Kelahiran Bodies

1703 Words
Jakarta, tahun 2 0 6 5 (dua ribu enam puluh lima). Malam tadi aku baru saja mengalami peristiwa besar. Aku harus berlari-lari mengelilingi beberapa komplek demi menghindari sekelompok pemuda yang ingin membuktikan apakah aku ini laki-laki sungguhan atau bukan (alamak). Insting dasar yang aku miliki di tubuhku sejak lahir ke dunia adalah… menolak untuk melakukan segala macam jenis pekerjaan yang berat. Aku benci semua hal yang membuat aku harus mengeluarkan keringat. Itu pula yang menjadi salah satu alasan aku sangat membenci kegiatan olah raga. Dan berlari adalah tindakan paling kurang kerjaan yang kalau bisa ingin aku hindari seumur hidup. Tak ayal… begitu aku sanggup menyelamatkan diri dari orang-orang kurang kerjaan itu. Dan sanggup selamat sampai di kamar tidur. Aku langsung koleps sampai kehilangan seluruh kesadaran di atas ranjang. Ah, hal itu sangat menyedihkan memang. Penderitaan karena rasa capek yang berlebihan bisa membuat aku jatuh terlelap dalam waktu yang sangat lama. Andai saja aku bisa tidur dan tak pernah bangun lagi. Aku tidak ingin mati. Aku hanya tidak ingin terus menjalani kehidupan yang menyakitkan ini. Sejenak pergi ke dimensi lain untuk melarikan diri. Walau bicara  seperti itu pun. Aku juga bukan semacam pecundang yang menganggap hidup ini tak ada artinya. Aku bukan pecundang yang akan memutuskan untuk mengakhiri hidup yang telah Tuhan anugrahkan. Tapi, itu benar kalau aku memang hanya seorang pecundang. Yang merasa bahwa hidup ini sangat melelahkan. Aku ingin tidur untuk selamanya. Demi melepaskan diri dari semua rutinitas keseharian yang begitu melelahkan. Tidur merupakan fase paling penting dalam hidupku. Setelah kelelahan seperti itu proses tidur yang aku lakukan pun akan jadi terasa sangat nikmat. “ . . . . . . . . . . ” Masalah malah datang ketika aku ingin membuka mata. Yang ada di hadapanku bukanlah pemandangan kamar tidurku yang memiliki desain minimalis ala kaum urban. Aku bahkan tak melihat tubuhku berada di atas ranjang sebagaimana aku ingat aku baringkan tadi malam. Dengan sedikit gerakan. Tubuhku mungkin akan terjatuh dan membentur tanah. Aku sedang melihat tubuhku terbaring di atas sebuah dahan pohon!!! G-i-l-a ! ! ! Pikiranku menjadi sangat kacau balau saat mengalami hal ini. Aku tak mengerti pada apa yang sudah terjadi. Siapa yang sudah membuat aku sampai ada dalam kondisi seperti ini? Bagaimana caranya pula aku bisa ada di sini tanpa terusik sama sekali? Lagipula… gimana caranya memposisikan pemuda sebesar aku nangkring di atas pohon seperti itu?!! Itu semua terus menjadi misteri yang aku pikirkan selama beberapa menit lamanya. Aku lihat permukaan tanah yang berada cukup jauh dari tempat aku berbaring. Dan lagi aku ini belum pernah memanjat pohon seumur hidup. Daripada memikirkan bagaimana aku berada di sini. Toh sudah terjadi juga. Lebih baik seger pikirkan bagaimana caranya turun. Aku mencoba turun dengan menggantungkan salah satu kakiku. Sayang sebelah tanganku salah memegang bagian dahan yang licin. Tubuhku pun tergelincir jatuh. Bruuakh! Ah, suara ini hanya muncul dalam imajinasiku. Namun bukannya jatuh membentur tanah dan mengeluarkan suara seperti yang sudah aku imajinasikan barusan. Tubuhku malah melayang. Aku merasa bahwa tubuhku sangat ringan. Terasa seperti kapas saja. Bahkan lebih ringan dari itu. Karena aku bisa melayang meski tak merasakan hembusan angin. Aku benar-benar terbang! Aku lihat lagi pantatku yang melayang sejauh beberapa inchi dari permukaan tanah. Aku coba menggerakkan kaki. Tubuhku melayang semakin tinggi. Semakin tinggi. Semakin tinggi sampai tiba di angkasa. Aku bisa melihat atap-atap rumah dari ketinggian. Bahkan aku bisa terbang sampai ke awan! Namun, ada yang terasa cukup aneh di sini. Tubuhku tak merasakan apa pun. Walau semakin tinggi tempat yang aku capai. Aku tak merasakan efek apa pun. Tubuhku sendiri terasa seperti boneka. Boneka yang bisa aku kendalikan. Sungguh misterius. Sangat aneh, tapi nyata. Setelah puas melakukan beberapa macam percobaan. Aku kembali pada realita. Aku harus mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada tubuhku. Pada diriku. Maka aku melayang menuju kediamanku sendiri. Sesampainya aku sempat berpikir bagaimana caranya masuk. Pergelangan tanganku tak mampu meraih gagang kenop pintu. Dan lagi tak seorang pun terlihat merespon teriakan yang aku lakukan. Aku seperti tidak ada. Aku seperti menghilang. Aku seperti debu yang tidak pernah menarik perhatian. Di tengah kekalutan yang amat sangat tengah aku alami. Aku mencoba memegang daun pintu. Dan voila, pergelangan tanganku menembus ke sisi seberang pintu. Perasaanku semakin kacau. Aku tak bisa menerima apa yang baru saja terjadi pada diriku. Bermacam praduga merajai kepalaku. Di kamarku. Aku melihat tubuhku terbaring tak berdaya di atas ranjang. Aku coba menyentuhnya, tapi tidak bisa. Aku coba berteriak di telinganya pun tak ada respon yang memiliki arti. Untuk beberapa alasan, aku mulai bingung akan identitasku. Siapa aku? Siapa aku yang berbaring di atas ranjang? Di mana aku berada? Apakah ini dunia tempat aku terlahir? Pintu kamarku terbuka. Dari luar tampak Mama yang membawakan sarapan. Aku langsung berusaha bersembunyi di balik lemari pakaian. “Hayoo, mentang-mentang ini hari Minggu. Kamu tidak boleh malah enak-enakan dan tidur sampai siang,” katanya. Kepalaku pusing memikirkan bagaimana kejadian selanjutnya yang akan terjadi. Apakah aku di atas ranjang akan terbangun? Jika itu terjadi, setidaknya aku akan mendapat suatu kepastian bahwa dia bukan diriku. Sekalipun memiliki rupa yang sangat mirip denganku. Di mana aku sebenarnya berada saat ini? Dunia lain? Dimensi lain? Di mana? Aku sama sekali tidak paham. “Sayang, bangun dong!” kata Mama sambil menatap lekat diriku di atas ranjang. Karena dipanggil beberapa kali tak juga menuai respon memuaskan. Ia curiga dan akhirnya berusaha menggoyang beberapa bagian tubuhku secara bersamaan. Aku mohon cepatlah bangun dan beri aku suatu kejelasan! Dunia macam apa tempat aku berada kini? Aku… aku sangat bingung dan nyaris putus asa. Namun, “aku” tetap saja tak juga kunjung bergerak. Semakin kuat goyangan yang Mama lakukan. Aku tetap tak bergerak. Mama adalah seorang tenaga medis. Seharusnya mudah bukan baginya untuk mengidentifikasi keadaan seseorang. Ia memegang pergelangan tanganku untuk mencari denyut nadi. Tak ada. Ia menempelkan telinga ke dadaku untuk mencari detak jantung. Tak ada juga. Ia menaruh telunjuk di depan lubang hidungku untuk mencari helaan nafas. Berkali-kali ia berusaha memastikan. Namun, tetap tak ada tanda-tanda kehidupan yang tubuh yang serupa dengan wujudku itu berikan! “PAPA! LIAN!” Mama berteriak memanggil Papa dan Kakak. Tak lama kemudian keduanya berderap menghampiri Mama. “Ada apa?” tanya Kak Lian. Aku tak bisa berkedip menyaksikan semua itu. Mereka bahkan tak sadar jika aku berada di belakang mereka. Semua kemelut ini terasa semakin rumit. “Adik kamu… dia… dia… dia sudah…” Mama terlihat tak kuasa menahan kesedihan. Air mata dari kedua kelopak matanya meluncur jatuh begitu saja. Papa yang juga seorang petugas medis tak begitu saja percaya pada apa yang terjadi pada (tubuh) -ku. Ia memastikan lagi dengan memeriksa ulang tubuh tak bernyawa yang ada di hadapannya. Raut wajahnya langsung tampak begitu kelu. Ia tak berucap suatu kata pun. “Padahal sebentar lagi dia akan lulus dari SMP!” raung Mama masih tak percaya. Tak sanggup begitu saja percaya pada apa yang telah menimpa darah dagingnya. “Mama harus sabar dan menerima ini semua sebagai suatu ketentuan yang telah digariskan oleh Yang Di Atas. Mungkin ini yang terbaik buat dia,” usaha Kakak laki-lakiku menenangkan mama kami. “Tapi, kenapa? Apa penyebabnya? Kenapa ini semua bisa terjadi begitu saja?!” teriak Mama lagi. Terdengar lebih histeris ketimbang tadi. “Papa akan membawanya ke rumah sakit. Dia harus di otopsi,” putus Papa tegas. Mama menarik ujung pakaian Papa. Tangisannya terdengar semakin menyayat hati.“Jangan, Pa! Dia anak kandung kita sendiri… aku tidak bisa membiarkan tubuhnya yang sudah tidak bernyawa dibuat berantakan oleh pisau bedah para dokter. Tidak bisa… tidak boleh sama sekali…” Namun, Papa tetap bersikukuh dengan keputusannya. “Justru karena dia anak kita sendiri, Ma. Papa tidak bisa terima dia pergi begitu saja. Tanpa kejelasan apa pun yang bisa kita semua terima. Papa harus menyaksikan apa yang menyebabkan kejadian ini dengan mata kepala Papa sendiri.” Kakak semakin erat memeluk tubuh Mama yang menolak keputusan Papa. Namun, untuk kali ini Papa tak ingin keputusan serta kewenangannya dibantah. Ia adalah pemimpin keluarga ini. Ia adalah pemutus untuk segala keputusan yang akan keluarga kami lakukan. Iya. Aku sudah mati. Aku sudah mati? Aku sudah mati?!! Aku pandangi kedua telapak tanganku. Rasanya sangat sakit. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi padaku? Apa yang menyebabkan ini semua terjadi? Sekarang dapat aku simpulkan sesuatu. Belum tentu benar. Tapi, setidaknya sudah bisa mmeberi sedikit bayangan. Aku adalah nyawa diriku. Mungkin sebentar lagi malaikat akan datang dan mengantarkan aku pergi ke neraka. Mama, Papa, Kakak, selamat tinggal. Papa tak terlihat meneteskan sebutir pun air mata. Saat ia menelpon ambulans. Maupun saat ia memindahkan tubuhku ke dalam ambulans. Ia tak menyiratkan sedikitpun ekspresi kesedihan. Ia pasti belum percaya jika aku, darah dagingnya sendiri, sudah mati. Anak bungsunya yang mirip dengan perempuan. Sampai-sampai ia beri nama dengan nama anak perempuan. Anak bungsunya yang “sedikit” mewujudkan keinginannya memiliki anak perempuan. Anak bungsu yang paling ia kasihi. Aku terus mengikuti kemana Papa membawa tubuhku. Aku ingin melihat bagaimana akhir dari jasadku sebelum bertemu Tuhan. Ł          Ł          Ł Di ruang otopsi. Papa berdiri bersama beberapa petugas medis lainnya. Tubuhku terbujur kaku di atas meja otopsi. Kedua mataku terasa sangat berat. Aku terjatuh di lantai. Aku sangat mengantuk. Mungkin inilah saatnya aku pergi dari dunia ini. Pergi untuk selamanya. Jadi, begini rasanya mati. Tidak begitu buruk. Khe khe khe. Jangan bercanda! Aku sadar terpejamnya aku bisa jadi merupakan gerakan terakhir yang bisa aku rasakan. Aku lakukan. Kedua kelopak mataku memang terasa berat. Namun, entah bagaimana aku memaksa untuk membukanya lagi. Aku memanggil pria itu, “Papa…?” Papa tak bisa menahan air matanya lagi. Ia menangis sejadi-jadinya dan memeluk tubuhku. Kini aku mulai sedikit mengerti akan apa yang sebenarnya terjadi. Aku hidup lagi. Atau, aku masih – hidup? Aku sama sekali tidak paham pada apa yang sudah terjadi. Apa yang baru saja aku alami? Apa? Aku bukan lagi manusia. Aku bukan lagi manusia. Aku bukan lagi manusia. Aku bukan lagi manusia. Aku bukan lagi manusia. Aku bukan lagi manusia. Aku bukan lagi manusia. Aku bukan lagi manusia. Aku bukan lagi manusia. Aku bukan lagi manusia. Aku bukan lagi manusia. Aku bukan lagi manusia!!! Ucapan seperti itu terus saja menggentayangi kepalaku. Ya. Aku merupakan spesies organisme baru di muka bumi. Yang memiliki nama “Bodies”.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD