"Kyaaaaa!!!"
Dua wanita anggun yang berdiri di depanku berteriak hampir bersamaan. Tanpa belas kasihan aku mencabik-cabik rambut Briana yang tergulung indah itu, tapi sayangnya Diora, wanita yang ada di sampingnya, berusaha menarik tanganku. Dengan cepat aku membuang tangannya sampai dia tersungkur.
"Kau gila ya?!"
Briana berbalik dan berhasil mengambil beberapa helai rambutku. Aku tidak pernah menyukai pertengkaran seperti ini sebelumnya, aku lebih memilih menggunakan pedang jika benda itu tersedia di dekatku sekarang.
"Dia lebih pantas kau sebut ayah! Berani-beraninya kau mendekatinya!!" Kataku dengan wajah galak.
Kepalaku terasa perih saat wanita itu juga menjambakku dengan kedua tangannya. Semakin perih, semakin pula aku mengacak-ngacak rambut merahnya itu. Aku harus memberinya pelajaran!
"Kau yang duluan menggoda kakakku!! Anak pungut sialan! Kakakku tidak akan pernah menikahimu!"
"Aku akan membunuhmu jika mendekati ayahku lagi!!"
"Lady!!!" Belum puas menjambak rambutnya, tubuhku di tarik oleh Riel yang ternyata sudah berada di belakangku.
"Lepaskan aku!" Aku membabi buta, ingin rasanya mengoyak wajah wanita yang ada di depanku itu. Briana pun berontak saat Diora mencoba menjauhkannya dariku.
"Penggoda sialan!" Dia lalu berhasil melepaskan diri dari Diora dan berusaha menarik rambutku lagi. Aku langsung menarik telinga dan beberapa rambutnya begitu wanita itu mendekatiku.
"Setidaknya aku tidak menggoda ayahmu!! Benar-benar samp*h!" Belum puas rasanya jika belum melukai wajah wanita itu, tapi kemudian dia menarik gaun ungu yang kukenakan seenaknya.
KREEK!
Lengan gaunku robek akibat tangannya yang kasar itu. "Kau benar-benar!!!!" Saat aku ingin meraup wajahnya, Riel menarikku lagi. Sial! Sial! Aku mengutuknya dalam hati.
"Beraninya kau merobek bajuku!!" Umpatku lagi sambil meronta-ronta tak karuan.
"Pergilah dari sini penggoda sialan!!"
"Hentikan!!" Aku baru sadar Diora dari tadi berteriak keras sambil mencoba menarik mundur lawanku itu, tapi dia tampak sangat kewalahan.
Saking geramnya, aku sampai menendang lutut Riel dengan sepatu tinggiku dan dia akhirnya melepaskan cengkeramannya. Seperti banteng yang keluar dari kandangnya, aku langsung menerjang Briana hingga kami berdua berguling di tanah.
"Aku akan membunuhmu!"
"Aku duluan yang akan melakukannya!"
"Diam kau br*ngsek!"
"Aku akan mengatakan semuanya pada kakakku! Kau anak pungut tidak tahu diri!"
Aku sampai tidak sadar telah menarik kasar anting-anting besarnya dan mencakar pipinya, tapi dengan bringas wanita itu juga mengoyak sedikit kulit di bagian bahuku. Aku tidak menyangka dia lebih barbar dariku.
"Katakan sekali lagi, mulutmu akan kurobek!!" Aku berusaha menahan tubuhnya yang tengah berada di bawahku, tapi tangannya tak henti-hentinya berusaha melukai setiap bagian tubuhku.
"Anak pungut!!" Wanita itu terlihat semakin kesal dan mendorongku sekuat tenaga sehingga aku terlempar ke sampingnya. Kali ini dia yang tengah duduk di atas perutku.
"Aku tidak akan memaafkanmu!" Pekiknya sekali lagi sambil mencabik-cabik gaunku dan...
Kreet! Aku tertawa puas saat berhasil menarik rok gaun yang dikenakannya. Kain tipis yang melapisi rok bagian luarnya terlepas dengan mudah saat aku menariknya.
"Kau mati saja!" Dia tiba-tiba menghujaniku dengan pukulan, tapi aku segera menarik rambutnya dan-
DUK!!
Kepalaku menghantam keningnya dengan keras.
"Kyaaaaaa!!!" Aku tersenyum puas saat Briana berteriak lebih nyaring setelah aku melakukannya.
"Tolong hentikan!" Untungnya Diora menarik wanita itu lagi. Mereka berdua tersungkur dan ketika aku hendak berdiri, Riel mengangkat tubuhku ke pundaknya.
"Lady! Cukup!"
Sial! Belum puas menghantup kepalanya, pria itu sudah menarikku. Aku sempat melihat beberapa penjaga istana berlarian dan menarik paksa Briana saat hendak mengejarku.
"Aku akan membunuhmu!!!!" Pekiknya padaku.
"Dekati ayahku lagi, aku yang akan membunuhmu duluan!" Aku masih saja menyahut teriakannya saat tubuhku menjauhi wanita itu, bahkan aku sempat memukuli punggung Riel karena telah menengahi kami.
"Coba saja jika kau bisa!!" Briana rupanya masih menatap kepergianku dengan emosi.
"Camkan itu!!!!!" Aku tidak mengubris ucapannya tadi. Aku benar-benar kesal dan marah padanya. Bisa-bisanya dengan santainya dia mengatakan ibuku penyakitan dan mengaku menyukai ayahku. Pria itu sudah memiliki dan anaknya seumuran dengannya. Dia benar-benar tidak punya otak! Wanita seperti dirinya harus kumusnahkan.
Aku digiring ke dalam Istana Mahkota dan tak lama, aku di dudukkan di sebuah ruangan dengan banyak sofa besar di dalamnya. Aku langsung berdiri lagi saat melihat wanita berambut merah yang tadi berkelahi denganku digeret masuk oleh seorang penjaga istana bersama Diora di belakangnya. Sayangnya Riel langsung menyekapku dan mendudukkanku lagi.
"Kau akan menyesal melakukan ini padaku!" Briana di dudukkan di sofa yang ada di depanku dengan paksa. Wajahnya tampak tidak beraturan, dengan rambut seperti singa dan gaun yang sudah compang camping.
Tapi dibandingkan dengannya, sepertinya aku yang lebih tidak enak di pandang. Selain rambut hitam yang acak-acakan, lengan gaunku robek dan ada beberapa guratan di dekat dadaku. Astaga ini tidak tampak seperti gaun, melainkan kain lusuh yang kupakai.
"Kau...!"
Baru saja aku mau meneriakinya lagi, seorang pria berpakaian rapi memasuki ruangan itu, lalu seorang lagi mengikutinya. Derich dan Lucio. Pria berambut merah itu tampil dengan setelah hitam dengan sedikit corak emas. Wajahnya tampak tidak sedang baik. Pasti karena perkelahianku dan adiknya yang banyak ulah itu. Briana dan aku bungkam, tetapi saling menatap penuh kebencian. Derich lalu duduk di antara kami.
"Apa yang terjadi?" Suara Derich terdengar seperti sebuah ancaman. Pria itu sedang menahan amarahnya. Aku tahu persis bagaimana dia.
"Wanita itu menerjangku duluan..."
"Aku tidak bertanya padamu. Aku bertanya pada Lady Ronan!" Briana langsung terdiam saat kakaknya hampir meneriakinya. Gadis itu memang bodoh. Di saat seperti ini lebih baik tenangkan diri dulu. Itu yang kulakukan. Menarik nafas dan membuangnya perlahan. Aku mencoba menahan emosi lebih larut lagi.
"Ya... Yang Mulia, itu terjadi begitu saja saat Lady Winterson tiba menerjangnya..." Diora mencoba menjelaskan dengan wajah sedihnya. Tentu saja, itu memang benar, aku yang menjambakny duluan, tapi karena ucapannya di luar tadi, Briana pantas mendapatkannya.
Derich melirikku tanpa bertanya satu kata pun. Dia memperhatikanku dari atas sampai bawah. Aku sudah tidak memikirkan bagaimana rupaku sekarang. Kupikir dia akan memarahiku di depan kedua sampah itu, tapi lali dia menoleh ke arah Diora lagi, "Kau boleh pergi, Lady Ronan."
Wanita berambut pirang itu sempat kecewa, tapi langsung menunduk dan meninggalkan ruangan itu. Dia tahu ini situasi yang rumit.
"Ini sungguh membuang waktuku!" Umpat Derich setelah Diora menghilang. Briana maupun aku tidak membuka mulut sama sekali.
"Briana, ini benar-benar memalukan! Apa yang kau pikirkan?!" Suaranya lalu berbeda, dia seperti menghujat adiknya sendiri. Apa tidak salah?
"Ka- Yang Mulia! Bagaimana bisa aku diam saja saat wanita kasar itu menjambak rambutku?" Briana tampak membela diri dan memasang wajah sedihnya.
"Dia mendekati Grand Duke." Aku langsung memotongnya. Derich langsung menatapku sambil mengangkat alisnya.
"Putri Briana, sebaiknya Anda mencari pria yang lebih pantas." Aku tidak menatap Derich, melainkan adiknya yang bodoh itu.
"Briana, kembalilah ke kediamanmu!" Belum sempat wanita itu menghujatku, Derich langsung mengusirnya. Aku tersenyum pahit. Aku senang melihat wanita itu diteriaki oleh kakaknya sendiri, tapi masalahnya setelah ini apa yang akan pria itu lakukan padaku?
"Sebaiknya Anda cepat-cepat membuang wanita ini dan menikahi Lady Ronan." Briana menatap kakaknya dengan kesal, lalu berjalan ke arah pintu. Derich melirik Lucio dan Riel yang tengah berdiri di ruangan itu. Mereka berdua pun meninggalkan kami. Yah, hanya tinggal aku dan Derich.
Aku berdiri saat pria itu mulai mendekatiku, tapi dia lalu mendorong bahuku pelan, menyuruhku untuk tetap duduk. Dia duduk di atas meja antik yang persis berada di depanku. Tangannya mengusap luka kecil yang ada di bahuku. Anehnya dia menarik lengan bajuku yang robek tadi hingga putus dan membuangnya ke lantai. Aku langsung menutup setengah dadaku yang terbuka
dengan tanganku.
"Kau terluka... aku akan memanggil dokter untukmu." Dia menggeser tanganku dengan tatapan aneh. Bukannya memarahiku, dia malah mengkhawatirkan keadaanku? Ada apa dengannya?
"Dengar, aku akan mengurusnya masalahku dengan Briana. Jika karena adikku, kau tidak perlu sampai mengucapkan kata putus." Pria itu lalu memelukku dengan tangannya yang dingin. Jadi dia bersikap baik karena ucapanku kemarin? Aku mendorong tubuhnya pelan dan mengernyitkan dahiku.
"Apa? Bukan karena itu. Yang Mulia, mengenai ucapan saya kemarin, saya bersungguh-sungguh."
"Kau tidak bersungguh-sungguh..." dia tersenyum licik padaku.
"Hubungan ini tidak ada gunanya. Anda adalah seorang Raja, sudah waktunya untuk mengangkat seorang Ratu." Aku menggeleng dan berusaha mengalihkan pandanganku darinya.
"Apa yang kau bicarakan? Tentu saja kau orang yang akan menjadi Ratu."
Aku hampir saja menertawakannya. Dia akan mengangkatku sebagai Ratu? Itu tidak akan terjadi. Dia pikir semua orang akan menerima anak angkat sepertiku menjadi Ratu? Apa dia tidak bisa berpikir? Setelah menjadikanku Ratunya, tetap saja dia akan bersenang-senang dengan wanita lain seperti sedia kala. Seumur hidup aku akan menjadi bonekanya.
"Yang Mulia, apa Anda tidak tahu? Saya sangat membenci gelar itu..." Dalam beberapa detik raut wajahnya berubah menjadi seperti seekor singa. Apa dia marah? Baguslah. Dia harusnya mencampakkanku sekarang.
"Saya juga tidak lagi mencintai Anda, jadi tolong lepaskan saya."
***