"Saya juga tidak lagi mencintai Anda, jadi tolong lepaskan saya."
Wajah Derich justru semakin dekat, dia bertingkah aneh sejak aku mengatakan putus. Tangannya tampak memperbaiki rambutku yang berantakan dan menyisirnya dengan jarinya. Lalu pria itu menyentuh kedua bahuku dengan lembut. Wajahnya yang tadinya ingin marah tidak terlihat lagi.
"Katakan padaku, apa yang sebenarnya kau inginkan?" Suaranya lebih pelan dari sebelumnya. Apa dia tidak mendengarkanku tadi? Dia bertanya lagi.
"Yang Mulia, saya hanya ingin putus dengan Anda." Aku memohon sekali lagi pada pria berambut merah itu.
"Tidak. Yang lain..."
"Tidak ada." Aku langsung menjawabnya dengan tegas.
"Ini tidak masuk akal... Ilsa, aku akan berikan apapun yang kau mau. Sebutkan saja."
Aku akhirnya terdiam dan mengangkat wajahku untuk menatapnya sekali lagi. Dia pasti pura-pura tidak mendengarku. Lalu aku teringat akan perhiasan yang diberikannya bersamaan buket bunga untukku kemarin. Aku merogoh tas kecilku dan mengeluarkan kotak kecil berwarna hitam.
"Saya tidak menginginkan apapun, termasuk hadiah ini." Aku meletakkan kotak itu di tangannya. Dia harus tahu kalau aku saat ini tidak bercanda. Sebelumnya aku tidak pernah mengembalikan barang pemberiannya, tapi mulai sekarang aku akan melakukannya.
Kotak itu diremasnya sampai urat nadi di tangannya terlihat seperti mau meledak, lalu dia melemparnya sampai isi di dalam kotak itu berhamburan di lantai. Aku sempat kaget dengan ulahnya itu. Dia hampir tidak pernah marah di depanku, mungkin karena aku tidak banyak meminta sesuatu padanya. Baru kali ini aku memohon dan dia langsung marah seperti ini. Apakah sesulit itu mengabulkan permohonanku?
"Katakan padaku jika kau menginginkan sesuatu." Suaranya tetap tenang , tapi aku tahu dia mencemaskan sesuatu. Dia lalu berdiri dan membelakangiku.
"Yang Mulia..."
"Pikirkanlah... nanti malam kita bicara lagi." dia lalu pergi meninggalkanku sendirian di ruangan besar itu.
Apa yang harus kulakukan sekarang? Tidak kusangka akan jadi serumit ini. Beberapa menit aku duduk termenung di sana, barulah Riel mengetuk pintu dan menengokku.
"Lady, apakah Anda baik-baik saja?" Pria itu tampak segan menanyakan keadaanku. Apa dia menungguku di luar dari tadi? Aku hanya mengangguk kesal.
Derrich selalu saja memutus pembicaraan seenaknya. Biasanya aku tidak mempersoalkannya, aku tahu dia sangat sibuk, tapi kali ini aku jadi geram sendiri. Dia tinggal mengiyakan saja, lalu aku bisa pergi dari sini selamanya.
Tak lama aku berdiri dan Riel langsung membantuku berjalan. Dia cukup tanggap dengan keadaanku, pantas dia tergabung dalam ksatria pilihan Derrich. Entah kenapa kakiku sedikit keram, padahal dari tadi aku menggunakan tanganku untuk berkelahi dengan Briana. Aku lalu digiring ke kamarku yang berada di bangunan yang sama.
Kamar kekasih Raja. aku menatap kamar yang kutinggal beberapa hari itu. Dindingnya masih berwarna abu-abu dan emas. Semua tertata rapi. Aku mengingatkan diriku untuk meninggalkan semua ini. Aku bukan penghuni tetap kamar ini, kataku dalam hati.
Aku menoleh pada pria yang membantuku tadi, dia lalu menunduk dan keluar dari kamarku tanpa kuperintahkan. Tak lama setelahnya, dua orang berseragam pelayan hadir di depanku. Mereka adalah Hera dan Amita, pelayan istana yang ditugaskan Derich untuk melayaniku, hanya aku.
Derich adalah orang yang dermawan, apalagi pada kekasih atau wanitanya. Dia akan memberikan apapun termasuk menyediakan pelayan dan pengawal tanpa diminta. Perhiasan apalagi, itu adalah hal kecil bagi seorang Derich. Sayangnya, aku tidak terlalu menyukainya. Lebih baik dia memberikanku sebuah pedang langka dari pada batu berlian, tapi aku tidak pernah menolak pemberiannya sebelumnya. Tidak menolak dan tidak meminta.
"Lady, apa Anda habis terjatuh?" Gadis berambut pirang dan bermata coklat bertanya dengan penuh kecemasan. Hera.
"... aku berkelahi." Aku memasang muka kusut sambil berdiri menunggu bajuku di lepas olehnya.
"Astaga! Anda benar-benar seperti terjatuh dari kuda. Bahkan dahi dan bahu Anda sampai terluka seperti ini."
"Biar saya tebak, dengan Tuan Putri?" Celetuk gadis berambut coklat tua yang berada di sampingnya, Amita.
Aku berkedip padanya. "Bagaimana kau tahu, Amira?" Hera seakan tidak percaya.
"Aku melihat Tuan Putri berjalan kesal dengan pakaian yang sangat berantakan." Kata Amita lagi dengan bangga. Aku menarik nafasku perlahan. Kejadian itu di luar dugaannya.
"Jangan sampai kejadian ini tersebar keluar istana." Kataku dengan wajah datar. Aku tidak menyesali perbuatanku. Untuk selanjutnya aku akan mengawasi wanita berambut merah itu. Aku tak segan-segan membunuhnya jika dia mendekati ayahku lagi. Jangan coba-coba dengan Ilsa.
Aku lalu terdiam sejenak saat tubuhku dibersihkan oleh kedua pelayan itu. Kini aku mencari cara agar Derich bisa menerima keputusanku. Aku rasa pria itu terlalu kaget, makanya dia bertingkah seolah tidak terjadi apa-apa kemarin.
Wanita! Itu dia. Itu bisa jadi alasanku untuk putus darinya. Pria itu memang suka bergonta-ganti wanita. Sebenarnya itu termasuk salah satu alasan kenapa aku kesal dengannya. Dia tidak berubah dan yang lebih parahnya lagi, dia tidak mencintaiku, tapi memeliharaku di istana.
Aku akan mengatakannya nanti. Dia tidak mungkin kan menjauhi wanita cantik hanya karena aku? Tiba-tiba senyum terpasang di wajahku. Apapun akan kulakukan untuk mengubah citraku agar lebih baik. Mereka tidak bisa lagi menyebutku sebagai penggoda.
"Apa ada tamu wanita selama aku pergi?" Aku menoleh pada dua pelayan yang sibuk membersihkan badanku itu.
"Tidak, Lady." Aku sempat tertegun mendengar jawaban dari Hera.
"Anehnya, tidak." Amita juga membenarkannya.
"Maksudku sebelum-sebelumnya." Aku menanyakanannya sekali lagi. Ini tidak mungkin. Derich selalu membawa wanita setelah merayakan sebuah pesta.
"Iya, Milady, sudah lama saya tidak melihat wanita selain Anda di sini. Apa Anda tahu, Yang Mulia bertingkah aneh beberapa hari ini..." Amita mulai bergosip, "Setelah mendengar kepergian Anda di pesta kemarin, Beliau lebih banyak diam."
Aku langsung tertawa kecil mendengarnya. Amita dan Hera sampai bingung melihatku seperti itu. Itu benar-benar menggelikan dan... tidak mungkin. Bukan seperti Derich yang kukenal. Sebelumnya aku pernah pamit bepergian selama beberapa hari, tapi dia tidak mengkhawatirkanku, mencariku pun tidak.
Tidak ada tamu wanita... bagaimana ini? Padahal aku mau menjadikannya suatu alasan yang sangat klise itu. Aku lalu duduk di tempat tidur yang ada di belakangku dan merebahkan diriku. Gaun putih kehijauan yang baru saja kukenakan kembali kusut.
Andai aku bukan anak angkat ayahku, apakah Derich akan menikahiku? Paling tidak bertunangan dulu. Jika tidak, sepertinya ada yang salah dengan dirinya.
"Lady, Anda ingin makan malam seperti apa?" Tiba-tiba Hera bertanya sambil membersihkan kamarku. Aku mengangkat sedikit alisku. Kenapa lagi dengan mereka? Tentu saja seperti biasanya.
"Em... tidak. Aku tidak lapar." Aku kembali menatap langit-langit kamar itu. Sudah berapa jam aku melamun? Apa ini sudah mulai malam?
"Yang Mulia akan menemui Anda setelah makan malam. Katakan pada kami jika Anda butuh sesuatu." Amita lalu menunduk, diikuti dengan Hera mereka berdua keluar dari kamarku.
Apa Derich akan bertanya lagi apa keinginanku kali ini? Aku menarik nafas dalam-dalam sebelum menghembuskannya.
***