Bagian 8

1005 Words
Malam sudah semakin larut. Jam di atas nakas sudah menunjukkan pukul dua belas malam, tetapi sepasang mataku ini belum juga bisa terpejam. Sementara dapat kudengar dengkuran halus dari Adi yang sudah tertidur sejak tadi di sampingku. Kuhela napas lalu mengembuskannya perlahan. Ternyata tidur seranjang dengan Adi membuat pikiranku justru berkelana ke mana-mana. Khawatir Adi akan meminta haknya itu yang paling kupikirkan saat ini. Akhirnya kuputuskan untuk berwudu. Salat malam lebih baik, pikirku. "Kamu belum tidur?" suara Adi mengagetkanku yang baru saja menyelesaikan salat. "Belum ngantuk," jawabku sembari melepas mukena lalu memakai kerudungku dan menoleh padanya yang saat ini tengah duduk bersandar pada kepala ranjang. "Sini." Adi menepuk sisi kanannya. Memintaku duduk di sana. Masih dengan posisi duduk di atas sajadah, aku menatap Adi yang entah mengapa terlihat lebih tampan saat baru bangun tidur. Anyelir, mikir apa sih kamu! "Anyelir." Lagi, suara Adi terdengar lembut memanggilku. Aku berdiri, meletakkan mukena di atas sofa lalu duduk di samping Adi sesuai permintaannya. Jantungku kembali berdebar tak berirama. Aku hanya bisa menundukkan wajah. Teramat canggung duduk bersisian dengannya, di tengah malam yang senyap ini. Adi meraih tanganku. Menggenggamnya lembut. Kutatap netra hitam pekat yang juga tengah menatapku. Adi tersenyum tipis. Senyum yang jarang sekali kulihat selama pernikahan kami. "Maaf. Maaf untuk sikapku selama ini yang mungkin menyakiti kamu," ucapnya terdengar tulus namun entah mengapa aku menyangsikannya. "Aku tidak tahu kamu kenapa sampai tiba-tiba berubah begini. Aku senang meski juga khawatir kamu hanya sedang pura-pura." Air muka Adi berubah. Ada gurat kekesalan di sana. Nah kan bener, bisa aja dia pura-pura baik padaku, bukan? Adi membuang napas pelan. Masih menatapku lekat dan berkata, "Aku sadar selama ini sikapku keterlaluan sama kamu. Sekarang aku sedang berusaha bersikap adil pada kalian. " Aku mengangguk. "Tapi ... bukan berarti kita akan ...," sulit sekali melanjutkan kalimatku. Malu sejujurnya membahas ini. Adi tersenyum. "Tidak, sampai kamu benar-benar siap," jelas Adi yang mengerti maksudku. Dan setelahnya kurasakan bibirnya menyentuh puncak kepalaku. "Selamat tidur," ucapnya lagi seraya tersenyum. ***** "Jadi sekarang kamu dan Melati tidur bergiliran sama Adi?" Marta kembali memastikan ucapanku. Sementara tangannya sibuk mengaduk mi ayam yang sudah diberi saus dan sambal. Kami sedang makan siang di kantin pabrik. Duduk berdua di meja paling ujung. Sengaja memilih tempat ini karena aku ingin bercerita banyak hal pada Marta. Aku mengangguk. "Iya." "Kok aku jadi curiga sama mereka berdua. Dan kenapa Adi tiba-tiba bisa berubah sikapnya begitu? Jangan-jangan ...." "Jangan netthink deh, Ta," kataku mengingatkan. Meski aku tak menampik berpikir ke arah sana juga "Buktinya, Adi tiba-tiba baik sama kamu. Bukannya pas itu dia bilang bakal ceraiin kamu, kalau ibunya udah sembuh?" Aku terdiam mencoba mengingat percakapanku dengan Adi sewaktu perjalanan kami menuju ke Bandung. Adi memang tidak secara gamblang mengucapkan akan menceraikanku jika Ibunya telah sembuh. Tapi ia seolah mengizinkanku boleh menuntut cerai padanya saat ibu mertuaku benar-benar sembuh. Dan ... dengan perubahan sikapnya sekarang ini, pantaskah aku masih meminta berpisah dengannya? "Entahlah Ta. Aku sendiri juga bingung." "Kamu cinta sama Adi?" tembak Marta. Cinta? Aku terenyak. Menatap Marta yang juga tengah menatapku dengan wajah penuh tanda tanya. "A-aku juga nggak tahu, Ta." "Nggak apa-apa kalau kamu cinta sama Adi. Dia suami kamu. Cuma aku nggak mau kamu nantinya terluka lagi, kalau ternyata perasaan cintamu kamu nggak berbalas. Adi dan Melati menurutku pasangan abadi. Keduanya rela mengorbankan dirinya dibenci keluarga demi bisa bersama." Ah, Marta benar. Pernikahan mereka memang sempat ditentang oleh orang tua Melati. Tapi akhirnya meski keberatan, orang tua maduku itu merestui. Sementara untuk beberapa waktu, Adi sempat dijauhi oleh sepupunya. Sedangkan orang tua Adi saat ini belum mengetahui jika putra kebanggaan mereka telah menikahi pacar pertamanya. Cinta mereka memang sedalam itu. Seharusnya, sejak awal aku memang menolak perjodohan ini. ***** Adi : [Aku tunggu di depan.] Aku tertegun mendapati pesan singkat dari Adi. Aku sedang membereskan meja kerja saat tiba-tiba terdengar bunyi pesan masuk. "Kenapa, Nye?" Marta yang juga tengah membereskan mejanya, bertanya penuh rasa penasaran. "Adi di depan." "Cieee, dijemput suami," goda Marta dengan senyum jahilnya. "Apa sih, Ta." "Bentar lagi kayaknya bakal ada yang belah duren nih." "Marta!" tegurku dengan nada pura-pura marah dan menahan senyum. "Udah sana samperin. Biar aku yang beresin. Takut berubah pikiran dia, kalau nunggu kelamaan." "Nggak ah," tolakku masih memilah file lalu menyatukannya sesuai tanggal. "Udah sana." Marta merebut file di tanganku. "Anggap kalian baru menikah, lupain yang dulu-dulu. Jadi nikmati aja perhatian dari Adi," ucapnya lagi sembari tersenyum. ***** "Udah makan?" tanya Adi begitu mobil melaju. "Udah." "Temani aku makan, mau?" Aku menoleh, menatap Adi. Heran. "Memangnya kamu belum makan?" "Tadi siang nggak sempat." "Melati gimana?" "Dia pulang telat. Ada acara kantor." Aku mengangguk tanda setuju. ***** "Mbak, saya pesan sup iga, nasi dan es teh manis," kata Adi pada pelayan wanita yang sejak tadi matanya tak lepas memandang Adi, membuatku geli sendiri. Apa sebegitu tampankah Adi di mata wanita lain? "Kamu pesan apa, Nye?" tanya Adi padaku. "Aku ... pesan latte sama roti bakar aja, Mbak." Pelayan itu mencatat pesanan kami. Setelah mengucapkan terima kasih dan meminta kami menunggu sekitar lima belas menit, ia undur diri. "Kenapa nggak pesan makan?" "Masih kenyang. Siang tadi kan baru makan," jawabku. Lalu setelahnya kami saling diam. Memilih menikmati makanan pesanan kami. Aku mengamati cara makan Adi. Pria di depanku ini makan dengan tenang. Pandangannya fokus pada makanan di depannya. Padahal tak jauh dari tempat kami duduk, tiga abege sejak tadi memperhatikan Adi. Mereka yang berpakaian terbuka sesekali tertawa cukup keras sambil memandang Adi. Sikap Adi yang acuh pada mereka membuatku tersentuh. Sosok Adi si manusia salju ternyata bukan pria tebar pesona. Syukurlah. Kami pulang setelah hidangan di piring kami tandas. Adi menyalakan musik agar suasana mobil tak terlalu hening. Suara merdu Andmesh Kamaleng yang menyanyikan lagu Cinta Luar Biasa memecah keheningan di antara kami. Adi bersenandung lirih, begitu juga denganku. Kami tersenyum saat kami sama-sama menoleh dan pandangan kami bertemu. Semburat merah di pipi, tak mampu kututupi. Sementara jantungku berdegup tak berirama, mendapati senyum merekah Adi. Untuk saat ini biarkan seperti ini dulu. Menikmati kebersamaanku dengan Adi. Semoga memang semua ini menjadi awal yang indah. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD