Bagian 7

1024 Words
"Aku belum mau pulang," kataku sesaat setelah mobil yang Adi kendarai membaur dengan kendaraan lain. Adi terdiam, pandangannya fokus ke jalanan. Sementara seperti biasa wajahnya datar sedatar papan tripleks. Aku mengembuskan napas pelan. Rasanya butuh asupan oksigen saat berhadapan dengan manusia salju macam Adi. "Antar aku ke kosan." Adi masih tak menyahut. Tapi jalan yang ia pilih memang menuju ke kos. Setidaknya ia mengikuti keinginanku. Masih sama-sama terdiam, kami turun dari mobil dan memasuki kamar. "Bereskan barang-barangmu. Kita pulang sekarang," ucapnya kemudian setelah lama terdiam. Matanya menyorot tajam padaku membuatku takut akan kemarahannya. "Aku mau di sini," kataku bersikukuh. Adi berjalan menuju lemari. Mengambil koper, dengan cekatan memasukkan pakaianku. Aku sendiri hanya terdiam mematung menyaksikan ulah Adi. "Di. Aku masih mau di sini," sentakku mencoba merebut koper dari tangannya, setelah sadar seluruh bajuku selesai di masukkan olehnya. Adi berdiri. Matanya memindai tubuhku dari ujung kepala hingga kaki. Seketika aku merinding. Kedua tanganku refleks menyilang ke tubuhku yang masih berbalut pakaian kerja. Adi semakin mendekat. Kilat gairah kini tergambar jelas di matanya. Aku semakin takut, Adi akan berbuat nekat seperti waktu itu. "Di." Adi masih tak menyahut, namun tubuhnya semakin mendekat. Sementara tubuhku sudah menabrak dinding, membuatku tak bisa mundur untuk menghindarinya. Tubuh Adi kini berdiri tepat di depanku. Nafasnya memburu menyapu wajahku. Kedua tangannya bersangga pada dinding mengurungku posesif. "Aku akan membuatmu menjadi milikku seutuhnya, saat ini juga." Tubuhku meremang mendengar suara seraknya. Adi benar-benar telah dikuasai gairah. Aku semakin takut dibuatnya. Menggeleng pelan, aku berusaha meminta Adi untuk tak melanjutkan niatnya. Ia mengendus pipiku perlahan lalu terhenti tepat di depan bibirku. Mata kami beradu. Dalam sekejap kurasakan cecapannya yang lembut, membuatku terhanyut. "Diiii ...." Aku terengah di antara deru napas kami. "Kita pulang sekarang. Atau ...." Aku mengangguk cepat. "Oke, kita pulang." Tak ingin Adi bertindak lebih jauh padaku, akhirnya aku menuruti kemauannya. Adi menjauhkan dirinya. Masih menatapku lekat, kulihat jelas ia mengembuskan napas berat. "Ya sudah, kamu siap-siap. Aku tunggu di luar," ucapnya kemudian. Kuembuskan napas pelan. Seketika kelegaan menghampiriku. Mengambil koper lantas kembali memasukkan seluruh barang-barangku. Aku keluar perlahan. Kudapati Adi tengah berbicara dengan pemilik kos. Aku menghampiri mereka, hendak berpamitan dengan Bu Yati—pemilik kos baik hati. "Mba Anyelir beneran mau pindah dari sini?" tanyanya seraya menatapku. "Iya, Bu. Terima kasih atas kebaikan Ibu selama saya di sini," ucapku tulus. Kupeluk tubuh berisi Bu Yati. "Sama-sama ya. Main ke sini kalau ada waktu. Jangan lupa sama Ibu." Kami melepaskan pelukan. Kutatap wajah yang masih terlihat ayu di usia senjanya. Seraya tersenyum aku berkata, "InsyaAllah nanti Anye main ke sini kalau libur, Bu." Setelahnya, aku dan Adi memasuki mobil. Masih tak percaya pada apa yang sekarang terjadi. Mengapa aku harus ikut Adi pulang ke rumahnya. Dan mengapa sikap Adi tiba-tiba berubah. Kutatap wajah tampan yang tengah fokus menatap jalanan. Tersenyum getir, kala menyadari betapa beruntungnya Melati dicintai oleh Adi. Pada dasarnya Adi adalah lelaki baik. Dia begitu bertanggung jawab pada kami dalam hal materi dan pada orang tuanya juga. Selama aku tinggal di rumahnya, aku tahu ia tak pernah meninggalkan salat. Terlebih suaranya yang merdu saat bertadarus yang sempat membuatku meneteskan air mata. Hanya, mungkin ketika ia dipaksa oleh keadaan dan orang tua kami untuk menikah denganku, merubahnya menjadi pria dingin dan menyebalkan, meski itu hanya berlaku untukku. "Belum puas menatapku?" Suara bariton Adi membuyarkan lamunanku. Seketika aku mengalihkan pandangan ke samping, menyembunyikan rona kemerahan di pipi. "Aku tampan?" Oh, percaya diri sekali Adi. "Biasa saja," elakku tanpa menoleh padanya. Kudengar Adi tergelak. "Jangan khawatir, kita akan tinggal serumah lagi. Jadi, kamu bisa puas memandangiku." Aku menatap tak percaya pada pria yang kini tersenyum lebar. Bisa-bisanya dia sebegitu percaya dirinya. "Benar begitu?" Adi mengernyitkan dahi. "Tentu saja." "Kenapa?" Adi terdiam tak menjawab pertanyaan terakhirku. Pandangannya fokus pada jalanan yang nampak lengang. Sedang aku memilih menutup mulut. Mengutuk diri, untuk apa menanyakan hal tadi. Memang apa yang aku harapkan? Berharap Adi mengatakan cinta padaku? Begitukah Nye? Kupejamkan mata demi mengusir rasa yang entah di hati. ***** "Nye, makan malam udah siap." Suara lembut Melati terdengar dari luar kamar. "Iya, sebentar," jawabku seraya meraih kerudung lalu memakainya. KLEK. Pintu kubuka dan menampilkan wajah cantik dengan rambut basah. "Ayo, turun." Aku mengekori Melati menuruni tangga. Dapat kulihat Adi tengah duduk manis di ujung meja sambil memainkan ponsel. "Nye." "Ya?" Kutatap maduku yang juga tengah menatapku dengan ekspresi sungkan. Melati terdiam sejenak, mungkin sedang merangkai kata yang ingin ia ucapkan. Sedangkan Adi masih fokus pada makanannya. Ia hanya melirik kami bergantian. Melati berdehem dan kemudian kembali berkata, "Di, sebaiknya kamu yang bicara." Kulirik Adi yang telah meletakkan sendoknya. Lantas ia minum dan mengelap mulutnya dengan tisu. Aku menunggu dengan penasaran. Dan setelahnya mendadak tubuhku menegang mendengar kalimat yang terucap dari bibir Adi. "Mulai malam ini, aku akan tidur di kamar kalian secara bergantian. Seminggu di kamar kamu dan seminggu di kamar Melati." Apa aku tidak salah dengar? Aku membelalakkan mata. Ku yakin wajahku seperti orang bodoh saat ini. "Mulai malam sampai enam hari ke depan Adi akan tidur di kamar kamu." Kali ini Melati yang bicara. Aku masih terdiam mencoba mencerna perkataan suami dan maduku. Seminggu tidur sama Adi? ***** Aku berdiam di kamar mandi. Duduk di atas kloset sembari mengatur degub jantung yang sejak makan malam tadi berdetak tak beraturan. Seminggu dan ini akan terjadi entah sampai kapan aku akan tidur dengan Adi. Seharusnya aku merasa senang karena mungkin Adi hanya ingin bersikap adil pada kedua istrinya. Tapi ada rasa takut yang menyelusup seiring perubahan sikap Adi padaku. "Nye, kamu masih di dalam?" Suara Adi terdengar dari luar kamar mandi. Kubasuh muka cepat lalu segera membuka pintu. "Ada apa?" tanyaku sesaat setelah pintu terbuka. "Kamu dari tadi di kamar mandi, aku kira ketiduran." Adi berkata seraya menelisik wajahku. Dahinya mengernyit dalam. "Oh itu ... aku mules. Waktu siang tadi makan sambal kebanyakan," jawabku berbohong. Adi mengangguk, "Sudah malam. Ayo tidur," katanya lalu berbalik dan berjalan ke ranjang. "Ayo," katanya lagi yang melihatku belum beranjak dari pintu. Aku melangkah pelan ke arah ranjang, sementara Adi sudah berbaring dan menyelimuti tubuhnya. "Aku tidur di mana?" tanyaku memastikan. Tak ingin kejadian di Bandung terulang lagi. Di mana aku di usir dari ranjangnya. "Di sini saja." Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD