk huruf V. ***** "Bisa kita bicara?" Aku hendak memutar kontak motor matic-ku saat sebuah suara menginterupsi. Ferdi, lelaki itu telah berdiri tepat di samping motorku, menatapku sendu. Sudah berhari-hari kami memang tidak bertemu. Hanya sesekali melihat sekilas saat di mushola atau di kantin. Selebihnya kami tidak pernah bertegur sapa. Aku lebih suka seperti ini. Karena tak mau juga menimbulkan fitnah jika terlalu dekat dengan Ferdi. Dan di sinilah akhirnya kami berada. Di sebuah kafe bergaya retro tak jauh dari tempat kerja kami. Kami terdiam beberapa saat hingga minuman yang kami pesan tersaji di hadapan kami. "Ada apa?" tanyaku kemudian. "Sudah pindah lagi ke rumah?" Aku mengangguk, "iya." Terdengar helaan napas Ferdi. "Aku melihat suami kamu dengan wanita lain beberapa kali." Ferdi memberi jeda, memandangku, mencoba melihat seperti apa ekspresiku. Namun, aku hanya menampilkan senyum tipis. Tak terkejut karena aku bisa menebak siapa wanita itu. "Mungkin yang kamu lihat adalah Melati. Istri keduanya," jelasku. Ferdi terperangah, kelopak matanya melebar. Mungkin berita ini terlalu mengejutkan bagi Ferdi. "Istri kedua?" "Iya, sebulan setelah pernikahan kami, dia menikahi Melati. Aku pikir malam sewaktu kamu ke kos, kamu sudah mengetahui hal itu." "Aku kira kamu hanya bertengkar dengan suamimu, makanya kamu pergi dari rumah dan menyewa kamar kos. Ternyata ...." Aku tersenyum, " Nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku baik-baik saja, sekarang dia sedang berusaha bersikap adil pada kami." "Kamu ... mencintainya?" Aku tertegun mendengar pertanyaannya. Ya Tuhan, kenapa Ferdi harus menanyakan itu. Aku memilih mengalihkan pandanganku ke arah lain. Tak ingin menatap balik Ferdi yang sejak pertama kali tiba di kafe terus menatapku lekat. "Anyelir." "Apa salah kalau pada akhirnya aku mencintai suamiku?" Ferdi tersenyum tipis. "Baiklah. Itu artinya aku memang harus mulai membuang perasaan ini. Semoga kamu bahagia di pernikahan kalian." Aku terdiam, ragu untuk menjawab. "Kita pulang sekarang?" tanyanya yang kemudian kuangguki. ***** Rumah masih sepi dan lampu masih gelap saat aku pulang. Di garasi, mobil Adi juga tak nampak. Mungkinkah Adi dan Melati pergi bersama? Ke mana mereka pergi sampai semalam ini? Kunyalakan lampu di setiap sudut rumah. Setelahnya aku memilih mandi lebih dulu. Lelah sekali rasanya hari ini. Seusai mandi kulangkahkan kaki menuju dapur untuk membuat s**u hangat. Menuju ruang tengah, kunyalakan TV. Bukan untuk menonton sinetron tapi untuk mengisi kesunyian rumah berlantai dua ini. Sementara jari-jariku bergerak lincah menggulir layar ponsel. Membuka akun sosmed atau mencari bacaan di aplikasi baca berlogo W. Sampai akhirnya tepat saat jam dinding mengarah pada pukul sepuluh, suara deru mobil memasuki garasi. Tak lama terdengar salam dari dua orang yang juga menghuni rumah ini. "Wa'alaikumsalam," jawabku. Adi dan Melati memasuki ruang tengah di mana aku tengah duduk. "Nye," sapa Melati. Aku mengangguk. Saat ini pandanganku tertuju pada penampilan mereka berdua. Adi memakai kemeja biru dan celana kain slim fit dan sepatu formal. Rambutnya di rapihkan ke belakang. Tak lupa jam tangan ber-merk di pergelangan tangannya. Sementara Melati memakai dress berbahan brokat berwarna senada dengan kemeja Adi. Benar-benar pasangan serasi! "Kalian ...." "Kami habis ke pesta sepupunya Melati," jelas Adi. Aku mengangguk. "Kami ke kamar dulu ya," pamit Melati. Aku kembali duduk. Sebersit rasa cemburu kemudian muncul. Ya, aku cemburu melihat betapa serasinya Adi dan Melati. Bersambung  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD