CHAPTER DUA

1491 Words
            “Kalau kamu nggak mau ikut nengok Amel, biar aku aja yang ke sana.” Kata Ibam saat mereka tengah menonton serial di televisi siang itu. Hari ini, Ibam akan mengengok Amel yang baru saja melahirkan anak keduanya. Amel adalah teman keduanya karena mereka pernah bekerja dalam satu kantor yang sama sebelum wanita itu memutuskan resign untuk menikah dengan suaminya, Imron.             “Nggk apa- apa. Aku ikut aja.” Ivi yang kebetulan mengenal wanita itu memutuskan untuk ikut.             “Yakin?” Ibam menatap Ivi yang langsung mengangguk mantap. Ibam tahu bagiamana perasaan Ivi kala menengok teman- temannya yang baru saja melahirkan. Ibam tahu seberapa besar Ivi ingin menjadi seorang Ibu. Ia tahu bahwa sesukses apapun wanita itu, wanita itu selalu merasa ada yang kurang karena belum ada seorang anak di rumah mereka.             Ivi terlihat sempurna sebagai seorang wanita, cantik dengan karir yang gemilang, namun dibalik semua kesuksesanya, wanita itu terbelenggu oleh penyakit yang dideritanya. Wanita itu kerap menangis di malam- malam saat Ibam tertidur pulas. Ia dan Ibam terlahir sebagai anak tunggal dan ternyata ia malah di vonis sulit hamil. Ia tahu bahwa kesedihan tak hanya menjadi miliknya namun juga milik keluarga mereka yang tengah menanti kehadiran cucu pertama.             Tapi Ivi bisa bertahan sampai sekarang karena Ibam ada di sampingnya. Pria itu selalu meyakinkannya bahwa semua akan baik- baik saja. Yang perlu mereka lakukan hanya berdoa, berusaha dan menunggu. Ibam selalu percaya bahwa mereka berdua bisa melewati semuanya hingga akhirnya Tuhan akan mempercayakan janin di dalam rahim Ivi. Baginya, sulit hamil bukan berarti tidak bisa hamil.             Ibam mengandeng tangan Ivi saat masuk ke dalam rumah sakit. Kedua hendak masuk ke dalam lift saat pundak Ibam ditepuk dari belakang. Pria itu menoleh dan melihat senyuman Fery dan Riski yang sudah berada di belakangnya.             “Halo Ivi… makin cantik aja.” Goda Fery yang langsung membuat Ibam menarik tangan Ivi hingga wanita itu berada di belakang punggungnya. Fery mendecih, tak mengeri kenapa teman kantornya begitu posesif padahal tahu bahwa ia hanya bercanda.             “Belum bosen sama Ibam, Vi?” kali ini Riski tertawa melihat Ibammelotot padanya. Keempatnya masuk ke dalam lift yang terbuka bersama dengan beberapa orang lainnya.             Keempatnya beriringan menuju ruang rawat dan melihat Pipit sudah ada di sana, tengah mengendong bayi perempuan dengan kedua tangannya.             Ucapan selamat banjir kepada pasangan itu. Pasangan yang sempat berpacaran di kantor hingga akhirnya Amel terpaksa resign demi kelanjutan hubungannya dengan Imron. Keduanya kini sudah dikaruniai dua anak yang tampan dan cantik.             Ibam membawa anak bayi itu dalam gendongannya. Semua orang berseru bahwa pria itu sudah cocok menjadi seorang ayah. Ibam hanya tersenyum dan bilang bahwa ia akan menyusul secepatnya.             Ivi tahu, dibalik senyum dan tawa menanggapi candaan itu, ada rasa yang tidak di tampakkan oleh suaminya. Semua candaan yang dilontarkan Ibam hanya untuk memastikan pada Ivi bahwa ia baik-baik saja. Bahwa apapun kata orang, tidak akan menjadi tekanan pada diri mereka. Bahwa Tuhan memang belum menghendaki kehadiran seorang anak di keluarga kecil mereka.             Tidak ada yang bisa menampik bahwa Ibam menyukai anak-anak. Pria itu tidak segan memangku anak pertama Amel yang berusia satu tahun ataupun menggendong bayi itu dengan luwes. Jiwa penyayang Ibam membuat anak- anak itu begitu betah menempel padanya. Sama sepertinya, ia tahu seberapa Ibam menginginkan kehadiran seorang anak. Ia yakin. Semua kata- kata laki- laki itu hanya untuk menenangkannya.   ***               "Bam." panggil Ivi saat duduk di sofa ruang tamu sementara Ibam asik dengan stik game dan layar di depannya.             "Hm." Ibam hanya bergumam. Fokusnya masih pada layar besar di depannya.             "Aku mau ngomong."             "Hm."             "Aku mau program hamil lagi." katanya pelan.             "Kan kita udah punya Loki." Jawab Ibam dengan cepat. Ia masih tak melepas pandangannya dari televisi layar datar di depannya. Kedua jari telunjuknya masih bergerak lincah di atas stik game.              "Memang mau ngurusin kucing terus?" wanita itu bersidekap saat Ibam menoleh. Laki- laki itu seharusnya mengerti bahwa memelihara kucing jelas berbeda dengan memiliki seorang anak.             "Nggak usah dipaksain, Vi." ujarIbam. Ia tahu, bisa jadi keinginan itu hanya euforia sesaat. Meskipun tidak dipungkiri bahwa dirinya senang mendengar keinginan istrinya. Tapi ia takut, bahwa program itu justru memberikan tekanan dan harapan yang tidak pernah pasti untuk mereka. Hidup mereka sudha cukup tenang akhir- akhir ini. Ia tetap bahagia meski tak ada tangis bayi di rumahnya.             "Tapi aku mau coba lagi." wanita itu menekuk wajahnya, membuat Ibam tersenyum. Pria itu mendekat lalu memeluk istrinya dengan posesif.             "Aku cinta sama kamu. Kalau memang sampai tua aku cuma sama kamu. Aku nggak masalah." katanya tepat ke telinga istrinya yang langsung mendongak.             "Tapi aku pingin keluarga kita sempurna, Bam. Aku pingin jadi ibu. Aku pingin kamu jadi ayah." kata Ivi dengan nada yakin. Raut wajahnya menampakkan bahwa ia begitu optimis dan percaya bahwa kali ini mereka akan berhasil.              Ivi merasakan pelukan itu mengerat. Pelukan yang selalu membuatnya nyaman. Pelukan yang selalu terasa hangat. Pelukan yang tak pernah berubah selama lima tahun mereka menghabiskan waktu bersama.              "Oke, tapi nggak usah maksain ya. Berhenti saat kamu mau berhenti. Kamu nggak perlu dengerin apa kata orang." Ibam mengecup bibir istrinya pelan. Sebelah tangannya menyelipkan rambut wanita itu ke belakang telingannya. Ia melihat wanita itu tersenyum sambil mengangguk. Senyum yang terasa seperti candu buatnya.              Pria itu tahu bahwa sekeras apapun ia bilang pada istrinya jika ia baik- baik saja, akan banyak omongan diluar yang terus menerus memojokkan Ivi. Sekeras apapun ia bilang bahwa ia bisa terima jika seumur hidup hanya berdua, Ivi tak akan bisa menutup telinganya dari omongan- omongan yang kadang tak mengenakkan.    ***               Ibam dan Ivi duduk di sebuah taman di minggu sore. Mereka baru saja dari dokter kandungan untuk memeriksakan keadaan Ivi. Seperti yang lalu, dokter itu memberikan sejumlah obat dan menyuruh Ivi meminum pil untuk memperbaiki siklus menstruasinya yang tidak beraturan.             Dua buah ice cone ada di tangan mereka masing-masing.             "Tumben, Rangga nggak kelihatan." kata Ibam. Ivi mengangguk sambil tersenyum. Mereka memang kerap menghabiskan minggu sore mereka di taman yang selalu di penuhi anak-anak bermain itu.             Mereka mengenal semua anak-anak itu, karena berada dalam satu komplek yang sama dan bukan sekali dua kali Ibam bermain bersama anak- anak itu.             "Tante Ivi." Mereka berdua menoleh. Seorang anak laki-laki berumur enam tahun berlari-lari kecil ke arahnya. Sementara pengasuhnya ikut berlari di belakangnya dengan sebuah mangkuk di tangannya.             Ibam melebarkan lengannya untuk menyambut anak laki-laki itu.             "Rangga panggil tante Ivi, kenapa om Ibam yang meluk sih." kata Anak itu sambil mengerucutkan bibirnya dalam pelukan Ibam.             "Soalnya tante Ivi, punya om Ibam." pria itu mengeratkan pelukannya pada Rangga.             "Lagi nyuapin, Mbak?" tanyanya pada pengasuh Rangga yang langsung mengangguk.             "Sini, biar saya yang nyuapin." mangkuk itu berpindah tangan.             "Bagi esnya dong, Om." pinta Rangga saat melihat es krim dalam tangan Ibam.             "Abisin makannya dulu ya, Rangga. Nanti tante Ivi beliin es krim." Ivi mengarahkan sendok ke mulut Rangga yang terbuka.             "Padahal tadi saya harus lari-larian dulu biar Rangga mau makan." kata Desi sambil terkekeh, perempuan yang sehari-hari bertugas mengurus Rangga.             "Ajak kerumah aja, Mbak. Weekend aku sama Ibam ada di rumah kok." kata Ivi sambil terus menyuapkan nasi ke mulut Rangga sementara anak itu dan Rangga bermain game dalam handphone Ibam.             Ivi tersenyum melihat laki-laki beda generasi itu. Bagaimana Ibam memeluk Rangga, bagaimana Ibam mengusap pucuk kepala Rangga, bagaimana Ibam berlaku selayaknya ayah bagi seorang Rangga di taman itu.             "Rangga nginep di rumah om Ibam, yuk." tawar Ibam sambil tersenyum. "Nanti kita nonton kartun bareng." lanjutnya. Rangga langsung mengangguk senang.             Ivi membantu Desi menyuapkan nasi ke mulut Rangga hingga isi mangkoknya habis.             Keempatnya naik ke mobil Ibam karena kebetulan Rangga tinggal di sebelah rumah Ivi. Setelah sebelumnya mampir ke toko unutk membeli es krim, Ibam menghentikan mobilnya di parkiran. Desi, pengasuh Rangga langsung pamit untuk kembali ke rumah sementara Rangga mengekor di belakang Ibam untuk masuk ke dalam rumah.             Rangga langsung duduk di sofa dan mengambil remote yang ada di atas meja sementara Ibam pergi ke kamar untuk membersihkan diri dan keluar tak lama kemudian. Ia langsung duduk di samping Rangga yang sudah memutar film kartun terbaru.             Ivi yang ada di sebelah Rangga menatap pria itu yang rambutnya basah habis keramas.             “Bam…” panggil Ivi.             “Sudah, Vi, handuk sudah aku jemur.” Pria itu menoleh dan mengedipkan sebelah matanya. Ivi mengulum senyum, pasalnya keduanya sangat berbanding terbalik. Ivi terkenal bersih dan rapi sementara Ibam suka seenaknya dan sembarangan.             Ivi sebal jika Ibam menaruh handuk basah di kasur, ataupun menaruh baju bekas pakai sembarangan, juga tak membereskan tempat tidur saat bangun belakangan. Hal- hal kecil itu kerap membuat Ivi mengomel karena dirinya yang terbiasa hidup bersih dan rapi.             Ivi masuk ke kamar untuk membersihkan diri lalu keluar dengan laptop di tangannya.                    “Bam, Lihat charger laptop kau, nggak?” tanyanya.             “Nggak tahu, kan kamu yang sering pakai laptop.” Jawab Ibam tanpa menoleh. Ivi menggaruk kepalanya kebingungan, seingatnya, ia selalu menggulung charger laptop dan menaruhnya dilaci bersama dengan laptopnya. Tapi, ia tak menemukan gulungan kabel itu. Hanya ada laptopnya yang sudah kehabisan baterai.             “Yakin kamu nggak tahu, Bam?” tanya Ivi lagi.             “Nggak tahu, sayang.”  TBC LalunaKia
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD