1. Satu

1074 Words
"Pacar kamu pagi-pagi udah semangat aja seperti biasa ya, Llo?" kekeh pria gagah yang tak lain Gibran, Ayah Zillo— ketika mendapati putranya menuruni tangga berjalan ke arahnya yang tengah duduk di sofa. Zillo mendengus, memutar tubuhnya menduduki sofa lain di ruangan itu dengan sepatu yang dia bawa untuk dipakai. "Apaan sih, Yah. Amit-amit deh Zillo punya pacar kayak bocah itu. Mending jomblo seumur hidup dari pada sama manusia toa kayak dia!" Sang Ayah yang mendengar penuturan putranya itu menggelengkan kepala dengan kekehan di balik koran paginya, tetap berujar meski matanya serius membaca deretan kata yang tertera di halaman yang beliau baca. "Hati-hati ngomong kayak gitu, nanti kamu malah beneran ada hati sama anak kesayangan Om Jefan itu loh." Zillo menghentikan gerakannya mengikat tali sepatu, menaikan pandangan ke tempat Ayah berada dengan mata menyipit enggan. "Nggak gitu juga, Yah. Ayah kan tahu sendiri semerepotkan apa dia itu, memang Ayah mau setiap hari Zillo diteriakin biar bangun? Yang ada Zillo b***k beneran lama-lama." Bahu Ayah mengendik acuh, "Itu solusi yang keren kok, Bunda kamu jadi nggak harus ribut setiap hari karena kamu ancurin jam waker-mu terus-terusan." "Ayah..." Zillo tahu dirinya lumayan susah dibangunkan, dan benar juga kata Ayah soal jam waker yang rusak hampir setiap hari jika tidak ada terikan Nadi yang membangunkannya, tapi kan tidak seperti itu juga solusinya. "Bunda juga nggak keberatan. Nadi manis dan baik meski agak tomboy, lebih lagi dia anak sahabatnya Bunda. Bunda kan jadi nggak harus repot-repot dan jauh-jauh kalau mau besanan." Bunda masuk dari arah dapur, membawakan secangkir kopi pagi yang diletakannya di depan Ayah. "Bunda!" Ya ampun, Zillo bahkan masih duduk di bangku SMA—apalagi Nadi yang baru menanggalkan seragam putih-birunya. Kenapa pula harus membahas sejauh itu sampai kata "besan" masuk ke dalam pembicaraan. Dan yang lebih menyebalkannya lagi, kenapa semua orang seolah berada dipihak bocah upil itu sih? "Loh, kenapa? Yang Bunda bilang bener, kan?" "Ck, pagi-pagi udah ngomongin dia. Ngerusak mood Zillo aja yang ada." Cowok itu berdiri, persis setelah menyelesaikan pekerjaannya memasang dan menalikan sepatu olahraga yang sempat terjeda beberapa kali karena pembicaraan mengenai anak tetangganya itu. "Zillo jogging dulu." Pamit cowok itu kemudian berlalu tanpa mau menghiraukan entah apa lagi yang orangtuanya katakan. *** "Pagi, Yayang Illo..." Sapaan penuh dengan nada rayuan itu Zillo dengar setelah beberapa meter dirinya meninggalkan rumah. Dan seperti sudah menjadi rutinitas juga, jogging paginya pasti tidak akan pernah tenang selama orang ini selalu ada di sekitarnya. Yup, Nadira sudah berlari di sampingnya, lengkap dengan pakaian olahraga juga sepatu yang cewek itu pakai. Nadi tersenyum dengan deretan gigi yang sepenuhnya terlihat, tampak terpesona dengan pria yang berada di sampingnya. "Lo bisa kesandung kalau mata lo nggak lihat ke depan!" Bukannya sadar karena diperingati, cewek itu malah terlihat tersipu dengan kata-kata yang Zillo tujukan untuknya. Nadi menunduk malu-malu, menyelipkan helaian rambutnya yang mengganggu ke belakang telinga—sebenarnya helaian rambut yang mengganggu itu tidak benar-benar ada, karena cewek itu jelas mengikat rambut sebahunya menjadi kuncir kuda. "Mimpi apa Nadi semalem, ya? Pagi-pagi gini udah berkali-kali dikhawatirin Yayang Illo..." Kekehnya masih dalam kondisi menunduk, menutup mulutnya untuk tidak terlalu terlihat senang meski Zillo masih bisa melihat dan mendengar ucapannya dengan jelas. Kepala Zillo menoleh pada yang bersangkutan, menatap tidak percaya dengan kesimpulan yang baru saja dibetuk oleh otak kreatif cewek di sampingnya ini. Dari mana dia bisa menyimpulkan kalau ucapannya tadi itu bentuk perhatian? Itu jelas teguran! Jelas-jelas teguran sekaligus sindiran untuk tidak menatapnya terus menerus. Apalagi Zillo mengatakannya dengan nada ketus, jadi dari mana cewek ini bisa menarik kesimpulan seperti itu kalau bukan dari otak yang terlampau kreatif. Kreatif dan suka berimajinasi memang masih ada hubungan saudara mungkin, pikir Zillo. Malas menanggapi terlalu jauh Zillo mempercepat tempo langkahnya, yang tentu saja akan tetap dikejar Nadi meski Zillo berlari secepat apa pun. "Kak Il—eh, bukan!" Ekspresi Nadi yang semua memanggilnya dengan semringah berubah ketika menyadari bahwa dia baru saja melakukan kesalahan dengan panggilannya itu, buru-buru Nadi menggeleng, mengoreksi panggilannya dengan kembali memasang senyum lebar. "Yayang Illo nanti berangkat sekolahnya bareng Nadi, ya?" Dahi Zillo berkerut, melirik cewek itu malas. "Nggak, ngapain." Yang ditolak cemberut, masih berusaha bersuara meski napasnya mulai tidak beraturan karena tempo langkah mereka. "Kok gitu? Kenapa? Kan akhirnya Nadi bisa satu sekolah lagi sama Yayang Illo, dan bisa berangkat sekolah sama-sama lagi kayak dulu..." Keluh cewek itu dengan tatapan memelas. Benar, tahun ini akan dimulai lagi penderitaan Zillo dengan keberadaan cewek itu yang lagi-lagi satu sekolah dengannya. Yah, meski baik di SMP atau SMA mereka hanya akan satu sekolah selama 1 tahun, karena perbedaan tingkat dan umur mereka yang hanya selisih 2 tahun. Well, itu toh tidak merubah apa pun di dalam hidup Zillo, selain membuat semakin banyak gangguan yang akan diterima selama satu tahun yang akan datang—terlebih di masa-masa terakhir SMA-nya. Akh, bisakah Zillo mengeluh untuk ini? Masa terakhir SMA-nya yang berharga kenapa harus dihabiskan dengan ujian hidup macam Nadi? "Kayak dulu, kayak dulu... Otak lo halu! Dari dulu juga gue nggak mau berangkat sekolah bareng lo, lo aja yang ngintilin terus! Udah sana puter balik! Banyak yang harus lo siapin buat tugas MOS, kan?” “Aduh, aduh, aduh… senengnya diperhatiin Yayang Illo. Khawatir kalau Nadi lupa sama tugas yang dikasih buat MOS, ya? Apa ini rasanya punya pacar ketua OSIS? Dapet privilege? Kak Illo bakal belain Nadi kalau nanti ada apa-apa di sekolah, kan? Kalau diganguin sama Kakak kelas yang lain? Kalau dihukum yang nggak-nggak? Hm?” Nadi mulai merancau tidak jelas lagi, membuat Zillo memutar bola matanya malas. “Pacar nenek moyang lo! Jangan mimpi! Nggak ada yang namanya privilege-privilege. Awas lo cari gara-gara, gue orang pertama yang bakal hukum lo!" Usir Zillo kembali mempercepat langkahnya, kali ini dengan kecepatan yang memastikan bahwa Nadi tidak bisa lagi menyusulnya. "Loh, Kak Il... Yayang Illo!" Rengek Nadi dengan wajah yang dibuat semelas mungkin, bahkan orang yang melihatnya mungkin akan berpikir bahwa cewek itu akan menangis sebentar lagi—meski nyatanya tidak sama sekali. Nadi bahkan sudah menghentikan langkahnya, sadar diri kalau kecepatannya tidak akan bisa menyetarakan Zillo. Tapi mengalah pagi ini bukan berarti mengalah dan menyerah akan perjuangan cintanya yang sudah berlangsung bertahun-tahun. "Hm, jangan bikin gara-gara di hari pertama katanya?" Gumamnya dengan raut wajah yang sudah kembali dipenuhi tekad, hilang entah kemana raut lemahnya beberapa detik lalu. "Kak Illo lihat aja apa yang bakal Nadi lakuin buat bikin satu sekolah tahu kalau Kak Ill itu bakal jadi punya Nadi." Cewek itu tersenyum congak, dengan kepercayaan diri yang terisi penuh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD