2. Dua

1400 Words
"Kak ILLOOOO... Ini buat kamuuuuuu... Iya, kammuuu...!" Nadi teriak menunjuk Zillo, cowok itu berdiri di pojok kerumunan para siswa-siswi peserta MOS tahun ajaran baru yang mana sebenarnya Nadi termasuk menjadi salah satunya. Gelak tawa menyambut kalimat Nadi yang menirukan salah satu ciri khas stand up comedy-an berwajah datar yang beberapa kali dia tonton di kanal youtube. Semua mata sudah terarah pada Zillo yang menatap geram Nadi sejak kata pertama yang diucapkan cewek itu. Sementara Nadi hanya terkekeh, mulai menggerakan jemarinya pada senar gitar yang sudah manis bertengger di pangkuan. Iya, Nadi memainkan gitar sebagai latar pengiring untuk syair yang dibuatnya. Para peserta MOS kembali memusatkan perhatiannya pada Nadi kala alunan merdu gitar itu tercipta dari melodi yang berhasil cewek itu ciptakan. Seruan-seruan penyemangat dan menggoda turut terdengar sebelum detik setelahnya menjadi hening. Hening, benar-benar hening tepat ketika Nadi menunjukan raut wajah serius dan menghayati apa yang hendak dilantunkannya. "Kamu adalah sesuatu yang ingin aku genggam. Kamu adalah sesuatu yang aku harapkan." Ucap Nadi kemudian diiringi dengan lantunan melodi dari gitar yang dipetiknya lagi. "Kalau seorang putri di cerita dongeng menunggu pangeran untuk membuat akhir cerita mereka bahagia, maka aku akan menjadi putri pertama yang menjemput pangerannya untuk membuat akhir yang bahagia di cerita kita berdua." Sorakan "Woooooo" menyambut Nadi begitu dia menyelesaikan bagian pertama dari kalimat yang diciptakannya sendiri itu. Entah itu bentuk dari sebuah protes atau dukungan atas kegigihannya mengejar Zillo di hari pertama menginjakan kaki di SMA Nusantara—yang jelas semuanya bercampur menjadi satu di sana. Antara tim yang mencemoohnya juga tim yang merasa kegigihan Nadi itu lucu hingga mendukung langkah cewek itu meski dalam bentuk bercandaan. "Kamu tahu apa itu kesungguhan? Kesungguhan adalah aku yang memperjuangkanmu tidak peduli apa kata orang." Suara cewek itu lagi, tidak peduli berapa banyak sorakan yang sudah diterimanya. Kali ini pandangannya tertuju lurus pada Zillo yang juga tengah menatapnya dengan sorot mata garang. Namun, bukan Nadi kalau terganggu hanya karena hal macam itu, kan? Cewek itu melanjutkan petikan gitarnya, hingga mencapai bagian akhir dari pementasannya yang sebenarnya adalah sebuah hukuman. "Dari Nadira Adhitama, untuk Arzillo Hermawan." JRENGGGGGG Petikan gitar Nadi berhenti, seiring dengan tepuk tangan peserta MOS dan kakak-kakak OSIS yang merasa puas dengan syair yang dibawakan Nadi itu. Melihat antusias teman-teman angkatan barunya yang begitu riuh, Nadi bahkan menawarkan diri untuk membawakan syair lainnya jika memang ia diperkenankan, dan memang bukan Nadi kalau ia tidak menimbulkan keributan atas tingkah lakunya yang sering kali tak tahu malu itu. "Oke, oke. Sabar semuanya sabar... Melihat teman-teman sekalian yang begitu antusias, maka saya memutuskan untuk membuatkan syair lain—" Kalimat Nadi terhenti karena seseorang yang kini berdiri di sampingnya merebut gitar dalam pangkuannya kasar. "Lo pikir ini pertunjukan lo! Lo tuh lagi dihukum! Bukannya kapok, malah keenakkan? Berasa seleb dadakan atau gimana, hah?" Zillo yang berdiri di sana menatapnya tajam. Riuh sorakan yang tak terima karena intrupsi Zillo menghentikan aksi Nadi bersamaan datangnya dengan siulan menggoda untuk kedua orang itu. Pasalnya, sejak pagi tadi, saat Nadi dengan hebohnya mengklaim dan mengumumkan bahwa Zillo adalah miliknya, mereka selalu dibuat tertawa oleh tingkah Nadi yang mengejar-ngejar Zillo kemana pun cowok itu pergi, bahkan hingga di depan toilet pria sekali pun. Teman-teman pria seangkatan Zillo sampai dibuat geleng kepala tak habis pikir melihat tingkat Nadi. Seolah tujuan cewek itu masuk ke sekolah Nusantara memang hanya untuk mengejar Zillo—tak peduli dengan bentakan, larangan atau penolakan berapa kali pun, cewek itu benar-benar menunjukan kegigihannya. "Siapa yang suruh kalian sorak-sorak? Ini sekolah! Bukan tempat tauran!" Suara lantang Zillo terarah pada adik-adik kelasnya. Detik itu juga suasana berubah hening, membuat Zillo kembali mengarahkan pandangannya pada Nadi yang juga diam di sampingnya. "Udah tahu kesalahan lo? Lari keliling lampangan sepuluh kali. Sekarang!" Perintah Zillo tak terbantahkan. Mendengar hukuman yang terdengar berlebihan itu membuat teman-teman OSIS Zillo berusaha menghentikannya. Pasalnya ketua OSIS mereka yang satu ini sebenarnya tidak terkenal sadis, tapi entah kenapa kali ini Zillo bereaksi berlebihan macam itu. Sialnya, wajah serius Zillo membuat orang-orang yang berusaha menghentikannya dibuat ciut, karena Zillo jelas tidak pernah terlihat seserius ini sebelumnya. Mau tidak mau, suka tidak suka—dengan wajah bersungut Nadi akhirnya melangkah meninggalkan kerumunan dan mulai menjalani hukumannya. Beruntung karena Nadi adalah salah satu cewek yang tangguh dalam hal olahraga, karate dan basket yang digelutinya sejak SD dan SMP membuat daya tahan tubuh Nadi cukup baik dibanding cewek lain seusianya. Sepuluh putaran lapangan sekolah yang lumayan luas itu setidaknya bisa Nadi atasi tanpa harus masuk ruang UKS karena kelelahan atau bahkan pingsan sebelum hukuman itu tuntas dia jalani. *** "Gila ya, Kak Zillo jadi raja tega banget gitu kalau sama lo, Di." Eril—cewek yang tak lain teman SMP Nadi yang berakhir masuk ke SMA yang sama dengannya bersungut mengingat kelakuan senior sekaligus ketua OSIS di sekolah barunya itu. "Masa gara-gara lantunin syair doang sampe dihukum segitunya." Keduanya kini duduk berhadapan di kantin, menikmati jam istirahat untuk sejenak terbebas dari pengawasan kakak kelas yang sejak pagi tadi terus memberi arahan, mencari kesalahan yang diada-ada dengan segudang hukuman yang sudah disiapkan. Setidaknya, di jam istirahat ini mereka bisa menikmati makan siang dengan satu gelas milk shake untuk mendinginkan suasana panas terik siang itu. Nadi masih diam meski Eril mengajaknya bicara, sesekali menyeruput milk shake pesanannya dengan mata yang sibuk mengamati sekitar. Senyum Nadi terbit begitu melihat seseorang yang dicarinya muncul, berjalan memasuki kantin dengan sejuta pesona yang dimiliki. Kening Eril berkerut heran, mengikuti arah pandang Nadi yang tak menanggapi ucapannya sejak tadi. Cewek itu mencibir tanpa suara setelah tahu apa yang begitu menarik perhatian Nadi hingga dengan jelas mengabaikannya. "Ya ampun Di... Lo tuh ya kalo udah ngelihat Kak Zillo kayak orang yang siap nerkam mangsa aja, tahu nggak? Berasa Kak Zillo itu santapan paling menggiurkan sedunia di mata lo!" "Eril, please deh! Semua cewek juga kalo ngelihat Kak Illo pasti sama kayak gue. Orang Kak Illo itu gantengnya nggak ketulungan, luar biasa, tak terhingga gitu." Seru Nadi dengan ekspresi dramatis yang terpasang di wajahnya. Eril tertawa mendengar pembelaan Nadi, entah sudah berapa kali dia mendengar alasan yang sama dari mulut cewek itu, dan bodohnya Eril juga masih saja mengatakan hal yang sama, padahal dia tahu persis bagaimana sahabatnya itu memandang Zillo. "Sayangnya gue nggak tuh!" Melengos tak peduli, Nadi menanggapi komentar Eril tak acuh. "Jelaslah, buat lo buku kan lebih menarik dari cowok manapun!" Pandangan cewek itu sudah kembali pada Zillo, pria itu terlihat sibuk mencari tempat kosong, dengan semangkuk bakso yang akan dia santap di jeda istirahat makan siang itu. "Kak Illo! Sini Kak, sini...! Di sebalah Nadi tempat duduknya masih kosong nih!" Zillo jelas mendengar teriakan Nadi yang bahkan menarik perhatian seisi kantin, namun cowok itu memilih mengabaikannya, berpura-pura tak melihat cewek yang kini sibuk melambai-lambai demi mendapatkan perhatian. Di depannya Eril meringis melihat kelakuan sahabatnya yang semakin menjadi. Cewek itu hanya bisa geleng-geleng kepala pasrah karena tahu Nadi tidak akan bisa dihentikan kecuali atas kehendaknya sendiri. Berlalunya Zillo dari pandangan yang mengambil tempat tak jauh dari posisinya tadi akhirnya membuat Nadi menyerah. Cewek itu kembali duduk dengan tenang dengan wajah ditekuk kecewa. Sialnya, di mata Eril melihat penolakan yang Nadi terima jelas menggelikan, berkali-kali dilihat pun Eril tidak akan bosan karenanya. "Rese lo! Temen dicuekin sama gebetan malah diketawain!" Nadi mengeluh tidak terima. "Bodo, memang enak? Mending gue, seenggaknya baca buku nggak bakal bikin gue malu-maluin kayak lo gini." "Terserah Yangmulia Eril deh. Makan tuh buku-buku pelajaran lo!" Eril mengangkat bahu tak acuh, menghabiskan jus alpukatnya yang tinggal setengah gelas. Begitu suasana kembali kondusif seperti semula, suara yang sayup-sayup memanggil nama Nadi dari jauh perlahan semakin terdengar jelas, mendekat dan menampilkan sosok teman SMP lain yang juga kini memilih SMA yang sama dengannya dan Eril. "Di... Nadiii..." Cowok itu terengah, mencoba mengatur napasnya yang berantakan begitu berdiri di antara Nadi dan Eril. Kening Nadi berkerut, melempar sorot tanya dan heran melihat cowok itu. "Apaan sih Cup teriak-teriak? Ganggu kedamaian orang lagi makan aja." Timpal Nadi malas, lupa bahwa beberapa menit lalu dirinya juga melakukan hal yang sama di tengah rutinitas istirahat siang orang-orang. Cowok yang bernama asli Yusuf namun sudah terlalu akrab dipanggil Ucup itu menarik napas panjang, menyampaikan pesan yang membuatnya dibuat tergesa menghampiri Nadi di kantin. "Lo disuruh ke halaman belakang sekolah sama Kakak kelas." Kedua cewek yang duduk berseberangan itu berpandangan. Saling melempar tanya satu sama lain yang dibalas dengan gerak dua bahu terangkat bersamaan, tanda mereka sama-sama tidak tahu siapa dan apa keperluan kakak kelas yang di maksud Ucup barusan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD